Bach Cantata BWV 94: The True Pleasure of Life

Sic transit gloria mundi—so passes the glory of the world. Dalam hidup ini, kita tahu bahwa tidak ada suatu apa pun yang pasti, yang selamanya dapat kita pegang. Tidak peduli apakah seseorang memiliki kuasa yang begitu hebat, atau kebijaksanaan yang begitu tinggi, dunia tetap tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Kita pikir kita dapat merencanakan hidup kita, tetapi nyatanya virus datang dan semua yang kita telah bangun menjadi hancur. Raja Babel mungkin menganggap dirinya begitu berkuasa dan membangun kota-kotanya dengan begitu megah, namun nyatanya 2.000 tahun kemudian itu hanya menjadi pajangan di dalam museum. Bahkan Bait Allah yang dibangun begitu indah dan dikatakan sebagai tempat hadirnya Tuhan secara khusus dan sempurna, sekarang telah hilang tanpa bekas. 

Lalu mungkin kita akan bertanya, untuk apa ada dunia ini? Bukankah Tuhan menciptakan dunia juga untuk manusia? Tuhan menciptakan binatang, tanaman, dan semuanya lengkap terlebih dahulu, barulah manusia, sehingga manusia hanya tinggal menikmatinya saja. Namun mengapa kita selalu menganggap bahwa menikmati dunia itu salah dan bahkan adalah suatu hal yang jahat? Kita akan mempelajarinya melalui sebuah kantata Bach.

Salah satu dari 300 kantata yang dibuat oleh Bach adalah Kantata BWV 94. Kantata ini berjudul “Was frag ich nach der Welt?” Apa yang perlu saya minta-tanyakan dari dunia? Mendengar judul ini mungkin kita akan langsung berpikir bahwa ini adalah tipikal pemikiran orang Kristen yang kolot, yang anti akan kesenangan dan kenikmatan, yang anti akan dunia dan mengira bahwa hidup itu cukup dengan relasi antara saya dan Tuhan saja. 

Kantata ini digubah oleh Bach dengan mengambil dari himne yang ditulis oleh Balthasar Kindermann dan melodi oleh Ahasverus Fritsch. Kantata ini digubah oleh Bach untuk Minggu ke-9 setelah Minggu Trinitas. Selain dari himne oleh Kindermann, lirik dalam kantata ini juga ditambahkan menyesuaikan dengan pembacaan Alkitab pada minggu tersebut, yaitu bahwa anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya daripada anak-anak terang (Luk. 16:8). Kantata ini berisi sepuluh bagian yang masing-masingnya penuh dengan argumen-argumen yang membawa kita berpikir dan merenungkan akan dunia, akan kesenangan di dalamnya, dan juga tentang Kristus yang kekal.

Di dalam dunia seni, ada yang disebut sebagai motif, di mana ketika kita melihat simbol tertentu, kita langsung tahu tema apa yang mau dibawakan oleh sang seniman. Salah satu motif tersebut adalah “vanitas”. Motif vanitas ini menjadi simbol untuk menggambarkan betapa sementaranya hidup ini, bahwa hidup ini dikungkung oleh waktu, dan kesenangan adalah sia-sia, sedangkan yang pasti adalah kematian. Dalam lukisan, motif vanitas ini ada dalam bentuk tengkorak, buah yang membusuk, asap, jam, ataupun jam pasir. Dalam kantata ini, Bach juga membuat motif khusus untuk kata-kata “Was frag ich nach der Welt?”. Motif ini dapat kita dengar di sepanjang lagu setiap kali pergumulan yang berkaitan dengan pertanyaan ini muncul. Dalam bagian-bagian berikutnya, kita akan melihat ketegangan antara kesenangan yang ditawarkan oleh dunia dan juga ketakutan akan kematian, bahwa dunia suatu saat akan lenyap dan hilang. 

Seperti kantata pada umumnya, bagian pertama dimulai dengan kur bersamaan dengan flute. Flute yang digunakan di sini berbeda dengan flute yang kita tahu pada umumnya. Flute yang digunakan adalah traverso atau Baroque flute. Suara yang dihasilkan traverso tidak secemerlang dan seberkilau flute yang kita dengar sekarang. Suara traverso lebih kecil dan transparan, sangat cocok dipadukan dengan biola, seolah keduanya menari bersamaan. Kita dapat memaknai keduanya sebagai tangan Tuhan yang melindungi tetapi juga bagaikan asap yang akan hilang begitu saja. Hal ini digambarkan oleh bagian kedua, yaitu ketika suara bas masuk.

Melodi dari “Was frag ich nach der Welt?” terus terdengar di sepanjang lagu. Bach menambahkan banyak trill sebagai hiasan-hiasan kecil untuk mempercantik melodi ini. Penambahan trill ini bagaikan seorang yang sedang mempercantik diri, berdandan, dan menggunakan pakaian terbaik yang dia punya, karena dia sedang bersemangat ingin bertemu dengan Tuhan. 

Seperti dibahas pada bagian sebelumnya, keindahan yang digambarkan oleh traverso dan biola langsung hilang begitu masuk ke bagian kedua ini. Sesuai dengan kata-kata yang dinyanyikan oleh solo bas, dunia ini seperti asap dan bayang-bayang yang sementara dan akan segera hilang. 

Bach memulai bagian ini dengan selo (Ing. cello) yang notnya mengarah turun ke bawah, menggambarkan suatu kekuatan dan keyakinan yang dimiliki oleh orang Kristen yang berakar pada Kristus. Namun kontras dengan itu, solo bas memiliki melodi yang penuh dengan running notes, seperti sesuatu yang sedang tersebar-sebar.

Selanjutnya, Bach menggunakan bentuk arioso (komposisi solo yang tidak sebebas recitative namun tidak memiliki struktur berulang seperti aria), recitative, dan ritornello (satu bagian yang diulang terus-menerus namun oleh alat musik yang berbeda, dalam lagu ini: oboe dan basso continuo) yang membuat bagian ini seperti mini concerto.

Kalau kita membaca lirik dari bagian ini, kesannya Bach sedang menegur kaum borjuis pada zaman itu yang memiliki banyak kekayaan dan harta. Lirik pada bagian ini terus-menerus mengulangi bagaimana orang kaya yang terus-menerus mencari kesenangan dari dunia. Dalam bagian keempat nantinya, Bach ingin menunjukkan tragedi yang terjadi pada orang-orang yang tergoda akan mamon.

The world seeks honor and glory

 among highly exalted people.

A proud man builds the most opulent palaces,

he seeks the highest post of honor,

he dresses himself with the best

in purple, gold, in silver, silk and velvet.

His name shall resound before everyone

in every part of the world.

His tower of arrogance

shall press upward through the air to the clouds,

he is occupied only with the highest matters.

Sebenarnya setiap orang pasti tahu, apalagi kita sebagai orang Kristen, bahwa dunia tidak mungkin menjadi pegangan kita. Sejarah sudah membuktikan bahwa semua yang kelihatan begitu indah dan megah pun suatu saat akan hancur. Tetapi kita tidak bisa memungkiri bahwa kesenangan dunia itu benar-benar menyihir kita. Kita mau tidak mau ingin masuk dan meraih kesenangan di dalamnya. Seperti Hawa yang tertipu oleh si ular, dunia pun sedang menipu kita. Kita pikir kita akan mendapatkan kesenangan ketika mengikutinya, nyatanya dunia hanya menawarkan kehampaan. Kehampaan ini digambarkan oleh traverso. Biasanya traverso akan memainkan nada-nada pada register yang tinggi, karena memang dia memiliki suara yang lebih cemerlang dari instrumen lainnya. Namun di bagian ini, traverso memainkan not di register yang lebih rendah. 

Dalam bagian kelima, Bach menggunakan basso continuo, solo bas, dan kur. Masing-masing memiliki karakteristiknya masing-masing. 

Basso continuo memainkan not kromatis mengarah turun untuk menggambarkan dunia ini seperti cacing yang akan terus turun menggerogoti tubuh kita. Pada saat seperti itu, barulah kita mencari Tuhan.

Solo bas dengan liriknya sedang mengingatkan kita akan betapa bodohnya kita ketika kita tidak mau menderita bagi Tuhan. Tuhan sudah mengorbankan segalanya, bahkan Anak-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan kita, tetapi kita malah meninggalkan Dia dan memilih dunia. 

Sedangkan secara notasinya, Bach mendistorsi melodi utama “Was frag ich nach der Welt?”. Bach ingin menunjukkan betapa dunia ini penuh dengan nilai-nilai yang telah terdistorsi, yang turut mendistorsi kita. 

Melanjutkan bagian sebelumnya, bagian keenam kembali mengingatkan kita akan kebodohan kita. Semua yang di dunia ini seperti asap dan sia-sia semata, namun kita terus-menerus mencari kesenangan dari dunia ini, sampai kita tidak sadar bahwa sorga sudah terbuka di depan mata kita. Kita bahkan membuang sorga demi mengejar kesenangan yang palsu di dunia. 

Bach menggambarkan kesenangan palsu ini dengan memulai bagian ini dengan tangga nada A mayor yang membawa karakteristik ceria, bahagia, dan rasa puas. Sedangkan pada setengah bagian berikutnya, untuk menggambarkan lirik und läßt dafür den Himmel stehen (meninggalkan sorga demi itudunia), Bach menggantinya menjadi tangga nada minor. 

Pada bagian ketujuh ini, Bach menggunakan tangga nada Fis minor. Tangga nada Fis minor memiliki karakteristik suram, kebencian, dan ketidakpuasan. Sama seperti kata-kata Mir ekelt vor der Erden (saya merasa jijik dengan dunia), bagian ketujuh ini menggambarkan pergumulan seseorang yang memisahkan diri dari dunia. Sedangkan pada bagian akhirnya, ada perubahan mood yang mendadak pada kata-kata Ich will nur meinen Jesum lieben (aku hanya ingin mencintai Yesusku). 

Kantata ini kemudian ditutup dengan kur pada bagian ke-8. Nada-nada yang dimiliki oleh kur dan orkestra saling bertautan, bagaikan tarik-menarik antara dunia dan Tuhan. Kita tidak mungkin memungkiri bahwa selama kita hidup di dalam dunia, pasti ada gaya tarik-menarik antara keinginan untuk menikmati dunia dan mengikut Tuhan. Namun bagian kedelapan ini mengingatkan kita bahwa walaupun ada kekuatan tarik-menarik tersebut, kita tetap mengarahkan hati dan kepuasan kita kepada Tuhan saja. 

Kita mungkin bisa mengamini kata-kata pengkhotbah atau pemazmur yang mengatakan bahwa hidup ini sia-sia, seperti asap yang sebentar saja hilang. Namun sering kali kita berlaku seperti kita yang mempunyai dunia, seperti kita yang menguasai dunia. Kita sering kali berusaha membuat hidup kita begitu nyaman dan sempurna, dan baru menyadari bahwa itu semua sia-sia ketika ajal sudah di depan mata. 

Tuhan memang memberikan dunia kepada kita untuk dapat kita nikmati. Tentu tidak ada salahnya pergi berlibur menikmati keindahan alam atau menikmati makanan yang lezat. Tetapi sama seperti bertambahnya waktu dalam kita mengikut Tuhan dan bertumbuhnya kerohanian kita, biarlah kita tidak berpuas hanya dalam kesenangan semata, tetapi kita terus mengejar sumber kesenangan tersebut. Biarlah kita tidak berhenti pada kenikmatan yang ditawarkan dunia yang hanya berhenti pada dunia ini, tetapi kita terus mencari dan berpegang pada kesenangan yang dari Tuhan dan kembali hanya kepada Tuhan. Kiranya Allah yang adalah sumber penghiburan itu sendirilah yang menjadi sumber kesukaan di dalam diri kita, sehingga makin kita melayani dan berelasi dengan-Nya makin diri kita mendapatkan kekuatan dan penghiburan. Bukan hanya melalui relasi dengan-Nya, tetapi juga melalui relasi di dalam persekutuan umat-Nya, kita memperoleh kenikmatan hidup yang sejati. 

Eunice Girsang

Pemudi FIRES