Secara umum suatu relasi hanya mungkin jika terdiri dari lebih dari satu distinct komponen, baik pribadi, benda material, maupun non-material. Kata relasi bisa menghubungkan antara suatu pribadi dengan non-pribadi (contohnya: relasi manusia dengan alam), maupun non-pribadi dengan non-pribadi (misalnya: relasi antara negara-negara, relasi antara ide-ide, dan seterusnya). Namun di sini saya membatasinya hanya kepada hubungan yang terjadi antara pribadi dengan pribadi lain. Atau dengan kata lain menunjuk kepada personal relationship.
Dalam doktrin Tritunggal ada beberapa pokok ajaran yang akan dijabarkan dengan singkat di sini. Pertama, Allah itu tiga Pribadi (God is three distinct Persons). Kedua, tiap-tiap Pribadi adalah Allah sepenuhnya (Each Person is fully God). Ketiga, hanya ada satu Allah (There is only one God). Jadi Allah Bapa berbeda dengan Allah Anak dan Allah Roh Kudus, dan Allah Anak juga berbeda dengan Allah Roh Kudus. Namun, ketiga Pribadi tersebut mempunyai esensi, yaitu kuasa, kemuliaan, dan kehormatan, yang sama; Pribadi yang satu, secara esensi, tidak lebih rendah dari yang lain. Walaupun secara ekonomis[1] dan fungsi ketiga Pribadi tersebut berbeda, ketiganya mempunyai tujuan dan kehendak (purpose and will) yang sama, serta ketiganya turut serta mengerjakan segala sesuatu (seperti penciptaan, penebusan, dan lain-lain). Berdasarkan penguraian di atas, setidaknya ada dua implikasi yang dihasilkan, yaitu: pertama, Pribadi Ilahi yang berbeda (distinct) tetap mempunyai kesatuan[2]; kedua, Allah yang ber-Pribadi itu saling berelasi satu dengan yang lain.
Sebelum sampai kepada implikasi praktis doktrin Tritunggal dalam hubungan antara manusia, mari kita berpikir antitesis dari judul artikel ini. Apakah Allah yang satu Pribadi saja mungkin menjadi dasar relasi? Relasi seperti apakah yang terjadi jika Allah hanya satu Pribadi? Alkitab mengajarkan Allah itu kasih (I Yoh. 4:8). Ini berarti esensi Allah adalah kasih, dalam pengertian kasih dalam derajat tertinggi, kasih yang tidak berkondisi dan rela untuk menyerahkan nyawa-Nya bagi umat tebusan. Tetapi jikalau Allah hanya satu Pribadi, bagaimanakah esensi kasih Allah dinyatakan dalam kekekalan sebelum segala sesuatu diciptakan? Bukankah kasih itu sendirinya membutuhkan subjek dan objek kasih? Namun mungkin ada yang berpikir, “Apakah subjek dan objek kasih itu pasti harus Pribadi yang terpisah?” Dengan kata lain, apakah tidak mungkin Allah itu kasih dalam arti Dia mengasihi Diri-Nya sendiri dalam kekekalan? Seandainya mungkin jikalau Allah dalam kekekalan hingga selama-lamanya mutlak hanya mengasihi Diri-Nya sendiri dan tidak yang lain, apakah jadinya dunia ciptaan-Nya? Berikut ini adalah hal yang mungkin mengikuti: Penciptaan alam semesta menghasilkan ciptaan yang tidak memiliki unsur kasih kepada sesama. Manusia yang diciptakan menurut gambar-Nya tidak akan menemukan kata ‘kasih kepada sesama’ dalam kamus hidupnya. Ketaatan kepada perintah Allah dimotori oleh rasa takut akan hukuman, bukan berdasarkan kasih kepada Dia yang mendasari serta meneladani kasih kepada pribadi lainnya. Hidup manusia selalu dicekam oleh perasaan ketakutan yang tak habis-habisnya. Manusia hidup tanpa pengharapan hidup kekal karena kasih egosentris-Nya tidak mengizinkan manusia berbagian dalam sorga-Nya. Selain itu hubungan antara manusia dapat dipastikan dingin karena tanpa kasih. Perasaan iba, toleransi, sabar, belas kasihan, dan semua perasaan yang berakar dari kasih menjadi sesuatu yang asing dalam sejarah hidup umat manusia. Jadi Allah yang satu Pribadi tidak akan bisa menjadi dasar relasi antara manusia karena tidak mempunyai kasih sejati yang adalah unsur penting dalam berelasi. Lantas, mungkinkah Allah yang tadinya hanya mengasihi Diri-Nya dalam kekekalan berubah menjadi kasih dalam relasi dengan ciptaan-Nya? Jikalau mungkin, ini berarti sifat ilahi Allah berubah tergantung kepada sesuatu di luar Allah, yaitu ciptaan-Nya. Allah memerlukan ciptaan-Nya untuk mengaktualisasikan Diri-Nya atau memerlukan ciptaan-Nya untuk mengaktualisasikan atribut-Nya. Allah yang demikian bukanlah Allah yang berdaulat, absolut, dan mandiri. Allah yang demikian bukanlah Allah Alkitab. Selain itu, relasi yang didasarkan kepada kasih kepada diri tidak mungkin menghargai perbedaan. Perbedaan atau keunikan antar pribadi akan dilihat sebagai evil yang harus dibasmi sehingga relasi yang demikian tidak mungkin menciptakan relasi yang diwarnai dengan kedamaian.
Sebaliknya, bagaimana jikalau Allah itu tiga Pribadi dengan tiga esensi yang berbeda-beda? Mungkinkah ada tiga Allah yang Mahakuasa (Almighty) dengan esensi atau keberadaan yang berbeda? Siapakah di antara ketiganya yang berhak atas hormat dan pujian dari ciptaan, mengingat prinsip “satu orang tidak bisa mengabdi kepada dua tuan”? Jikalau ketiga-Nya adalah juga Pencipta, apakah berarti ciptaan A harus taat kepada Allah Alfa, sedangkan ciptaan B harus taat kepada Allah Beta, dan seterusnya? Jikalau tiap-tiap ciptaan hanya cukup untuk taat dan bertanggung jawab kepada salah satu Allah Penciptanya saja, maka tiap ciptaan akan mempunyai standar berbeda-beda yang ditetapkan oleh masing-masing Penciptanya. Standar yang berbeda-beda ini akan membuat relasi pribadi-pribadi menjadi tidak mungkin harmonis karena tiap pribadi mempunyai tuntutan moral, sistim nilai, tujuan eksistensi yang berbeda-beda. Kehidupan manusia akan berakhir dengan individualisme dan terisolasi satu dengan yang lain. Dengan demikian Allah yang terdiri dari tiga esensi juga tidak dapat menjadi dasar dalam berelasi pribadi dengan pribadi secara harmonis. Relasi yang mungkin terjadi adalah relasi yang didasarkan kepada perbedaan mutlak, sifat relatif dan semangat persaingan antar pribadi. Relasi yang demikian tidak akan menghargai kesamaan antar pribadi, baik dalam hal derajat, hak, dan keberadaan sebagai pria atau wanita dan lain sebagainya.
Sekarang bagaimanakah implikasi Tritunggal dalam relasi antar pribadi-pribadi? Di zaman individualisme, kata “pribadi” yang dipakai dalam Tritunggal mempunyai makna yang penting. Dewasa ini kata-kata seperti individualis, independence, freedom, privacy, dan kata-kata lain yang berorientasi pada ke-aku-an makin sering dipakai. Bahkan makna kata “pribadi” pun tidak luput dari kontaminasi semangat individualisme sehingga kata tersebut lebih diasosiasikan pada eksklusifitas dibanding relasi. Masalah pribadi berarti eksklusif terhadap orang “luar”; kehidupan pribadi berarti hal yang hanya menyangkut pribadi tersebut; mobil pribadi, rumah pribadi dan sebagainya, berarti dimiliki dan hanya dinikmati oleh pemiliknya. Lama kelamaan, sadar atau tidak, kata “pribadi” bersinonim dengan “individualisme.” Walaupun membaharui makna dari satu kata sama susahnya dengan mengubah pemikiran masyarakat pemakainya, kita bisa mulai dari kehidupan bergereja dengan belajar dari Pribadi Allah Tritunggal. Dalam Tritunggal, Pribadi-Pribadi tidak eksis independen dari yang lain melainkan hidup dalam relasi yang intim dan kasih yang sejati mewarnai relasi tersebut. Dengan kata lain, satu pribadi tidaklah bersifat individualis, melainkan bersifat relasi – suatu relasi yang mengakomodir seluruh atribut Allah secara sempurna. Kedaulatan Allah tidak pernah terkompromi dikarenakan relasi ini, demikian juga pada saat yang bersamaan, kasih-Nya yang sempurna dan keadilan-Nya. Semuanya tercakup dalam relasi antar Pribadi dari Allah Tritunggal yang tidak mungkin terjadi pada allah yang tidak tritunggal.
Di antara Pribadi Allah Tritunggal tidak pernah akan terjadi konflik sebagaimana yang sering terjadi di antara dewa-dewi mitos Yunani. Keharmonisan menjadi hal yang langka di dunia yang kompetitif. Sistim kompetisi ini meliputi segala aspek tanpa kecuali—dari bangku sekolah SD hingga ruang kuliah, petani di desa hingga para pengusaha, bahkan pelayanan dalam gereja – sehingga menggenapkan peribahasa Roma, Homo homini lupus. Walaupun kompetisi ada yang sehat dan kadang-kadang mendorong perbaikan mutu, kita tidak boleh melupakan aspek harmonis dalam relasi antar pribadi. Harmonis tidak berarti semuanya sama, karena jikalau semua sama maka tidak perlu harmonis. Harmonis juga tidak berarti tidak perlu ada kesamaan seperti poros yang menjadi acuan (dalam hal ini kita percaya ialah kebenaran Firman Tuhan). Harmonis yang tanpa poros acuan akan bertentangan dengan makna harmonis itu sendiri (yaitu persetujuan terhadap, in agreement with). Sebaliknya keharmonisan justru terjadi jikalau pribadi yang berbeda-beda dapat menempati posisi masing-masing dalam kebenaran dan mempunyai hati yang lapang. Distinct yet tolerable. Saling melengkapi dan membangun melalui perbuatan dan kalimat yang konstruktif; menghindarkan diri dari perasaan yang overly sensitive atau insensitive at all. Di sini kita melihat hanya Allah yang Tunggal dan sekaligus Jamak yang dapat menjawab permasalahan relasi yang menuntut adanya kesamaan dan sekaligus perbedaan. Allah yang Tunggal saja tidak mungkin mendasari relasi yang menghargai perbedaan dan sebaliknya Allah yang Jamak tidak mungkin mengerjakan kesamaan. Hanya Allah yang Tritunggal, Tunggal dan Jamak, satu Pribadi dan tiga Pribadi sekaligus yang dapat mendasari relasi yang sejati. Perbedaan yang ada tidak menghilangkan kesamaan, dan kesamaan juga tidak menutupi perbedaan.
Alkitab mencatat bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Perlakuan terhadap sesama manusia seharusnya dilandaskan pada kesadaran ini. Jadi, tidak seharusnya ada pembagian kasta-kasta pada manusia. Hal ini juga mencegah kita dari menghina orang lain dan merasa diri sendiri Übermensch; sebaliknya kita dapat lebih menghargai orang lain walaupun tingkat pendidikan, posisi pekerjaan, dan latar belakang keluarga kita berbeda. Selain itu, mengingat bahwa semua manusia sudah berdosa dan menyadari tidak ada manusia yang terlalu hina sehingga tidak memerlukan Injil, maka kita memberitakan Injil tanpa pandang bulu. Di samping kesamaan dalam Allah Tritunggal, Pribadi Allah Tritunggal adalah Pribadi yang berbeda satu dengan lainnya. Ini mengajarkan kita bahwa setiap pribadi mempunyai keunikan masing-masing. Keunikan tersebut tidak perlu dihilangkan untuk mencapai kesatuan, sebaliknya keunikan tetap dipertahankan dan menjadi kekayaan dalam kesatuan. Dengan kesadaran ini dalam berelasi, kita tidak akan merasa keunikan sebagai ancaman sehingga berusaha menghapuskan dengan cara memaksakan keunikan diri sendiri. Yang terjadi seharusnya kita berelasi dengan sikap rendah hati—rendah hati untuk belajar dari keunikan orang lain dan belajar mengerti (bukan menuntut dimengerti) keunikan tiap pribadi. Mata tidak perlu iri kepada kaki, tangan tidak perlu berusaha menjadi telinga, dan seterusnya. Inilah yang diajarkan Firman Tuhan kepada kita agar kita dapat berelasi dengan baik antar pribadi dalam komunitas gereja Tuhan, umat pilihan-Nya, atau tubuh Kristus.
Kiranya Allah Tritunggal yang berbeda namun sama, dan yang berelasi dengan kasih dan harmonis dapat menjadi dorongan untuk dan teladan dalam berelasi dengan sesama. Soli Deo Gloria.
David Dapo
Pemuda GRII Singapura
Referensi:
Wayne Grudem, “Bible Doctrine”, Inter-Varsity Press, 1999.
Amy Plantinga Pauw, “The Supreme Harmony of All: The Trinitarian Theology of Jonathan Edwards”, Wm. B. Eerdmans Publishing Co.
[1] Berikut kutipan dari Wayne Grudem, “Bible Doctrine,” hal. 115-116, mengenai arti kata ‘ekonomis’: The “economy of Trinity” [as opposed to the ontological of Trinity] means the different ways the three Persons act as they relate to the world and to each other for all eternity. [Emphasis added]
[2] Kesatuan yang bersifat personal, bukan kesatuan impersonal. Bandingkan pembahasan tentang ontological Trinity pada edisi 38 Sep 2006 oleh Adi Kurniawan dan Ev. Jimmy Pardede.