Ketika menjelang Natal, di bulan Desember, kembali kita melihat dekorasi dan pohon Natal mahaindah di mana-mana. Tapi sayangnya di balik semua kerlap-kerlip lampu dekorasi itu kita sudah tidak bisa lagi melihat dengan jelas makna Natal yang sesungguh-sungguhnya. Sebenarnya, hal ini sudah merupakan penipuan massal akan makna Natal itu sendiri. Walaupun sejujurnya, saya kadang masih bisa juga menikmati indahnya permainan kerlap-kerlip lampu-lampu Natal. Namun sekarang, ketika saya sudah menemukan dan menyadari pengertian yang sesungguhnya akan Natal, sulit untuk berhenti pada pemahaman sebatas indahnya kerlap-kerlip lampu dan merdunya lagu-lagu Natal yang membawa kedamaian tersendiri ke dalam hati. Dalam hal ini, saya bukan mau menjadi orang yang sinis karena saya bukan Grinch, namun saya juga tidak bisa lagi menjadi anak kecil polos yang overjoyed and excited karena mengharapkan Sinterklas yang naik kereta salju dan membawa segudang hadiah yang meriah untuk dibagi-bagikan. Gambaran seperti itu sebenarnya tidak lebih daripada sebuah “cursed Christmas”.
Suatu saat, di sebuah “International Christian School” di Jakarta, saya melihat sebatang pohon natal yang dihiasi dengan berbagai kartu-kartu Natal kecil di dekat lobi utama. Saya terperanjat ketika melihat isi tulisan dalam kartu-kartu itu bermacam-macam namun mempunyai satu kesamaan. Isi tulisannya adalah: “What is your Christmas wish?” Maka jawabannya adalah: “I want a new laptop”, “I want to have a blackberry”, “I want a new PlayStation 3”, “I want and I want a bla bla bla….” Kesamaannya adalah tidak ada satu pun tulisannya yang berkaitan dengan Christmas. No Christ at all. What a cursed Christmas?! Saya tidak bermaksud menjadi sinikal dan dengan sengaja secara arogan merendahkan hal-hal semacam ini, namun sejujurnya ada kesedihan yang mendalam jika dunia terus dibius oleh keglamoran Natal seperti itu. Entah mengapa, nuansa Natal di seluruh dunia memang membawa suatu suasana sukacita tersendiri yang diakui dan dirasakan baik orang Kristen maupun non-Kristen. Tapi di Natal tahun 2008 ini mari kita telusuri arti Natal sesungguhnya, dari sejak kitab pertama dalam Alkitab sampai pada masa kegenapan di dalam tokoh utama Natal itu sendiri, yaitu Tuhan Yesus Kristus, the Lord of lords and the King of all kings.
Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah: ”Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi. Allah melihat bahwa terang itu baik, lalu dipisahkan-Nyalah terang itu dari gelap. (Kej. 1:1-4)
Alkitab menyatakan bahwa Allah menciptakan dunia ini dan Allah melihat semuanya itu baik. Kita tidak pernah mengerti kebaikan macam apa saat itu dan keindahan bagaimana yang mungkin terjadi. Namun, sejak Kejadian 3 sampai sekarang kita diperhadapkan pada dunia yang sudah carut-marut dan penuh dengan kegelapan. Dalam memandang kehidupan ini, mau tidak mau kita harus selalu menyadari kembali adanya fakta dosa yang sudah terjadi sejak Adam jatuh dalam dosa (The Fall). Fakta dosa adalah suatu hal yang sering kali dikhotbahkan dan kadang sungguh membosankan jika setiap kali bicara tentang manusia, kita selalu akan kembali sampai ke Kejadian 3. Kebanyakan orang berpendapat bahwa kejadian itu pun sudah terjadi puluhan ribu tahun yang lalu yang sepertinya juga bukan karena kesalahan kita juga, tapi kita selalu dikait-kaitkan. Namun, sebenarnya memang kita terkait, karena konsep dosa dalam Adam diakui atau tidak diakui itulah yang sedang kita hidupi sekarang. Dan Tuhan telah menyatakannya dalam Alkitab sehingga meskipun puluhan ribu tahun yang lalu, kita tetap mengerti akar masalahnya.
Manusia diciptakan Allah dari debu tanah, yang dapat ditafsirkan sebagai penekanan akan kefanaan debu yang mudah sekali tertiup angin dan lenyap. Allah mau dan rela membentuk image-Nya dari debu-tanah, yang kemudian diberi kuasa atas tanah/bumi. Dan manusia yang dari tanah ini, Allah letakkan di atas tanah. Kej. 2:8 mengatakan, “Selanjutnya Allah membuat taman di Eden, di sebelah Timur; di situlah ditempatkan manusia yang dibentuk-Nya.” Di sini kita melihat bahwa di dalam Perjanjian Lama, tanah menjadi tema yang sangat penting. Tanah merupakan suatu tempat/media ujian ketaatan bagi manusia sebelum ia kembali ke dalam tanah (setelah Kejadian 3), tanda berakhirnya masa pengujian. Selain itu tanah juga merupakan media penyataan kemuliaan Allah, baik tanah dalam wujud manusia-manusia dari generasi ke generasi maupun tanah dalam arti bumi/dunia ciptaan Allah.
Sayangnya tidak selama-lamanya hal itu terjadi, ketika kita membaca Kejadian 3, Adam jatuh di dalam dosa, tapi yang terjadi bukan Adam yang dikutuk oleh Allah, melainkan tanah yang dikutuk oleh Allah. Kej. 3:17 “…terkutuklah tanah karena engkau….” Cukup mengherankan ternyata Allah tidak menjatuhkan kutuk pada Adam secara langsung, dalam hal ini seharusnya kita bisa melihat bagaimana Allah masih berbelas kasihan dengan memberi ruang untuk adanya kemungkinan pertobatan dalam sebuah rencana sejarah penebusan manusia (in His redemptive history), mengingat Adam di sini berdiri sebagai image of God yang sekaligus mewakili seluruh umat manusia, bukan secara personal sebagai seorang yang hanya bernama Adam. Karena jika Adam dikutuk langsung oleh Allah, maka habislah cerita manusia di bumi ini. Namun kutukan atas tanah ini tetap membawa berbagai implikasi hukuman langsung pada manusia, yaitu: dengan bersusah payah manusia akan mencari rejekinya dari tanah itu seumur hidupnya, semak duri yang akan dihasilkan bagi manusia, dengan berpeluh manusia akan mencari makanannya dengan mengusahakan bumi (tanah) yang sebenarnya merupakan mandat Allah sendiri kepada manusia, yang melaluinya manusia memuliakan Allah. Tetapi di dalam jerih payahnya, akhirnya manusia yang dari debu (tanah) hanya akan kembali menjadi debu (tanah). Dan setelah itu kisah The Fall ditutup dengan pengusiran Adam dan Hawa dari taman Eden. Kej 3:24 “Ia menghalau manusia itu dan di sebelah timur taman Eden di tempatkan-Nyalah beberapa kerub dengan pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan.”
Di sini kita dapat melihat bahwa tanah dalam Perjanjian Lama memiliki dimensi fisik dan spiritual, sehingga diusir dari tanah bukan hanya merupakan pergi dari tanah tempat manusia itu mencari makan semata, melainkan merupakan penghalauan dari pohon kehidupan, suatu hukuman/malapetaka besar bagi manusia. Selanjutnya, di dalam sejarah bangsa Israel, segala sesuatu yang berhubungan dengan janji tanah merupakan sebuah tolak ukur relasi Allah dan manusia yang di dalam Imamat 26 dinyatakan dengan jelas dalam dua istilah: berkat dan kutuk. Perjanjian Allah dengan manusia sejak awal ditandai dengan Perjanjian Tanah (Kej. 1:28), dan tema ini terus diusung di sepanjang sejarah bangsa Israel dalam sebuah sejarah keselamatan Allah bagi umat-Nya. Janji tanah ini diulang lagi melalui perjanjian Allah dengan Abraham akan adanya suatu tanah perjanjian di mana keturunan Abraham akan mendiami negeri itu. Dan ketika bangsa Israel memberontak dan tidak setia kepada Allah maka hanya satu kemungkinan yang terjadi yaitu pengusiran dari tanah (ada suatu repetisi yang berpola). Bangsa Israel dibuang dari tanah perjanjian (exile) ketika mereka tidak setia kepada Allah, seperti yang terjadi pada Adam di Kejadian 3 di mana dia diusir dari tanah yang diberikan Allah kepadanya. Inilah sisi kutuk dalam perjanjian tanah, diusir dari tanah di mana manusia ditempatkan.
Tetapi di dalam kutuk karena keberdosaan manusia, ketika kemuliaan Allah di atas tanah perjanjian dirusak, sejarah keselamatan dari Allah bagi manusia tetap berjalan. Allah menganugerahkan sebuah rencana penebusan bagi “tanah” yaitu manusia dan bumi ini, di mana Allah menyatakan kegenapan kemuliaan-Nya. Penyataan kemuliaan Alah yang tidak terbatas ini dinyatakan-Nya dalam ribuan generasi. Pada waktu Allah mencipta, yang juga merupakan salah satu bentuk deklarasi kemuliaan-Nya, Allah memerintahkan manusia untuk beranak-cucu dan memenuhi bumi.[1] Maka ketika rencana keselamatan Allah hadir sebagai pemulihan kemuliaan Allah, sejarah keselamatan pun dinyatakan-Nya secara progresif dalam ribuan generasi juga. Maka ketika sampai kepada Perjanjian Baru, pada pasal 1 Injil Matius, kita melihat silsilah Sang Mesias dibagi dalam tiga kerangka besar perjanjian antara Allah dan umat-Nya berkenaan dengan tanah: janji akan tanah perjanjian, penggenapan tanah perjanjian, dan pengusiran dari tanah perjanjian (exile) – pemulangan (restoration) dari pembuangan. Ketiga kerangka ini sebenarnya merupakan penggambaran secara global bahwa nanti akan ada restorasi yang sesungguhnya yaitu di dalam Mesias yang akan datang, keturunan Daud yang lahir di Betlehem – Yesus Kristus.
Maka di dalam Perjanjian Baru, kedatangan Kerajaan Allah ditandai dengan kedatangan/inkarnasi Tuhan Yesus sebagai awal penggenapan ultimat restorasi ini. Lahirnya Tuhan Yesus ke dalam dunia, mengambil bentuk dan rupa manusia, menjadi bertubuh dan berdarah, menjadi “tanah”, bukanlah merupakan suatu peristiwa yang sepatutnya dan sewajarnya. Allah Anak sendiri yang harus menanggung setiap kutuk yang dikatakan di Kejadian 3. Ketika tanah dikutuk akan menghasilkan semak duri, maka secara harfiah pun Tuhan Yesus yang sepatutnya mengenakan mahkota kemuliaan-Nya, rela memakai mahkota duri yang tertancap di kepala-Nya. Ketika manusia harus berpeluh dan bergumul dalam kehidupannya di mana hidup ini tidak akan lepas dari tarik-menarik antara mengikuti/menggenapkan kehendak Allah atau menuruti kehendak saya/dunia. Maka, apakah ada yang lebih besar daripada pergumulan di taman Getsemani di mana akhirnya Tuhan Yesus dengan peluh yang seperti darah berkata: ”Bapa, bukan kehendak-Ku yang jadi melainkan kehendak-Mu….” Demikian juga kutukan ketiga, manusia dari debu akan kembali menjadi debu, mati karena dosa, Tuhan Yesus menanggung kematian seluruh umat manusia dengan mati di atas kayu salib, turun dalam kerajaan maut, dan pada hari ketiga bangkit pula dari antara orang mati. Tuhan Allah, menanggung kematian untuk manusia.[2] Ketika Tuhan diturunkan dari salib, Ia menanggung kutukan kembali kepada debu masuk dalam tanah.
Semua kegenapan ini diawali Tuhan Yesus dengan menjadi “tanah”, sebuah tubuh yang lahir dari seorang perawan Maria dan hidup terbatas berada di atas tanah. Kehidupan Tuhan Yesus bukan hidup dengan segala fasilitas mewah, kuasa, dan kemuliaan yang menyertai-Nya, namun menjadi di dalam hidup yang “sama seperti saudara-Nya”. Kesadaran akan betapa besar dan mulianya Tuhan kita yang rela menjadi manusia, membuat Natal tidak mungkin hanya menjadi kesukacitaan semata-mata tanpa disertai dengan “ketakutan dan kehormatan – with fear and reverence” yang amat sangat kepada Allah.
Restorasi tanah, baik manusia dan bumi ini, akan mencapai kepenuhannya pada kedatangan-Nya yang kedua kali, di mana akan ada pembuangan final (final/ultimate exile) dan restorasi final (final/ultimate restoration). Ketika saat itu tiba, maka Yesus Kristus bukan lagi bayi natal yang lucu dan dikelilingi malaikat-malaikat berwajah manis yang bernyanyi “Gloria in excelsis Deo….”, tetapi…
“… dan mata-Nya bagaikan nyala api… dan suara-Nya bagaikan desau air bah… dan dari mulut-Nya keluar sebilah pedang tajam bermata dua, dan wajah-Nya bersinar-sinar bagaikan matahari yang terik.” Wahyu 1:14-16
Restorasi tanah tidak berhenti pada kayu salib tetapi sampai Anak Manusia bertakhta di takhta-Nya yang kudus, memerintah atas dan bersekutu dengan “tanah pilihan-Nya” (umat pilihan-Nya) yang telah dikuduskan-Nya secara sempurna untuk kemuliaan-Nya sampai selama-lamanya.
Natal harus dilihat secara utuh. Bayi Yesus yang mungil dan lucu di dalam kisah Natal adalah Pribadi yang kelak menjadi Hakim atas segala hakim, Tuan atas segala tuan, dan Raja atas segala raja. Pengertian ini mengajarkan kita untuk tidak melepaskan kedatangan Anak Allah yang pertama dari kedatangan-Nya yang kedua, sehingga kisah Natal sesungguhnya tidak diganti dengan dongeng Natal yang menyesatkan dan kabur. Kerlap-kerlip dekorasi dan lampu Natal tidak boleh mengaburkan mata kita dalam memandang Pribadi Yesus Kristus, Sang Mesias, dan Sang Keturunan Perempuan yang meremukkan kepala ular, yang melemparkan ular tua itu ke dalam perapian yang menyala-nyala, di mana terdapat api yang tidak dapat dipadamkan, ratap dan kertak gigi.
“Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan laut pun tidak ada lagi. Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya.” Wahyu 21:1-2
And there’s no more cursed Christmas. Merry Christmas…
Dewi Arianti Winarko
Mahasiswi Institut Reformed
[1] Skillen, J. Lecture on Christianity and Society (Day 1). 11 September 2008.
[2] Boice, J. M. Commentary Genesis. Vol I. (Grand Rapids: Michigan, Baker Books, 1998), 226.