Counterfeits of God

Kejatuhan manusia ke dalam dosa ternyata menjadi suatu kisah pilu di sepanjang sejarah hingga dunia ini berakhir. Ketidakmampuan manusia untuk pulih dari kejatuhan tersebut menjadi babak baru dari kisah dunia. Dari kejahatan kepada kejahatan menjadi salah satu tema yang kita temukan bersandingan dengan tema penebusan Tuhan di dalam sejarah. Jatuhnya manusia menjadi pembuka tirai perjalanan gurun hidup yang menantikan tanah perjanjian, tanah peristirahatan yang hanya bisa diberikan oleh Tuhan.

Keberdosaan ini merusak seluruh aspek dalam dunia ciptaan. Pertama, Alkitab mencatat bahwa di dalam Adam, seluruh manusia telah jatuh ke dalam dosa.[1] Seperti seorang presiden yang mendeklarasikan perang, deklarasi beliau mewakili seluruh bangsa yang berada di bawah kepemimpinannya. Kedua, kejatuhan ini bukan hanya menyatakan keseluruhan manusia secara kuantitas, tetapi juga kualitas manusia.[2] Seluruh aspek dalam diri manusia, baik kemampuan berpikir, afeksi, dorongan kehendak, bahkan kondisi fisik manusia mustahil mencapai fungsi yang seutuhnya di dalam dunia ciptaan, baik itu berkenaan dengan Allah, sesama manusia, maupun alam. Ketiga, manusia tidak rusak sendiri, tetapi juga seluruh dunia ciptaan yang ditaruh di bawah Adam untuk dia usahakan. Manusia kehilangan relasi penopang hidupnya yang memungkinkan manusia untuk mengusahakan dunia dengan benar. Manusia menjadi pelawan Allah, Sang Pencipta semua. Manusia juga menjadi serigala bagi sesamanya,[3] dan juga manusia menjadi perusak alam. Ia yang harusnya mengusahakan alam di dalam konteks mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia malah menjadi pembuat, pelaku, dan penerima akibat dari sistem korup yang dihasilkan.

Di dalam keberdosaan tersebut, manusia yang diciptakan dari Allah, oleh Allah dan bagi Allah sudah menghasilkan allah-allah yang lain. Manusia memang diciptakan untuk menyembah Allah dan menemukan kepenuhan hidup di dalam Dia. Sebab Tuhan menaruh kekekalan di dalam hati manusia yang hanya bisa diisi oleh Allah yang kekal.[4] Pelarian dari Allah ini akhirnya menghasilkan allah-allah baru yang disesuaikan dengan benak manusia. Pada zaman dahulu, ilah-ilah tersebut berupa patung yang disembah, ditakuti, dan menjadi sumber pemelihara hidup. Tidak berbeda dengan zaman modern, ilah-ilah tersebut tetap disembah, ditakuti, dan menjadi sumber pemelihara hidup, hanya saja mereka hadir dalam bentuk yang berbeda.

Iblis, sang penipu dan bapa segala dusta. Ia bekerja sama dengan kuasa dosa dan dua cara dalam menaklukkan hati manusia yang sudah jauh dari kebenaran. Kekuatan kuasa yang menekan, dan daya tarik seduksi. Dua cara ini dapat bervariasi dalam bentuknya. Tekanan dalam bentuk ancaman, penganiayaan, maupun pembatasan hak-hak, sampai daya tarik nikmat dunia di dalam uang, seksualitas, dan takhta kekuasaan. Namun ternyata kebahayaan terbesar dari pemberhalaan ini bukanlah datang dari hal-hal yang tampak buruk. Justru pemberhalaan paling mematikan datang dari hal-hal yang memang baik. Hal-hal baik yang Allah berikan. Anugerah Allah yang kita jadikan allah dan membuang Allah, Sang Pemberi Anugerah. Hal-hal baik menjadi berhala paling halus yang sulit kita sadari, apalagi kita buang. Sesungguhnya apa yang manusia butuhkan di dalam hidup? Bukankah iman untuk bersandar, pengharapan akan sesuatu, dan yang terutama adalah kasih dari semuanya itu? Berhala menawarkan semua yang palsu dari Allah. Iman, pengharapan, dan kasih yang tidak pernah memberikan apa yang ditawarkan pada mulanya. Apa yang digantungkan pada dunia yang sementara pasti akan berlalu juga bersamanya.

Alkitab menggunakan tiga metafora dalam menggambarkan relasi antara Tuhan dan manusia. Pertama, metafora pernikahan[5] digunakan oleh Tuhan untuk menyatakan Kristus sebagai mempelai lelaki yang mengasihi umat-Nya, sang mempelai perempuan. Yang baginya Kristus harus sampai mati, supaya Gereja-Nya bisa dibangun di dunia, disucikan, dan disempurnakan. Umat-Nya diikat di dalam pernikahan suci yang kekal. Kita adalah umat yang terikat dengan Allah. Kedua, metafora religius,[6] Tuhan menyatakan diri sebagai Sang Penebus. Dia menjadi penyelamat hidup kita dari ketersesatan kita. Menjadi pemberi kehidupan dari kematian kita. Dia memungkinkan kita untuk bangkit dari keterpurukan kita dan menjadi pemberi harapan hidup di tengah-tengah ketiadaan harapan, juga di tengah-tengah pembuangan. Seperti bangsa Israel yang begitu merindukan datangnya Mesias di tengah-tengah pembuangan mereka dari tanah perjanjian, demikianlah Kristus dirindukan untuk menyelamatkan dan mengisi relung kehidupan manusia. Ketiga, metafora pemerintahan,[7] Tuhan sering kali dinyatakan sebagai Raja atau Tuan yang berdaulat penuh terhadap apa yang dimiliki-Nya. Tidak ada hal apa pun yang boleh dilakukan tanpa seizin atau perintah dari Sang Raja. Ia menetapkan segala sesuatu, dan ketetapan-Nya mutlak untuk ditaati.

Bagaimana kita melihat semua ini? Apakah kita berjalan sendiri dalam perjalanan iman ini? Allah pernah menyatakan seseorang sebagai bapa orang beriman. Ia adalah manusia yang juga mengalami pergumulan seperti kita. Pergumulan untuk menyerahkan apa yang tersayang di dalam hidupnya. Abraham berjalan dalam ketaatan yang bukan tanpa pergumulan. Ia diminta pergi ke tanah perjanjian yang tidak ia ketahui sebelumnya.[8] Ia harus meninggalkan keluarga, harta, dan karir yang ia rintis di tanah Ur. Ia meninggalkan semua itu dan mengikuti Allah. Kedua, ketika Allah menjanjikan keturunan kepadanya, ia berjalan selama 25 tahun dengan terus menantikan penggenapan janji Tuhan. Ternyata Tuhan yang sama meminta anak semata wayang itu untuk dikorbankan kepada Tuhan. Yang tersayang dari padanya diminta oleh Tuhan.[9] Alkitab mencatat ia taat, karena ia menaruh pengharapan pada siapa yang sanggup mengisi dan menopang keseluruhan hidupnya.[10]

Abraham adalah model ketaatan yang menjadi pemetaan dari ketaatan Kristus. Kristus yang adalah Allah, Ia taat kepada Bapa hingga Ia tidak melihat posisi dan keberadaan-Nya sebagai Allah adalah milik yang harus dipertahankan. Ketaatan Kristus yang terus melihat dan meresponi Bapa-Nya menjadi teladan yang pertama. Ia menjadi sumber kekuatan bagi seluruh umat-Nya untuk boleh meresponi Allah dengan benar. Ingat akan Kristus yang rela dihajar dengan bengis oleh Bapa yang begitu dicintai-Nya oleh karena pelanggaran orang lain. Akhirnya, kita belajar bahwa pembebasan kita dari berhala-berhala hidup yang memerkosa dan merusak diri ini hanya melalui kembalinya hati kita kepada Allah. Kembali kepada Allah dalam seluruh aspek hidup kita adalah pembebasan sejati dan seutuhnya. Kiranya kita boleh menemukan peristirahatan sejati di dalam Tuhan selama kita hidup,[11] sampai kita bertemu dengan Dia, Raja dan Teladan sejati kita, muka dengan muka.

Nikki Tirta
Pemuda FIRES

Endnotes:
[1] Roma 5:12.
[2] Roma 3:23.
[3] Homo Homini Lupus. Pernyataan ini dikeluarkan oleh Titus Maccius Plautus pada tahun 195 B.C.
[4] Augustine, “Confessions of Saint Augustine”, Oxford Press, 2002; Pengkhotbah 3:11.
[5] Tim Keller, “Counterfeit God”, Hodder & Stoughton, 2010.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Kejadian 12:1-3; Ibrani 11:8.
[9] Kejadian 22:2.
[10] Ibrani 11:17-19.
[11] Mazmur 73:25; Mazmur 16:2; Filipi 3:6-8;