Jaaka yang terkasih,
Sungguh sangat menyedihkan bagiku ketika mengetahui bahwa keponakanku tersayang telah gagal menghalangi pasien pertamanya menjadi orang Kristen. Bukankah sudah berulang kali kukatakan kepadamu, jangan beri kesempatan sedikit pun kepadanya untuk melihat kesaksian dari persekutuan pengikut Sang Musuh? Tidak tahukah kamu, salah satu senjata terburuk yang digunakan Sang Musuh untuk membuat anak-anak manusia percaya kepada-Nya adalah melalui kesaksian persekutuan, bukan kesaksian pribadi semata? Kamu teledor dengan membiarkan pasienmu mengikuti sebuah persekutuan, dengan harapan ia akan semakin membenci Sang Musuh ketika ia melihat kekurangan-kekurangan dalam Tubuh Sang Musuh. Sulit bagimu untuk berhasil, kamu tidak akan luput dari hukuman.
Walaupun demikian, kamu masih dapat menggunakan sisa waktumu dengan sebaik-baiknya, karena pasienmu masih dapat ditolong. Di suratmu sebelumnya, kamu mengatakan bahwa pasienmu ini adalah seorang yang pintar, namun dia sering ragu, bahkan terhadap hal-hal yang dinyatakan sejernih kristal dalam Buku Sang Musuh. Kamu juga mengatakan bahwa dia mempunyai banyak dosa dan kebiasaan buruk di masa lalu. Jika demikian halnya, maka saat ini adalah saat yang tepat bagiku untuk mengajarkanmu topik yang menjijikkan mengenai penyucian yang progresif. Aku harap kamu akan memiliki pedoman dalam merawat pasienmu selanjutnya. Perhatikan dengan teliti hal yang akan kutuliskan padamu sekarang, jangan membuat kesalahan fatal lagi.
Tentu kamu sering mendengar tentang cara kotor yang digunakan Sang Musuh dalam menularkan penyakit-Nya pada pasien kita, bukan? Dia bukan hanya memberikan penyakit-Nya secara permanen (menjadikannya sebagai “ciptaan baru”), tetapi juga senantiasa meningkatkan kadar derita penyakit itu sampai puncaknya di hari terakhir nanti (O, betapa barbar, biadab, dan tak mengenal belas kasihan cara kerja-Nya!). Kadar penyakit ini ditingkatkan secara bertahap sampai pada hari terakhir, ini disebut proses penyucian yang progresif, atau singkatnya proses penyucian. Sungguh menyedihkan bahwa semua penelitian yang dilakukan di Rumah Kita di Bawah sejak Adam sampai sekarang, tidak ada satu pun yang berhasil menemukan obat untuk menyembuhkan penyakit permanen ini – kelahiran kembali. Namun demikian, selama ribuan tahun terakhir ini kita telah mengembangkan berbagai upaya, dan kini kita dapat menghambat penyucian yang diakibatkan oleh penyakit tersebut sampai hari terakhir. Di sinilah pekerjaan kita dimulai.
Telitilah pikiran pasienmu dan temukanlah gambaran yang ada di dalam pikirannya tentang ”ciptaan baru”, maka kamu akan menemukan hal yang sangat menggelikan. Gambaran mengenai ciptaan baru yang ada dalam benaknya adalah ciptaan baru yang statis, tidak bergerak! Bukankah ini bertentangan dengan makna ciptaan baru yang sesungguhnya? Sang Musuh menamai anak manusia yang terkena penyakit-Nya sebagai ”ciptaan baru” bukan tanpa alasan. Ada makna khusus yang secara licik ingin disampaikan-Nya melalui istilah tersebut. Tugas kita adalah untuk mengaburkannya. Ingat, salah satu senjata terbaik kita adalah bermain dengan istilah. Semakin banyak kita menyelewengkan makna dari istilah-istilah yang dipakai oleh Sang Musuh, maka semakin banyak pula anak manusia yang dapat kita bawa ke Rumah Kita di Bawah. (Tidakkah kamu sadar betapa hebatnya kita mengaburkan makna dari istilah “Kristen”, ”dosa”, ”Gereja”, ”Roh Kudus” bahkan ”Anak Allah” dalam beberapa ratus tahun terakhir ini? Lihatlah, betapa memuaskan hasilnya!) Ketika Sang Musuh memakai istilah ”ciptaan baru”, Ia sungguh-sungguh mendeskripsikan tentang suatu kehidupan yang baru. Apakah yang dapat diharapkan dari kehidupan yang baru kalau bukan pertumbuhan? Seperti yang pernah dikatakan oleh Billy Graham yang terkutuk itu, “Life things grow, dead things decay.”
Sebagai orang Kristen baru, tentu saja pasienmu belum sampai pada pemikiran seperti itu. Pasienmu masih berpikir bahwa ciptaan baru adalah suatu bentuk kehidupan baru yang statis, tanpa pertumbuhan. Menjadi ciptaan baru berarti sepenuhnya lepas dari dosa, atau berada dalam kondisi yang tidak mungkin berdosa. Jika melihat kehidupan lamanya yang penuh dengan dosa dan kebiasaan buruk, maka dapatlah dimaklumi kalau ia sangat berharap bahwa apa yang dipikirkannya tentang pelepasan penuh secara instan adalah benar.
Adalah baik untuk membicarakan tentang harapan karena pemenuhan terhadap harapan tersebut diberikan oleh Sang Musuh kepada pengikut-pengikut-Nya sesuai dengan rencana terburuk yang telah disediakan oleh Sang Musuh bagi mereka. Namun, kamu dapat memanfaatkan harapan tersebut supaya berguna bagimu. Sebagai ganti dari harapan yang seharusnya diarahkan kepada Sang Musuh, ajarkanlah pasienmu untuk mengarahkannya kepada apa yang dipikirkannya mengenai Sang Musuh. Bukannya berusaha untuk melihat rencana Sang Musuh, tetapi ajarlah pasienmu untuk menebak-nebak rencana Sang Musuh. Harapan yang kurang tepat adalah sama dengan harapan yang salah sama sekali. Kamu akan melihat alasannya segera. Jika kamu berhasil, kamu akan melihat bagaimana harapan pasienmu yang kurang tepat akan membawanya melihat rencana Sang Musuh sebagai rencana yang cacat sama sekali, dan akhirnya menghilangkan harapannya pada Sang Musuh sama sekali.
Sekarang, pertimbangkanlah pemikiran pasienmu tersebut: ”Jika Sang Musuh mampu melepaskannya dari perawatan kita secara instan, tentu Sang Musuh yang hebat itu (sungguh tidak nyaman bagiku untuk menuliskan kata ”hebat” bagi-Nya, meskipun aku tahu bahwa aku sedang menuliskan ini menurut sudut pandang pasienmu) juga mampu melepaskannya dari dosa dan kebiasaan-kebiasaan buruknya secara instan, tanpa harus melalui proses penyucian. Di sinilah kamu harus memupuk harapannya.
Dapatkah kamu melihat ketumpulan pemikirannya? Ia tidak memasukkan unsur pertumbuhan dalam ”ciptaan baru” melainkan berpikir bahwa proses penyucian yang dipakai oleh Sang Musuh dalam menyempurnakan dia adalah cara yang lebih buruk daripada yang ia pikirkan, yaitu secara instan.
Kuharap kamu tidak berpikiran konyol seperti anak manusia itu, Jaaka. Tetapi jika kamu pun seperti dia, tidak mengerti letak ketumpulan pemikiran tersebut, kuharap penjelasanku berikut ini dapat membantumu keluar dari kekonyolan pikiranmu.
Perubahan instan pada kenyataannya tidak pernah memberikan makna apapun pada suatu kehidupan baru, betapapun tingginya nilai yang diperoleh dari kehidupan baru tersebut. Justru pertumbuhan di dalamnyalah yang memberikan makna. Ambillah dirimu sebagai contoh: Seandainya detik ini kamu diangkat menjadi penguasa kedua di Rumah Kita di Bawah setelah Bapa Kita, apakah gunanya itu bagimu pada detik ini? Bukankah itu adalah perubahan status kehidupan yang instan? Namun, bukankah kehidupan barumu sebagai penguasa kedua baru kamu rasakan nilainya pada saat kamu mengalami perubahan kehidupan yang mengikuti perubahan statusmu? Untuk pertama kalinya kamu dapat merasakan nikmatnya kamar istana, setelah ratusan tahun silam kamu habiskan hanya di asrama sekolah. Kamu mencoba untuk bepergian, kamu akan merasakan nikmatnya melihat penderitaan manusia di seluruh pelosok muka Bumi, hal yang tidak mungkin kamu lakukan sebelumnya karena kamu harus mengerjakan tugasmu merawat seorang anak manusia di satu tempat saja di muka Bumi (sampai dia diamankan di Rumah Kita di Bawah atau kamu dihukum karena kegagalanmu). Kamu juga mulai menikmati rasanya memerintah departemen apapun di Rumah Kita di Bawah untuk menjalankan kehendakmu, sebelumnya kamu selalu diperintah oleh departemen apapun di Rumah Kita di Bawah sebagai setan muda yang baru lulus.
Dapatkah kamu melihat poinnya? Sebuah patung yang berubah menjadi makhluk hidup, tidak akan pernah mendapatkan makna dari perubahan esensinya yaitu menjadi makhluk hidup sebelum ia mencoba menggerakkan tubuhnya. Demikian pula, makna kehidupan baru tidak pernah ditemukan dalam perubahan instan dari kehidupan lama menjadi kehidupan baru, melainkan pada proses berkelanjutan dalam menjalaninya, itulah penyucian. Ini menjelaskan mengapa Sang Musuh, secara hina, memilih (Ia tidak harus) proses penyucian bukan perubahan instan untuk membebaskan pengikut-pengikut-Nya dari kuasa dosa, karena Ia tahu bahwa cara itu adalah cara yang terbaik dan paling sempurna. Ia memakai cara tersebut agar pengikut-pengikut-Nya dapat merasakan kemenangan atas dosa. Kemenangan atas dosa tidaklah dimungkinkan pada suatu natur yang sama sekali tidak dapat dicobai untuk jatuh ke dalam dosa, tetapi dimungkinkan pada suatu natur yang dapat dicobai untuk jatuh ke dalam dosa, namun senantiasa memilih untuk tidak berdosa. (Ingatkah kamu, dalam naturnya yang sementara sebagai Anak Manusia, Sang Musuh dapat dicobai oleh Bapa Kita di Bawah, walau tidak sekalipun Ia jatuh ke dalam dosa? Tidak heran kalau akhirnya Bapa Kita di Bawah harus menderita kekalahan total dalam pertandingan busuk itu.) Demikian juga dengan pelepasan penuh (atau kemenangan sempurna atas dosa) yang pasienmu damba-dambakan itu, pada kenyataannya bukanlah terletak pada keadaan yang statis, melainkan pada proses kemenangan yang berkelanjutan, tidak melelahkan, dan penuh dengan sukacita. Mengertikah kamu sekarang mengapa topik mengenai penyucian ini kukatakan begitu menjijikkan?
Kembali pada pasienmu, Jaaka, tugasmu adalah terus meyakinkannya bahwa apa yang ada dalam pikirannya sekarang adalah benar dan tidak kurang. Jangan biarkan apa yang kurang dalam pertimbangannya, yaitu hal-hal yang kujelaskan kepadamu di atas diterima oleh akalnya. Tempatkanlah realita tersebut jauh di luar pertimbangan pemikirannya, betapa pun sering dan nyatanya realita tersebut terpapar di depan matanya. Bukankah sesungguhnya jelas sebening kristal bahwa anak-anak manusia di mana saja memang tidak pernah dapat dipuaskan oleh sesuatu yang statis semata? Hanya ketika perubahan positif yang progresif terjadi sajalah maka mereka akan dipuaskan. Ini adalah hukum spiritual yang sederhana. Jadi, jangan membuang-buang waktumu dengan berusaha menjauhkan realita tersebut dari pengalamannya, usahamu akan sia-sia. Cukuplah bagimu untuk menempatkan realita tersebut jauh dari pemikirannya dan kamu akan takjub melihat hasilnya! Sungguh menyenangkan melihat bagaimana anak-anak manusia selalu melukiskan kita sebagai roh jahat yang memasukkan sesuatu ke dalam pikiran mereka, sedangkan pada kenyataannya, pekerjaan terbaik kita adalah menjaga agar sesuatu tetap berada di luar pikiran mereka.
Sekarang aku akan maju selangkah lebih jauh supaya kamu dapat memiliki antisipasi yang tepat ketika apa yang kita harapkan pada pasienmu sungguh terjadi (kita pun memiliki harapan, kau tahu?). Ketika ia merasa apa yang di dalam pikirannya adalah benar dan tidak kurang, maka itulah saatnya bagimu untuk menarik perhatiannya pada pengalaman pribadinya yang satu ini: “Kenapa dia masih saja berdosa?” Biarlah ia mempertanyakan juga hal ini: “Kenapa Sang Musuh tidak melepaskan dia dari kuasa dosa secara instan, kalau memang cara instan adalah cara yang terbaik? Dan kalau Ia memang mampu dan mau untuk melakukannya?” Tanpa mempertimbangkan bahwa pemikirannya sendirilah yang mungkin salah, apakah kesimpulan logis yang dapat kamu tarik dari proposisi-proposisi tersebut, Jaaka? Sang Musuh tidak mau, tidak mampu, atau tidak ada, bukan? Inilah persisnya keyakinan yang ingin kita tanamkan padanya! Ajarkanlah kepadanya untuk menjawab secara langsung pergumulannya akan dosa dengan menggunakan apa yang ada padanya sekarang, bukan dengan sabar dan rendah hati mencari jawaban yang benar mengenai permasalahannya. Menaburkan benih keragu-raguan sedini mungkin adalah keahlian kita, bukan?
Sampai sejauh ini, aku harap kamu dapat melihat “hukum” penting dalam mencobai anak manusia, Jaaka. Sadarkah kamu bahwa sebelumnya aku telah menyarankan kamu agar memakai pemikirannya untuk menjatuhkannya dan berikutnya pengalamannya? Artinya, kita tidak perlu menghentikan pemikiran anak manusia yang tajam maupun menutup mata mereka terhadap pengalaman, untuk membuat mereka jauh dari Sang Musuh. Cukuplah bagi kita untuk mengarahkan keduanya pada hal yang kita inginkan. “Arah” adalah kata kuncinya. Sang Musuh telah menyiapkan antisipasi cerdik dalam Buku-Nya yang mengatakan: “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu.” Ia ingin agar anak-anak manusia senantiasa mengarahkan mata mereka kepada apa yang Sang Musuh ajarkan pada mereka, bukan kepada apa yang kita ajarkan. Akan tetapi, berapa banyak dari anak manusia yang telah membaca dan mengerti hal tersebut? Angin kemenangan masih berada di pihak kita.
Sekarang tentunya kamu mengerti mengapa lebih mudah mencegah penyucian pasien yang merasa dirinya ”pintar” daripada pasien yang menyadari keterbatasannya. Pasien yang pintar cenderung lebih mempercayai kepandaiannya sendiri daripada perkataan Sang Musuh. Teruslah yakinkan pasienmu bahwa dia memang pintar dan pemikirannya adalah benar. Ini adalah hal yang hanya dapat dilihat oleh orang yang pintar seperti dia bukan orang-orang di sekitarnya. Seperti pengalamannya selama bertahun-tahun di sekolah dan lingkungan kerjanya ketika ia mampu menjawab persoalan rumit melalui pemikirannya yang brilian dan menemukan bahwa tak seorang pun dari teman-temannya melihat apa yang dia lihat. Mengapa hal penyucian ini tidak menjadi salah satunya? Pasienmu akan semakin sulit mempercayai teman seimannya, ia akan memilih untuk menutup diri serta mencari pemecahan atas masalahnya sendiri daripada mempercayai teman seimannya dalam persekutuan yang jauh berpengalaman daripadanya. Bukankah mereka tidak sepandai dirinya? Pada titik ini kamu hanya tinggal menunggu waktu sampai pasienmu menutup dirinya bahkan terhadap Sang Musuh – dengan atau tanpa dia sadari!
Sudahkah kamu melihat akhir yang mulia dibalik semuanya ini, Jaaka? Keadaan seorang Kristen yang terisolasi total seperti itulah persisnya keadaan ideal yang kita idam-idamkan. Sangatlah mudah bagi kita untuk membuat orang-orang Kristen yang demikian menjadi “suam-suam kuku”, “kehilangan keasinannya”, dan ”menjadi serupa dengan dunia!” Mereka juga menjadi lebih bermanfaat dalam membuat pasien-pasien kita yang lain semakin membenci Sang Musuh daripada orang-orang bukan Kristen. O, betapa kamu telah berada jauh di atas angin ketika kamu berhasil menciptakan keadaan tersebut! Sang Musuh yang picik menginginkan proses penyucian tiap-tiap pribadi turut membangun penyucian komunitas, dan sebaliknya tugas kita adalah menaburkan perpecahan dan individualitas supaya kedua hal tersebut jangan sampai terjadi. Sang Musuh menginginkan pengikut-pengikut-Nya membuka diri satu sama lain, sebaliknya kita menginginkan mereka untuk senantiasa memakai topeng satu sama lain. Adakah cara yang lebih baik untuk menghancurkan pasukan Sang Musuh yang kuat selain Divide et Impera?
Ingat selalu kata pepatah lama, keponakan, “Ada seribu satu jalan untuk mencobai manusia. Jika yang satu gagal, kamu masih memiliki seribu yang lain.” Kita dapat mempermainkan seorang Simson, kita juga dapat mempermainkan seorang Kristen seperti dia.
Paman yang menyayangimu,
NIYAMA
Ian Kamajaya
Pemuda GRII Singapura