,

Boredom: Alienation from God

Kebosanan memang bukanlah barang baru dan di dalam dunia ini pun bukan hal aneh yang hanya dialami oleh sebagian orang saja. Seperti kebanyakan orang, mungkin engkau berpikir ini hal yang biasa, hanya sebuah perasaan yang akan berlalu dengan sendirinya. Salahkah jika merasa demikian? Orang bisa saja merasa bosan ketika mendengarkan kuliah yang panjang. Atau ketika membaca sebuah buku yang tidak ia disukai. Sah-sah saja. Tetapi yang akan kita lihat dalam artikel ini bukanlah kebosanan-kebosanan sementara yang spesifik seperti itu, melainkan sebuah bentuk kebosanan yang lebih luas jangkauannya, lebih permanen sifatnya, jauh lebih merusak, dan yang seringkali dengan tidak kita sadari sudah merasuk kehidupan manusia dan tidak terkecuali kehidupan kita sebagai anak-anak Tuhan.

Selama mencari bahan untuk artikel ini saya menemukan begitu banyak website yang menyodorkan bermacam-macam cara untuk mengatasi kebosanan. Demikian juga blog-blog yang membahas masalah kebosanan tidak kalah banyaknya. Artikel-artikel tentang kebosanan, baik oleh para ahli maupun orang-orang awam, memenuhi daftar website ini. Hal ini menunjukkan bahwa rasa bosan sudah begitu mencengkeram kehidupan manusia zaman ini. Ia sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat modern. Tapi, mungkin engkau bertanya-tanya mengapa kebosanan bisa merajalela di tengah-tengah zaman yang penuh dengan PlayStation, Xbox, TV, Disneyland, online game, internet, jet coaster, mall, dan segudang pabrik-pabrik hiburan lainnya? Bukankah kita tinggal pilih saja mau yang mana lalu habis perkara?

           

“The chief product of an automated society is a widespread and deepening sense of boredom.”

– Cyril Parkinson –

Revolusi Industri yang bermula pada abad ke-18 di Inggris membawa sejumlah perubahan yang luar biasa bagi masyarakat dunia. Bukan hanya dalam hal perekonomian dan teknologi, tetapi juga struktur sosial dan budaya. Patricia M. Spacks, dalam bukunya “Boredom: The Literary History of a State of Mind,” mengemukakan bahwa Revolusi Industri, dengan penemuan-penemuan barunya yang menggeser kedudukan tenaga manusia, juga menciptakan sebuah konsep ‘waktu luang’ yang baru, yang kemudian menciptakan konsep ‘kebosanan’ yang berbeda dengan zaman sebelumnya. Dengan mesin-mesin sebagai pelaku utama, pekerjaan-pekerjaan menjadi monoton dan menekan daya kreasi manusia. Waktu luang yang tersedia pun semakin banyak, maka semakin banyak orang-orang yang merasa bosan karena tidak melakukan sesuatu untuk jangka waktu yang lama. Lama-kelamaan orang-orang tidak lagi hanya merasa bosan di waktu luang mereka, mereka juga merasa bosan bahkan di saat bekerja. Seiring dengan hal itu, perhatian masyarakat terhadap hak-hak individual mereka semakin menguat. Mereka juga semakin sadar akan kompleksitas kebutuhan batiniah mereka.

Menariknya, dalam buku “A Philosophy of Boredom,” Lars Svendsen mengemukan bahwa konsep ‘menarik’ (‘interesting’) muncul kurang lebih pada saat yang bersamaan dengan berkembangnya konsep ‘individualisme’. Manusia mulai memilah-milah apa yang menarik dan yang tidak menarik. Menyenangkan dan tidak menyenangkan. Enak dan tidak enak. Demikianlah manusia mulai mencari apa yang menarik, menyenangkan, dan enak bagi mereka. Dengan konsep yang baru ini mereka memperjuangkan hak memperoleh kebahagiaan dan hak untuk terus dipenuhi kebutuhannya. Maka kebosanan pun terjadi ketika hal-hal yang ada tidak lagi memuaskan mereka. Dengan kemajuan teknologi, manusia yakin bisa menemukan apa yang mereka cari. Mereka menciptakan berbagai macam sarana untuk memuaskan keinginan dirinya. Semakin lama semakin cepat, semakin banyak, semakin bervariasi. Tapi nyatanya, keinginan manusia berevolusi jauh lebih cepat lagi.

Satu hal yang menarik yang diungkapkan oleh Patricia M. Spacks adalah bahwa selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, faktor ketiga yang berandil besar memperkuat kebosanan masal ini adalah hilangnya pengaruh Kekristenan dalam masyarakat, khususnya di Eropa pada waktu itu.

Pada Abad Pertengahan, Gereja memperlakukan kebosanan sebagai sebuah dosa. Kebosanan, atau yang mereka namakan acedia (diterjemahkan “not to care”), dikategorikan sebagai salah satu dari ketujuh dosa maut. Bersama-sama dengan ‘kemalasan’ atau sloth, kebosanan dianggap sebagai dosa utama atau capital sins, yang berarti bahwa dosa ini merupakan sumber dari dosa-dosa yang lain, senafas dengan yang dikemukakan oleh Kierkegaard, “Boredom is the root of all evil…” dan Richard Baxter yang berpendapat bahwa kemalasan adalah sumber dari dosa-dosa lain. Keduanya saling terkait dan saling mempengaruhi. Efek dari yang satu memperbesar efek dari yang lain, dan demikian seterusnya. Tetapi sayangnya, bersamaan dengan bertambahnya dampak dan peranan teknologi dalam kehidupan manusia, peranan dan pengaruh Gereja semakin tergeser.  

“…As for the future of boredom, Harlow Shapley ranked boredom third in the list of possible cause of the destruction of civilisation….”

– Robert Nisbet –

Saat ini, banyak orang beranggapan bahwa kebosanan adalah sebuah penyakit sosial. Kebosanan bukan lagi sekedar inertia pribadi yang bersifat sementara, tapi telah menjadi sesuatu yang permanen dan menyatu dalam sistem sosial dan budaya dan telah menjadi bagian dari gaya hidup kita. Dan tidak aneh jika kebosanan ini juga muncul dalam hidup orang-orang Kristen bahkan dalam hidup berjemaat. Seberapa sering kita menilai sebuah ibadah dari seberapa besar rasa bosan yang kita rasakan sewaktu mengikutinya? “Bosan deh, pendetanya ngomong apa sih?” “Bosan ah, baca Alkitab terus, kapan habisnya?” “Aduh, panjang amat sih doanya?” Familiar?

Kebosanan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang jinak. Para psikolog, theolog, orang awam berlomba-lomba untuk menemukan penyebab dan solusinya. …THERE is a history as well as a sociology 1of boredom…Dunia menawarkan begitu banyak solusi untuk mengatasi kebosanan kita. Walaupun mungkin terasa jauh dari keseharian kita, apa yang dinyatakan oleh Robert Nisbet perlu kita cermati bahwa yang ditawarkan dunia bukan hanya bersifat sementara, tapi juga merusak: “…The range of cures or terminations of boredom is a wide one: migration, desertion, war, revolution, murder, calculated cruelty to others, suicide, pornography, alcohol, narcotics….” Pada dasarnya, kita dapat melakukan apa pun untuk menghilangkan, atau mungkin bisa dikatakan memuaskan, rasa bosan kita, untuk menjaga agar kita tetap high dan excited. Maka tak heran jika Shapley dengan serius memperlakukan kebosanan sebagai salah satu perusak peradaban manusia yang paling dashyat.

“Happiness is neither outside us nor inside us; it is in God, both outside and inside us.”

– Blaise Pascal –

Kebosanan bukanlah sesuatu yang bisa diatasi begitu saja. Apa yang ditawarkan dunia kita ini hanyalah sekedar ‘band-aid solution’ yang hanya ‘menyembuhkan’ bagian luarnya saja. Dan seringkali semuanya itu hanya akan menimbulkan kebosanan-kebosanan baru yang jauh lebih dalam dan merusak.  

Rasa bosan seringkali dikaitkan dengan tidak adanya hal-hal yang menarik untuk dilihat, didengar, dipikirkan, dilakukan, dan sebagainya. Hal ini harus selalu menjadi peringatan bagi setiap anak Tuhan, bahwa di dalam dunia, tidak ada satu hal pun yang bisa memuaskan kebutuhan mereka, karena seperti yang sering dikatakan, bahwa dalam hati manusia ada sebuah kekosongan yang hanya bisa ditutupi sepenuhnya oleh Tuhan. Senada dengan itu, C.S. Lewis berpendapat bahwa kebosanan akan selalu mengingatkan kita bahwa jika kita tidak menemukan satu hal pun di dunia ini yang memuaskan kita seutuhnya itu berarti kita diciptakan untuk kehidupan yang lain di dunia yang lain, yaitu surga. Orang-orang yang mengenal Allah berbeda dengan mereka yang hidup mengikuti dunia. Bagi kita, seharusnya Allah kita adalah satu-satunya Sumber Hikmat dan Nikmat yang sejati.

Kebosanan adalah dosa, apabila ia menarik kita menjauh dari Tuhan. Richard Baxter, seorang Puritan, secara tegas mendefinisikan kebosanan sebagai dosa melawan panggilan kita sebagai anak-anak Tuhan. Ia memperingatkan agar kita tidak mengejar kesenangan dunia karena semuanya itu akan membuat kita lelah mengerjakan panggilan Tuhan. Kebosanan mengingkari tujuan Allah yang kudus dalam hidup manusia. Kebosanan berarti menolak panggilan Tuhan. Kierkegaard mengatakan bahwa kebosanan adalah akar dari segala kejahatan… dan sebuah penolakan untuk menjadi diri kita — menjadi diri yang mengasihi Penciptanya lebih dari segala hal. Diri kita yang mengasihi Allah tidak akan tinggal diam mendengar panggilan-Nya. Lebih jauh lagi, kebosanan mencegah kita berlaku konsisten dalam mengerjakan panggilan kita. Kebosanan yang ditimbulkan zaman ini membuat kita menginginkan solusi-solusi mudah dan cepat saji, sehingga membuat kita jemu untuk berkutat dengan sebuah persoalan yang sama untuk waktu yang lama. Dalam pergumulan, kita akan lebih senang jika Tuhan langsung memberikan jawaban sekarang, di sini, dan yang kelihatan. Kita tidak lagi mau, jangankan setia, bergumul dengan Firman Tuhan, berdoa, dan menunggu jawaban dari Tuhan. Kita membenci disiplin dan menganggap Firman Tuhan tidak lagi relevan bagi kita karena tidak dapat memberikan jawaban-jawaban yang praktis dan instan. Sehingga, dibandingkan menunggu, kita lebih senang untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan massalah kita atau bahkan kita memilih untuk berhenti, keluar, menghindar dari tanggung jawab kita. Padahal jika kita melihat pengalaman-pengalaman tokoh-tokoh Alkitab ataupun tokoh-tokoh Kristen kontemporer, hidup mereka yang berkenan kepada Allah merupakan hasil pergumulan yang panjang dan terus-menerus bersama Tuhan. Tidak ada yang instan dalam hidup umat percaya. Paulus seringkali menggunakan analogi olahragawan dalam menggambarkan perjuangan hidup anak-anak Tuhan, dan ia selalu mengingatkan bahwa tidak ada seorang atlet pun yang bisa menjadi juara jika tidak mempersiapkan diri. Dan kita tahu persiapan seorang atlet tidak dilakukan dalam waktu yang singkat tapi dalam waktu yang lama dan terus-menerus.

Seringkali kita menganggap bahwa rasa bosan akan hilang dengan sendirinya. Tapi baiklah kita waspada karena kebosanan-kebosanan kecil sekalipun bisa menyeret kita kepada hal-hal yang jahat. R. Paul Stevens, seorang penulis Kristen di kolom ‘Ministry in Daily Life’, mengatakan bahwa kebosanan juga merupakan peringatan bahaya bagi kita bahwa ada sesuatu yang salah dalam hubungan pribadi kita dengan Tuhan. Maka jika kebosanan datang, jadikan saat-saat seperti itu sebagai kesempatan untuk berdoa, bergumul dengan firman Tuhan, mengembalikan keselarasan hati kita dengan Tuhan. Jangan membiarkannya berlarut-larut, karena akan membuat kita semakin jauh dari Tuhan dan membawa diri kita kepada pencobaan.   

Dengan tuntutan zaman yang semakin banyak, kita juga semakin banyak dituntut untuk mengerjakan banyak hal, sehingga seringkali kita luput untuk melihat dan bersyukur atas berkat-berkat Allah. Kita mungkin saja rajin dalam pelayanan, melakukan program ini itu setiap hari, setiap minggu, tapi, tanpa kita bisa menikmati dan bersyukur atas penyertaan Allah, apa gunanya? Atau, sebenarnya kita tidak tahu yang kita kerjakan itu kehendak Allah atau bukan. Seringkali yang membuat kita jenuh dan bosan dalam pelayanan dan merasa apa yang kita kerjakan itu tidak ada artinya adalah bukan karena pekerjaan yang berat dan monoton, tetapi justru karena kita sendiri tidak pernah menyempatkan diri untuk mencari kehendak Allah dan percaya bahwa dalam kehendak-Nya selalu ada anugerah-Nya sehingga kita boleh menghitung berkat-berkat Tuhan. Count your blessings, name them one by one and it will surprise you what the Lord hath done! (Johnson Oatman, Jr.)          

“Trust and obey, for there is no other way to be happy in Jesus, but to trust and obey.”

– John H. Sammis & Daniel Towner –

Kebosanan massal yang timbul di zaman modern ini adalah sebuah masalah yang multidimensi. Berbicara mengenai kebosanan bukan sekedar berbicara mengenai minat atau kurangnya hal-hal yang bisa dikerjakan, tetapi berbicara mengenai sistem yang dianut dan yang mengikat manusia di dunia ini. Itu berarti ketika berbicara mengenai rasa bosan berarti berbicara mengenai manusianya dan mengenai dosa. Manusia sudah jatuh ke dalam keterasingan dari Allah yang merupakan Sumber dari segala sumber, satu-satunya objek minat kita. Maka satu-satunya solusi melawan kebosanan adalah dengan berbalik kepada Allah. Kita perlu terus belajar untuk mengikuti Allah selangkah demi selangkah dan menyelaraskan diri dengan kehendak Allah, berjuang terus untuk percaya dan taat dalam menjalankan panggilan kita di dunia ini, sebagai seorang manusia, imago Dei, sampai nanti kita bertemu Dia muka dengan muka. Dengan kata lain, mari kita hidupi hidup ini dipenuhi dengan peperangan melawan diri dan dosa, dan terus berjuang menyangkal diri untuk melakukan kehendak Allah, karena untuk itulah kita diciptakan, sebagai wakil Allah yang menyatakan kemuliaan Allah. Maka dengan demikian hidup kita tidak lagi berfokus kepada dunia ini yang membawa kita kepada kebosanan melainkan kepada Allah yang hidup. Inilah kepuasan sejati yang mengalahkan kebosanan—puas, karena kembali kepada Allah Pencipta kita. Soli Deo Gloria!

Ita Chandra

Pemudi GRII Kelapa Gading