Dangerous Supplement

Di Merriam-Webster Dictionary, definisi ‘game’ adalah activity engaged in for diversion or amusement. Kita semua, dari anak kecil sampai orang dewasa pasti pernah main game. Seiring berjalannya waktu, terlebih karena kemajuan teknologi, pengertian istilah game bergeser. Pada zaman sekarang kalau kita menyebut kata ‘game’ maka yang terlintas di benak kita adalah video games, seperti PlayStation, Game Boy, Xbox, dan lain-lain. Lalu mengapa manusia suka main game? Apakah tujuan sebenarnya kita main game? Dan apakah main game itu salah? Simak wawancara Pillar (P) dengan Ev. Ivan Kristiono (I) berikut ini.

P: Apakah Ev. Ivan pernah atau senang bermain video game? Kalau iya, game apa yang paling disukai atau paling berkesan?

I: Ya, saya dulu sangat gemar dan sering bergaul dengan electronic game (selanjutnya disebut game), komik, dan anime, meskipun tidak sampai level ekstrim. Waktu TK saya berkenalan dengan Game & Watch, SD dengan ATARI dan PC game, SMP dengan Nintendo, SMU dengan SEGA dan Super Nintendo, lalu waktu kuliah dengan PlayStation. Selain itu waktu SD kelas 6 dan SMP, dua minggu sekali, saya bermain video games di Sri Ratu Mall Semarang selama berjam-jam. Dan juga bermain di tempat rental game. Karena tubuh saya yang lemah dan sakit-sakitan pada waktu kecil, saya sering terbaring di tempat tidur. Maka saat itu, teman saya adalah game, komik, dan anime. Kacamata minus saya ini adalah “oleh-oleh” dari Mario, Luigi (tokoh-tokoh dalam Nintendo), Voltus, Mazinga, Superman, Batman, dan lain-lain. Sekarang saya masih juga suka main game. Namun saya belajar membatas diri dan melakukan pertobatan selera (saya senang istilah dari Pak Billy ini) dan kebiasaan. Game yang sampai saat ini masih berkesan adalah Age of Empire II. Dalam game itu, kita berperan sebagai tokoh-tokoh besar dalam sejarah seperti William Wallace, Joan of Arc, Saladin, atau Genghis Khan.

P: Menurut Ev. Ivan, apa tujuan manusia bermain game? Kenapa kita suka main game? Apa yang begitu menarik dari game sehingga kita suka memainkannya, bahkan kadang ada yang sampai kecanduan?

I: Saya bukan bicara sebagai seorang ahli. Saya belum pernah riset dan studi serius untuk tema ini dan sebenarnya saya kurang berani menjawab. Tapi saya akan mencoba memberi opini dari apa yang saya pernah tahu. Berdasarkan penelitian (saya lupa oleh siapa), satu dari empat orang yang bermain game berpotensi untuk kecanduan. Mengapa kecanduan dan mengapa ada orang yang sangat suka main game? Saya mencoba menjelaskan dari beberapa sudut pandang, mengapa bagi beberapa orang game itu sangat menarik dan mengapa perlu waktu lama untuk memainkannya. Antara kecanduan game dan bermain bola atau hobi memancing agak berbeda. Game adalah produk teknologi tinggi yang mempunyai sifat sebagai teman di mana pun dan kapan pun. Teman kita tidak bisa 24 jam di sisi kita, namun game dapat berada di sisi kita kapan saja kita mau. Teman kita mungkin mengatur kita, sedang game adalah teman yang bisa kita atur. Bahkan jika permainan begitu sulit, saya bisa memasukkan kode curang untuk mengaturnya. Kalau saya sudah bosan, saya matikan dia, atau saya ganti game yang lain. Kalau mau dia hadir, saya nyalakan. Maka kecanduan game benar-benar dapat menyita seluruh waktu dan tenaga kita, karena dapat dihadirkan kapan pun dan di mana pun (bahkan dalam kelas, waktu guru tidak siaga).

Menurut Jean Baudrillard, ada dua macam kesenangan yang diperoleh dari permainan elektronik. Yang pertama, lenyapnya ruang dan waktu nyata, dan terbukanya pengembaraan ke dalam ruang virtual. Kedua, parodi realitas dengan pemutarbalikan hukumnya.

Secara alat, game sekarang tidak terbatas pada console (sebuah alat yang baru menyala kalau dihubungkan dengan TV). Inovasi dengan teknologi layar memungkinkan adanya game dengan layar mini: Game Boy, Game Boy Advance, N-Gage, Nintendo DS, dan yang paling puncak saat ini adalah PlayStation Portable. Jadi Saudara bisa main game di sekolah, di stasiun, di ruang tunggu dokter—di mana saja.

Jadi alat yang semakin memadai, suasana yang semakin menantang dan realistik, menjadikan kita semakin tertarik. Sihir kualitas grafis yang semakin luar biasa saja mungkin sudah cukup untuk membuat orang berkeinginan mencoba game.

Seorang penulis mengatakan bahwa tiap orang sangat menginginkan tantangan. Tantangan dan keinginan untuk bertualang serta mencoba hal-hal baru ada dalam setiap orang. Namun orang juga cenderung tidak suka pada resiko. Jadi, mau tantangan tetapi tidak mau resiko. Apa solusinya? Salah satunya adalah lewat bermain game. Kita bisa ngebut secepat 350 km/jam dengan motor atau mobil yang demikian mendetil dan persis dengan aslinya. Mau mengendarai Yamaha YZR-M1 atau Honda RC211V andalan Rossi? Atau keliling kota dengan Ferrari? Mau menjadi anggota tim SWAT, memegang Uzzi, senapan MP5, atau sekedar bergaya dengan senapan serbu AK47? Semuanya bisa. Namun saat jatuh, terpental, tertembak, masuk jurang, dan sebagainya, tenang saja… kita dapat mengulanginya lagi tanpa terluka. Jadi tidak ada resiko. Bagi saya, itu adalah beberapa penyebab di antara banyak faktor lainnya mengapa orang suka bermain game.

P: Apakah main video game itu salah?

I: Ada dua macam reaksi ekstrim terhadap teknologi. Yang pertama adalah technophilia, yaitu menerima dengan sukacita semua hasil teknologi tanpa mempertanyakan akibatnya, karena paradigma di belakangnya adalah bahwa teknologi merupakan harapan manusia untuk menuju hari depan yang jauh lebih baik. Sedangkan respon kedua adalah technophobia, yaitu ketakutan dan menentang semua hasil teknologi. Yang pasti kita bukan seorang yang technophilic, juga bukan seorang yang technophobic. Dalam kuliah Christian Philosophy (waktu itu sedikit membahas buku The Gift of Death dari Derrida), Pdt. Joshua Lie berbicara mengenai bagaimana kita menempatkan dan mengembalikan segala sesuatu pada tempatnya. Jadi bukan cuma masalah boleh atau tidak, tapi di mana letaknya dalam hidup dan panggilan kita. Pak Lie berbicara mengenai suplemen (tambahan yang seringkali tidak penting) dalam hidup manusia yang seringkali berubah menjadi dominan—suplemen yang menjadi dangerous suplement, yang mengikat dan menghancurkan totalitas panggilan. Saya sangat mengerti perasaan para gamers, namun saya mengajak Saudara merenungkan (sesuatu yang pasti jarang dilakukan dalam zaman yang penuh dengan budaya layar visual) di mana seharusnya Saudara meletakkan game dalam hidup. Jangan-jangan, yang suplemen sudah menjadi yang utama… dan yang suplemen itu sudah menjadi dangerous suplement yang akan menghancurkan kita.

Kalau kita melihat sejarah media, kita menyadari bahwa Tuhan memakai teknologi percetakan untuk menunjang Reformasi Martin Luther. Tetapi zaman sekarang kita melihat banyaknya buku yang merusak pikiran dan kebiasaan yang baik. Namun bukan berarti percetakan harus dibubarkan. Misalnya lagi, kita melihat pengaruh TV yang demikian hebat, sebagai agen kapitalis yang mencipta budaya “Aku bergaya, maka aku ada… Aku belanja, maka aku ada.” Kita tidak dapat menampik pengaruh buruk dari TV. Namun demikian, bukan berarti semua program TV itu jahat. Misalnya siaran Natal kita di TV, mendapat respon yang sangat baik dari orang-orang  di luar Jakarta yang mendapat berkat. Demikian juga dengan game. Ada games yang harus dijauhi karena bersifat merusak. Namun ada juga yang bisa membantu menjadi alat empiris untuk memahami sesuatu. Misalnya seorang anak yang tertarik pada tata kota, dapat distimulir sedikit dengan game Sim City. Namun game tetap tidak bisa dibandingkan dengan buku yang bermutu.

P: Kalau melihat perkembangan games zaman sekarang, games tidak lagi hanya untuk anak kecil, karena mengandung kekerasan dan seksualitas. Apa efeknya bagi kita? Dan apakah yang Christian worldview bisa tawarkan untuk menyikapinya?

I: Benar sekali. Orang cenderung mengatakan bahwa game dan komik adalah untuk anak kecil. Padahal kalau kita lihat di toko-toko, persentase untuk remaja dan dewasa lebih banyak dibandingkan segmen untuk anak. Komik untuk anak TK, tidak perlu digambar oleh artis sekaliber Alex Ross dengan lukisan detilnya yang indah. Atau untuk ceritanya tidak perlu mengundang para artis kreatif seperti Brian Michael Bendis untuk menyusun alur dan kejutannya. Game dan komik juga dirancang untuk kaum dewasa, yang waktu kecilnya pernah suka kepada ikon-ikon budaya pop. Di toko mainan misalnya, saya melihat action figure Captain Giking dan Mazinga Z, yang satu buahnya berharga 1,5 juta rupiah. Anak generasi tahun 90-an ke atas jarang tahu tentang anime itu, namun penggemar anime tahun 70-80-an pasti mengenalinya. Sekarang ketika mereka sudah bekerja dan mempunyai uang, mereka akan membeli mainan tersebut untuk bernostalgia, karena tidak perlu minta uang lagi kepada orang tua.

Sebenarnya ada rating usia untuk game. Maka orang tua harus terlibat mengawasi game yang dimainkan anaknya. Saya rindu diadakannya seminar untuk memperlengkapi orang tua di persekutuan remaja, mengenai budaya pop seperti game, anime dan komik, oleh hamba Tuhan yang sangat mengerti hal tersebut. Karena suka atau tidak, hal seperti itulah yang membentuk budaya di zaman ini.

Semenjak John Romero dan John Carmack menciptakan game Doom dan Quake (game yang menceritakan bahwa kita adalah pahlawan yang harus survive dengan terus menembak dan membunuh musuh-musuh kita) yang sangat laku, mulai muncul pandangan bahwa game yang laku adalah yang berbau kekerasan. Menurut Naisbit, Quake II telah menghasilkan omset sebesar $28 juta pada tahun pertama. 80% dari penjualan tersebut merupakan keuntungan perusahaan miliknya yang hanya mempekerjakan 15 orang karyawan. Apa efeknya? Efeknya adalah desensitisasi (hilangnya kepekaan perasaan). Kekerasan dianggap merupakan sesuatu yang wajar, demikian paradigma yang ditawarkan. Media seperti TV dan game bisa membentuk hyper-reality yang bukan realitas yang sejati. Namun lama kelamaan terjadi pergeseran pandangan, bahwa hyper-reality-lah yang merupakan realitas sejati. Dalam buku “Understanding Comic”, dijelaskan bahwa anak kecil belum bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan – antara kartun dan realitas. Maka waktu mereka melihat adegan yang sadis, bagi mereka itu amat nyata. Jangan biarkan anak kecil bermain game yang sadis, meski gambarnya kartun. Film kartun seperti South Park dan The Simpsons, bukanlah konsumsi anak kecil. Bagi saya, potret keluarga Barat di masa lampau adalah The Sound of Music. Namun masa sekarang, potret keluarga Barat adalah The Simpsons, dan di Timur adalah Crayon Shincan. Dalam The Simpsons, Bart memanggil ayahnya (Homer) langsung dengan namanya. Bart dan Lisa (adiknya) gemar menonton film kartun yang sangat sadis (kira-kira judulnya Itchy and Scratchy). Waktu mereka melihat adegan-adegan sadis itu, Bart tertawa terbahak-bahak. Dalam anime Sinchan, paradigma anak nakal itu tercermin dalam theme song-nya, dalam versi Indonesia. “Seluruh kota merupakan tempat bermain yang asyik,” katanya. Sinchan adalah seorang anak pekerja menengah ke bawah, yang menjadi korban media yang kurang baik. Dia menjadi potret dari anak yang hidup dalam zaman pengumbaran libido, akibat industri media yang bergravitasi pada ekonomi libido, sehingga apapun yang diproduksi berkaitan dengan pengembangan hawa nafsu (Konsep ekonomi libido pemikiran dari Baudrillard).

Game juga membentuk kita untuk kehilangan momen yang paling penting, yaitu perenungan. Game pada mulanya mungkin dimainkan untuk membuang waktu. Namun akhirnya, manusia menjadi tidak punya waktu karena game. Dulu di kereta, di tengah perjalanan panjang, orang saling bertegur sapa dan berkenalan. Di sekolah, waktu istirahat anak-anak saling bercerita dan bermain. Namun sekarang sudah ada gejala, tiap waktu senggang mereka bermain game, mendengar musik lewat mp3, melihat film, dan lain-lain. Teknologi menyebabkan alienasi meskipun kelihatannya memperdekat jarak antar manusia menembusi dinding ruang.

Dalam sebuah tanya jawab dengan remaja, Pdt. Stephen Tong menjelaskan mengenai akibat bermain game. Pak Tong mengatakan, game bisa secara tidak sadar memperbesar perasaan terus mau bersaing dan selalu mau menang dalam diri kita. Itu pandangan yang sangat tepat. Saudara tidak mungkin main game fighting dengan semangat mengalah dan membiarkan musuh Anda memukuli Anda, karena Saudara sangat mengasihi lawan main Anda. Atau membiarkan musuh menembaki Anda dalam setiap permainan, karena Saudara habis membaca karya Victor Hugo, di mana Jean Valjean tidak mau membalas Inspektur yang terus berusaha membunuhnya, karena Valjean berkomitmen untuk hidup di dalam kasih. Jadi paradigma survival of the fittest sangat kental.

Saya pernah memperhatikan reaksi anak kecil waktu melihat game. Sangat mengejutkan. Waktu sekelompok anak bermain dengan akrab, saya tunjukkan sebuah game yang cukup baru… dan apa reaksi mereka? Dari reaksi anak yang saya lihat, mereka berubah menjadi egois dan saling berebut. Dan sifat itu bisa kelihatan dari perubahan raut wajah. Biasanya, tidak lama kemudian, mereka akan bertengkar dan saling berebut. Paradigma apalagi yang ditawarkan dan bertentangan dengan paradigma Kristen? Wah, banyak sekali. Ambil contoh saja sebuah iklan dari X-Box. Kalimatnya adalah: “Life is short … Play more.” Jikalau hidup ini singkat, apa yang diajarkan Alkitab pada Saudara?

Dulu pernah muncul sebuah komik oleh Marvel, yaitu Captain America. Komik itu bukan sekedar hiburan, namun entah sadar atau tidak, berusaha membentuk nasionalisme Amerika dan membentuk opini tentang Nazi Jerman (saat itu mendekati PD II). Dalam  komik itu digambarkan betapa jahatnya Hitler, yang menciptakan Red Skull sebagai perwujudan Iblis. Zaman sekarang, banyak game mempunyai sifat yang sama, dalam konteks yang kurang tepat. Di dalam banyak game, Jerman seolah-olah adalah bangsa yang jahat (terus menerus). Beberapa game penuh dengan kalimat rasial yang mendorong kita membunuh dan membenci ras tertentu.

Game juga berpengaruh dalam membatasi kreatifitas. Dalam game yang tidak elektronik, kita bermain dengan menggunakan imajinasi kita. Game menjadi sarana juga melatih daya motorik, imajinasi kita, sekaligus sarana bersosialisasi. Namun dalam keajaiban e-game, sebenarnya kita disuguhkan suatu dunia dan imajinasi yang sudah mati. Semua respon kita pun sudah diatur dan diprogram. Saya kira itu beberapa poin sisi bahaya dari game, masih banyak yang lainnya.

P: Sebenarnya perlukah kita bermain game?

I: Yang pasti, kita bisa hidup tanpa game, tapi kita tidak bisa hidup bermakna tanpa Firman Tuhan. Banyak yang mengatakan game itu mendidik. Memang pasti ada banyak hal yang baik yang kita dapatkan dalam bermain game, namun bukan berarti kita mutlak perlu main game. Sebab misalnya pengetahuan yang Saudara dapatkan selama berbulan-bulan memainkan Romance of the Three Kingdoms bisa Saudara dapatkan dengan lebih akurat melalui membaca buku Sam Kok. Pengertian mengenai dewa-dewi Yunani dalam Age of Mythology, bisa Saudara dapatkan melalui buku-buku sejarah Yunani Kuno.

P: Bagaimana seharusnya kita, sebagai pemuda Kristen, bersikap terhadap video games?

I: Bagi yang tidak suka main game, Saudara tidak perlu mengikuti trend. Masih banyak buku teologi, filsafat, sains, dan kebudayaan yang penting untuk dipelajari dan dimengerti. Masih banyak ketrampilan praktis yang harus dikuasai. Masih banyak tugas penginjilan, penggembalaan, dan pengajaran yang menanti. Tapi bagaimana dengan teman yang hobi bermain game, sebagaimana ada yang hobi koleksi perangko atau terjun payung? Kita harus tahu prioritas hidup, dan bijaksana mengatur waktu, lalu memilih games yang kita mainkan. Kalau itu adalah game tenis, sepakbola, atau game lain yang tidak mengumbar sadisme, masih dapat dimainkan. Juga Saudara jangan meninggalkan permainan non elektronik dan olahraga yang dapat meningkatkan kesehatan, kemampuan motorik, dan juga persahabatan.

P: Kalau misalkan seorang Kristen mau membuat game, game seperti apakah yang baik untuk orang Kristen?

I: Dalam hal ini saya masih kurang belajar. Saya belum berani menjawab. Mungkin suatu hari nanti…