Dalam tulisan ini saya akan menelusuri cara pandang Agustinus mengenai pekerjaan non-gerejawi, atau yang secara kurang tepat sering kita sebut sebagai ‘pekerjaan sekuler’. Penelusuran ini saya kira berguna bagi kita di masa kini, khususnya di dalam pergumulan sebagai orang Kristen yang merasakan tuntutan untuk mengikut Yesus secara tidak separuh-separuh dengan ‘tuntutan perut’ atau ‘dapur’ yang harus dijaga tetap ‘ngebul’ sementara kita melayani Tuhan. Saya berharap pembahasan sederhana mengenai cara pandang Agustinus terhadap ‘pekerjaan sekuler’ ini dapat berguna bagi para pembaca untuk dapat mengikut Yesus dengan lebih setia di dalam konteks kita hari ini.
Agustinus hidup di dalam era pra-industri. Sumber penghidupan utama masyarakat adalah terutama dari mengolah tanah dan memperdagangkan hasil bumi. Ini adalah sebelum masa Enlightenment, kala ‘kepenguasaan’ orang terhadap alam sangat minim. Hidup di dalam era tersebut sangatlah tidak menentu. Nasib buruk dapat menimpa tanpa dapat diprediksi terlebih dahulu, baik yang berasal dari wabah penyakit, kegagalan panen, pergerakan harga yang tidak menentu, sampai peperangan regional.[1] Mereka menggambarkan hidup sebagai ‘roda keberuntungan’ di mana orang yang paling kaya sekalipun tak berdaya di bawah Sang Takdir yang maha kuasa. Walaupun mereka mengembangkan berbagai strategi untuk membuat hidup lebih terprediksi, dengan metode-metode pertanian yang semakin baik namun tak ada seorang pun yang bermimpi untuk dapat mengubah ‘suratan takdir’.[2]
Semua faktor ini membuat masyarakat Abad Pertengahan sangat mudah menerima bahwa hidup tidak berada di bawah kendali manusia, tetapi ditetapkan oleh Tuhan. Ide providence mendominasi pemikiran masyarakat, sementara ide progress sama sekali belum muncul.[3] Jika seseorang percaya bahwa hidupnya ditentukan oleh Sang Ilahi lebih dari usahanya sendiri, maka hubungan dengan Sang Ilahi itu akan menempati posisi sentral di dalam hidupnya. Itulah sebabnya otoritas keagamaan yang dianggap sebagai perantara Sang Ilahi dengan manusia memiliki kedudukan sentral dalam masyarakat Abad Pertengahan. Dengan demikian sangat penting bagi kita untuk memahami bagaimana reformasi gereja memengaruhi cara pandang masyarakat Eropa tentang kehidupan sehari-hari dan usaha ‘mencari nafkah’. Pada permulaan masa Reformasi, ekonomi masih merupakan cabang dari etika dan yang dimaksud dengan ‘etika’ adalah etika theologis.[4] Transaksi ekonomi tidak banyak ditentukan oleh pergerakan pasar, tetapi lebih mengacu kepada standar moral yang ditentukan oleh gereja, yang pada masa itu memiliki otoritas sosial.[5] Kondisi seperti ini sangat sulit dimengerti oleh orang yang hidup di era sekuler seperti kita. Seperti dikatakan oleh R. H. Tawney,
To the most representative minds of the Reformation as of the Middle Ages, a philosophy which treated transaction of commerce and the institutions of society as indifferent to religion would have appeared, not merey morally reprehensible, but intellectually absurd. Holding the first assumption that the ultimate social authority is the will of God, and that temporal interests are a transitory episode in the life of spirits which are eternal, they state the rules to which the social conduct of the Christian must conform, and, when the circumstances allow, organize the discipline by which those rules may be enforced.[6]
Gereja menempati kedudukan sentral dalam masyarakat, termasuk dalam bidang ekonomi dan kerja di sepanjang masa Reformasi dan baru mulai kehilangan pengaruhnya sejak Enlightenment.[7] Sepanjang Abad Pertengahan hingga Enlightenment pandangan gereja mengenai ‘pekerjaan sekuler’ dan maknanya mengalami pergeseran radikal. Pergeseran pandangan ini sangat berkaitan dengan perubahan radikal yang terjadi di dalam cara orang memandang kehidupan, khususnya kehidupan masa kini dan kehidupan ‘yang akan datang’.
Tentang kerja ‘sekuler’ para pemikir dari Abad Pertengahan biasanya membagi pekerjaan menjadi dua hierarki, yaitu sakral dan sekuler.[8] Dikotomi wilayah kerja yang bersifat hierarkis ini dapat kita temukan misalnya dalam ajaran Eusebius (263-339 AD), sejarawan gereja yang pertama, sebelum Abad Pertengahan. Ia mengajarkan bahwa Kristus memberikan dua jalan hidup bagi gereja-Nya, satu di atas alam dan yang lain alamiah. Jalan hidup yang melampaui alam ini selamanya terpisah dari kehidupan yang biasa, merupakan jalan hidup Kristen yang sempurna di mana orang mendedikasikan diri sepenuhnya untuk melayani Tuhan. Sedangkan jalan hidup yang kedua lebih manusiawi, lebih rendah, mengizinkan orang untuk memikirkan hal-hal yang ‘sekuler’, seperti bertani, berdagang, dan melahirkan anak. Jalan hidup yang kedua ini memiliki kualitas kesalehan yang lebih rendah dibandingkan jalan yang pertama.[9]
Dikotomi Eusebius ini dikembangkan lebih lanjut oleh Agustinus (354-430 AD). Tidak seperti Eusebius, Agustinus melawan keras sikap para pemikir Yunani yang memandang rendah terhadap kerja.[10] Agustinus memberikan penekanan positif bagi kerja fisik (vita activa). Walaupun demikian ia meminjam kerangka pikir Neo-Platonis dalam memandang realitas[11] sehingga kita harus memahami keterbatasan apresiasi positif Agustinus atas kerja dari kerangka ini juga. Agustinus menghubungkan kerja dengan dikotomi antara kekekalan dan kesementaraan.[12] Bagi Agustinus, untuk mencapai kebahagiaan sejati kita harus mengarahkan kasih kita pada sesuatu yang kekal. Jika objek kasih kita bersifat kekal (stabil) maka hati kita akan mencapai perhentian yaitu kedamaian.[13] Jika kita mengarahkan kasih kita pada sesuatu yang tidak kekal (tidak stabil, terus berubah) maka hati kita akan senantiasa dilanda kegelisahan yang berasal dari kekhawatiran. Khawatir tidak mendapatkan apa yang kita kasihi, dan setelah mendapatkannya khawatir kehilangan apa yang kita kasihi.[14] Dengan demikian, Agustinus menyimpulkan bahwa hanya Allah Tritunggal yang patut kita kasihi demi diri-Nya sendiri. Orang lain hanya boleh kita kasihi demi kasih kita akan Tuhan. Sedangkan benda-benda yang sementara hanya boleh kita ‘pakai’, sama sekali tidak boleh kita kasihi.[15]
Berangkat dari pemikiran tentang objek kasih yang kekal dan sementara, Agustinus membagi kehidupan menjadi tiga bagian: perenungan (vita contemplativa), kehidupan aktif/kerja (vita activa), dan campuran keduanya.[16] Perenungan berarti berdiam diri di hadapan Tuhan, menikmati Tritunggal. Suatu kehidupan internal. Suatu kondisi yang disebut oleh Agustinus sebagai “sanctified leisure”. Sedangkan kehidupan aktif berkaitan dengan keharusan yang harus dilakukan manusia untuk mempertahankan hidupnya di dunia ini, seperti makan, menanam gandum, membajak ladang, memperbaiki peralatan yang rusak. Suatu kehidupan eksternal. Seorang beriman dapat menjalani hidup dengan ketiga mode ini dan tetap ‘masuk sorga’.[17] Ketiga jalan ini dapat memimpin orang ke tujuan kekekalan yang sama. Bagi Agustinus perenungan dan kerja adalah sama-sama penting di dalam dunia ini. Tak satu pun di antaranya yang boleh diabaikan. Ia mengatakan dalam City of God,
What is not indifferent is that he love truth and do what charity demands. No man must be so commited to contemplation as, in his contemplation, to give no thought to his neighbour’s needs, nor so absorbed in action as to dispense with the contemplation of God.[18]
Bagi Agustinus para biarawan pun harus bekerja, kecuali jika sedang sakit. Tidak ada seorang pun yang dikecualikan karena semata-mata ingin membaktikan diri bagi doa, membaca Mazmur dan firman Tuhan.[19] Agustinus memandang kerja ‘sekuler’ sebagai tugas yang diberikan Allah kepada manusia bahkan sebelum kejatuhan.[20] Kerja bagi Adam adalah tugas yang menyenangkan dan terhormat, bukan jerih payah (toil), tetapi suatu kesenangan yang menyegarkan.[21] Baru setelah kejatuhan kerja ‘sekuler’ menjadi hukuman bagi Adam.[22]
Untuk dapat memahami hubungan antara vita activa dan vita contemplativa di dalam pemikiran Agustinus secara tepat, kita harus mengingat bahwa bagi Agustinus ‘hidup yang sekarang ini’ tidak boleh dipandang sebagai tujuan akhir. Agustinus sering memakai metafora perjalanan seorang musafir dan ‘sekolah’ untuk menggambarkan hidup sekarang.[23] Dunia ini harus kita pandang sebagai ‘padang gurun’ yang kita lewati dalam perjalanan menuju ‘Kanaan’ di mana kita mendapat perhentian kekal.[24] Kita tidak boleh menjadi ‘kerasan’ di dalam perjalanan. Kita harus terus merindukan rumah kita di sorga kekal. Yang dimaksud oleh Agustinus dengan kehidupan kini sebagai ‘sekolah’ adalah: vita activa yang harus kita kerjakan di sini berguna untuk membentuk karakter rohani. Kerja ‘sekuler’ memiliki kekuatan untuk menyucikan kebiasaan-kebiasaan dosa dan dengan demikian dapat menolong orang untuk mencapai hal-hal yang bersifat kekal. Kerja dapat melatih (askese) seseorang untuk membuang kesombongan dan melatih kerendahan hati.[25] Dengan demikian kerja (vita activa) berfungsi sebagai sarana mencapai hal-hal yang bersifat kekal.
Selain itu, kerja ‘sekuler’ juga berguna untuk mendukung kelangsungan hidup yang sekarang ini, yang diperlukan untuk memungkinkan terjadinya vita contemplativa. Sikap Agustinus terhadap kontemplasi dan kerja harus kita baca dari kerangka antropologi yang dipakai oleh Agustinus. Ia memandang manusia sebagai kesatuan tubuh dan jiwa, yang di dalam kejatuhan menjadi terpisah. Sebagai konsekuensinya, jiwa orang berdosa berperang melawan tubuhnya.[26]
Jiwa pada mulanya diciptakan untuk memandang kepada Tuhan. Di sinilah ia menemukan perhentian kekal yang penuh kebahagiaan dan kedamaian. Tetapi karena ia tergabung dengan tubuh sementara yang berdosa ini, ia juga harus mengarahkan pandangannya kepada hal-hal yang sementara untuk memenuhi kebutuhan tubuh.[27] Karena tubuh dan jiwa tak dapat dipisahkan maka vita activa harus (necessary) dijalani sebagai sarana untuk memungkinkan terjadinya vita contemplativa. Jadi di sini kerja berfungsi sebagai fasilitator bagi vita contemplativa yang pada dasarnya ‘lebih baik’ (melior pars, di sini Agustinus mengacu pada kata-kata Yesus kepada Maria dan Marta).[28] Dengan demikian Agustinus tidak pernah memandang ‘pekerjaan sekuler’ sebagai tujuan dalam dirinya sendiri (end in itself), tetapi sebagai sarana (means) untuk mencapai suatu tujuan yang lebih tinggi, yaitu penyucian yang akan bermakna kekal. Sedangkan perenungan dipandang sebagai ‘cicipan kenikmatan sorga’ selama di dunia ini,
… while the love of truth (caritas veritatis) seeks the “sanctified leisure” (otium sanctum) of contemplation, the necessity of love (necessitas caritatis) demands a willing acceptance of our social and eccleastical obligations.[29]
Walaupun dalam elaborasi lebih lanjut, Agustinus memberikan penghargaan yang baik atas ‘pekerjaan sekuler’ sebagai ‘sarana’ bagi tujuan-tujuan ‘rohani’, pandangan Agustinus mengenai pekerjaan masih menggemakan dualisme antara pekerjaan ‘sakral’ dan ‘sekuler’ yang kita jumpai di dalam pemikiran Eusebius. Dualisme begini masih akan mewarnai pandangan para pemikir Abad Pertengahan sampai munculnya kritik atas dominasi gereja dan trivialisasi ‘kehidupan sekuler’. Kritik-kritik itu muncul mulai dari Gerakan Devotio Moderna di akhir Abad Pertengahan, kebangkitan humanisme, Reformasi dari Martin Luther, sampai dengan kritik destruktif dari golongan sekularis anti-gereja yang banyak mewarnai pemikiran mengenai kehidupan dan letak ‘pekerjaan sekuler’ dalam kehidupan manusia dari para pemikir Enlightenment.
Ev. Yadi S. Lima
Hamba Tuhan GRII
Endnotes:
[1] James D. Tracy, Europe’s Reformation 1450-1650 (NY: Rowman & Littlefield, 1999) 33.
[2] Ibid.
[3] Pembahasan lebih lanjut dari ide progress ini akan penulis lakukan dalam pembahasan mengenai zaman industri. Sebuah studi klasik mengenai topik ini adalah, J. B. Bury, The Idea of Progress: An Inquiry into It’s Origin and Growth (NY: Dover, 1955).
[4] R. H. Tawney, Religion and the Rise of Capitalism (Harmondsworth: Penguin, 1938) 246.
[5] Ibid.
[6] Ibid 247.
[7] Hal ini dapat kita bahas dari sudut pandang perdebatan antara konsep providence klasik dengan konsep progress dari para pemikir Enlightenment.
[8] Leland Ryken, Redeeming the Time (Grand Rapids: Baker, 1995) 73.
[9] Ibid 74.
[10] Adolar Zumkeller, Agustinus’s Ideal of the Religious Life (NY: Fordham, 1986) 189.
[11] Brian J. Walsh, Visi yang Membaharui (Jakarta: RIP, 2001) 134.
[12] Seluruh pembahasan akan mengacu kepada karya Agustinus, On Christian Doctrine, D. W. Robertson, Jr., trans., (NY: Bobbs-Merril, 1958) terutama dari Book I. III – XXXIII dan City of God, Gerald G. Walsh, S. J., trans.(NY: Image Books, 1958).
[13] Agustinus, The Confession of Saint Augustine, terj. Edward B. Pusey, Book I, p. 3.
[14] Anders Nygren, Agape and Eros (NY: Harper Torchbooks, 1969) 511.
[15] Dalam On Christian Doctrine, Agustinus membedakan derajat kasih menjadi ‘frui’ (menikmati) yang hanya dapat dikenakan secara benar pada Allah Tritunggal dan ‘uti’ (memakai) yang dikenakan pada manusia dan benda-benda. Istilah ‘frui’ yang hanya dapat dikenakan pada Tuhan ini tidak boleh disalahartikan dengan pandangan Stoa yang berusaha mematikan keinginan dan kenikmatan demi kedamaian. Pembedaan ‘frui’ dan ‘uti’ ini, bagi Nygren justru memberi ruang bagi objek ciptaan untuk dinikmati secara benar. Agustinus tidak melarang kita untuk menikmati ciptaan Tuhan, ia hanya memperingatkan kita agar tidak mengharapkan objek-objek ciptaan Tuhan itu dapat memuaskan dahaga hati kita yang hanya dapat dipuaskan oleh Tuhan sendiri. Suatu peringatan keras akan larangan memiliki allah lain di hadapan YHWH, yang memang tidak akan dapat memberikan damai dan kepuasan bagi jiwa manusia. Untuk diskusi lebih lanjut penulis merekomendasikan karya Anders Nygren, Agape and Eros (NY: Harper Torchbooks, 1969) terutama halaman 454-511.
[16] Agustinus, City of God XIX.19, Gerald G. Walsh, S. J., trans.(NY: Image Books, 1958) 467.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Adolar Zumkeller, Augustine’s Ideal of the Religious Life (NY: Fordham, 1986) 190.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Paul Marshall, A Kind of Life Imposed on Man: Vocation and Social Order from Tyndale to Locke (Toronto: UOT, 1996) 19.
[24] Hannah Arendt, Love and Saint Augustine (Chicago: University of Chicago Press, 1996) 90-91.
[25] Adolar Zumkeller, Augustine’s Ideal of the Religious Life (NY: Fordham, 1986) 190.
[26] Augustine, The Confessions VIII. 5-12, Maria Boulding, O. S. B, trans. (NY: Vintage, 1998) 153-155.
[27] N. Joseph Torchia, O. P., “Contemplation and Action” dalam Augustine Through the Ages: An Encyclopedia, A. D. Fitzgerald, O. S. A., gen. ed., Grand Rapids: Eerdmans, 1999) 234.
[28] Ibid 233.
[29] Ibid.