How Do You Know What You Think is True is True? (Bagian 2)

Cara Postmodernism: Mengapa Bertanya Mengapa?

Keruntuhan Epistemologi Modern: Nabi-Nabi Yang Menunjukkan Kesalahan Foundationalism

Pada awal abad ke-20 terjadi sesuatu yang ironis terhadap Epistemologi foundationalism. Jika pada akhir Renaissance revolusi dalam bidang sains telah ikut serta mendukung kelahiran foundationalism, maka pada awal abad ke-20 revolusi dahsyat kedua yang terjadi dalam bidang sains justru menyediakan atmosfer yang sangat mendukung bagi keruntuhan foundationalism.

Dimulai dari keanehan sifat cahaya, emisi benda hitam, spektrum serap gas (yang mungkin bakal bikin Newton sendiri bingung), munculnya teori relativitas Einstein yang bikin kita mikirin soal waktu secara beda, sampai era kemenangan mekanika kuantum. Pengalaman telah memaksa kita untuk merombak sekali lagi Epistemologi kita. Mungkin inilah yang pernah dipikirkan Hume saat dia mengatakan, “Life is too strong for logic.”Kita akan meninjau beberapa tokoh besar dalam bidang sains yang melancarkan tusukan-tusukan fatal pertama dalam menghabisi riwayat foundationalism.

Kurt Godel

Salah satu serangan paling serius bagi Epistemologi foundationalism adalah serangan yang ditujukan kepada ‘kepastian pembuktian’ dalam matematika. Sebagai tulang punggung foundationalism, matematika diyakini memiliki kemampuan untuk membuktikan konsistensi atau inkonsistensi suatu pernyataan secara komprehensif dan pasti.1 Menurut Hilbert, pembuktian atas konsistensi sistem tertutup seperti matematika dapat dilakukan dari dalam sistem itu sendiri. Pembuktian Hilbert ini memperkuat posisi Epistemologis dari foundationalism, sampai pada tahun 1931 Kurt Godel, seorang jenius muda matematika yang tergabung dalam Vienna circle,2 membuktikan kesalahan pernyataan Hilbert ini. Godel berhasil membuktikan adanya pernyataan yang tidak dapat dibuktikan benar ataupun salah bahkan dalam sistem formal yang sufficiently rich. Godel membuktikan kesalahan Hilbert, dan dengan demikian telah meledakkan bom di dalam matematika itu sendiri. Dia bikin orang sadar bahwa matematika pun tak dapat membuktikan dirinya sendiri sebagai sistem yang dapat menjamin konsistensi dan mendeteksi adanya inkonsistensi dari dalam sistem itu sendiri.

Teorema Godel ini secara singkat menyatakan bahwa dalam sebuah sistem formal aritmetika S, akan ada kalimat P dalam bahasa S sedemikian rupa sehingga (jika S konsisten) baik P maupun negasinya tidak akan dapat dibuktikan di dalam S. Jika Godel benar, maka foundationalism tidak lagi dapat menyandarkan jaminan Epistemologisnya pada kepastian matematika, karena formalisme matematika itu sendiri telah terbukti gagal dalam menjamin konsistensi dirinya. Dalam hal ini narrow-strong foundationalism telah kehilangan jaminan kepastian dari deduksi formal matematika.

Michael Polanyi

Serangan berikutnya dalam merontokkan foundationalism beserta logical-positivism—yang menjadi pencapaian puncak dari Epistemologi ini—dilakukan oleh Michael Polanyi. Dia adalah seorang peneliti fisika-kimia dengan latar belakang kedokteran, yang kecewa terhadap paham Marxisme yang mengklaim diri ‘ilmiah’ tetapi telah menyingkirkan tempat bagi ilmu murni itu sendiri. Bagi Polanyi, filsafat bukan hanya semata-mata upaya akademis tetapi lebih sebagai cara hidup—lifestyle. Kontribusinya yang paling penting dalam meruntuhkan positivism adalah tesisnya mengenai tacit dimension (dimensi tersembunyi) dan sifat personal dari pengetahuan manusia, sebagai lawan dari tesis Descartes (dan para positivist seperti Saint-Simon, Comte, Russel) mengenai pengetahuan yang bersifat netral-obyektif-impersonal. Peralihan Polanyi dari natural science ke philosophy of science dan cognitive science sebenarnya didorong oleh ketidakpuasannya akan positivism. Awalnya, Polanyi tergelitik oleh sikap Bukharin, seorang teoretisi utama sosialisme pada zaman Stalin, di Moscow tahun 1935. Bukharin mengatakan bahwa,

Ilmu murni merupakan gejala tak sehat dari masyarakat kelas; di bawah sosialisme konsep pengembangan ilmu demi ilmu akan sirna karena minat ilmuwan akan spontan tertuju kepada persoalan-persoalan di sekitar Rencana Pembangunan Lima Tahun sekarang. 

Dengan kata lain tidak ada lagi tempat bagi kebenaran secara an sich di dalam sosialisme. Dalam penelitian selanjutnya, Polanyi menyimpulkan bahwa tidak adanya tempat bagi sains murni dalam sosialisme, yang ironisnya justru memiliki daya tarik besar karena kepastian ilmiahnya, ternyata disebabkan oleh,

… Keraguan moral yang dipertegas oleh kemarahan moral dan kemarahan moral dipersenjatai oleh nihilisme ilmiah. 

Dari mana Polanyi bisa menyimpulkan seperti ini? Kita akan menelusuri secara singkat argumentasinya yang kompleks ini. Nggak usah terlalu serius lah, santai aja. Gini ceritanya …

“Kita tahu lebih banyak daripada yang dapat kita katakan.”

Misalnya kita tahu teknik naik sepeda, tapi sulit sekali menjelaskan bagaimana kita dapat mengendarai sepeda roda dua itu tanpa jatuh (dan mengapa ketika sepedanya berhenti, hampir mustahil kita bisa tetap seimbang). Kita tahu tapi nggak bisa kasih tahu kenapa. Pengetahuan yang tidak dapat kita katakan inilah yang disebut Polanyi sebagai dimensi tacit dari pengetahuan manusia. Polanyi memakai hasil penelitian dalam Psikologi Gestalt, linguistik, percobaan-percobaan tentang subsepsi (reaksi kepada stimulus yang tidak sepenuhnya diketahui) dan pengenalan pola (dalam hal ini pengenalan akan wajah: fisiognomi) untuk mendukung tesisnya bahwa pengetahuan manusia tidak hanya bersifat eksplisit saja tetapi sebenarnya secara bawaan memiliki dimensi implisit (atau tacit) yang tidak dapat diungkapkan secara positif (dan dengan demikian akan diabaikan oleh para logical-positivist). Tesis dasar Polanyi ini pasti bertentangan dengan aturan pertama Descartes, yang mensyaratkan eksplisitas (idea clara et distincta) dari basic belief.

Celakanya, pengabaian dimensi tak terungkap oleh para positivist (dan diikuti mayoritas ilmuwan modern) ini bagi Polanyi telah menimbulkan efek samping yang sangat merusak. Polanyi berargumen bahwa dimensi tacit dari pengetahuan manusia ini bukan hanya tidak dapat kita lepaskan (untuk mencapai pengetahuan yang murni obyektif, netral, impersonal, dan dengan demikian dapat dijamin universal karena dapat diverifikasi oleh semua orang) tetapi juga ternyata amat sangat mempengaruhi pengetahuan kita yang eksplisit. Lebih jauh lagi, Polanyi menyimpulkan bahwa jika kita mengebiri tacit dimension dari pengetahuan manusia (misalnya tradisi, seni, estetika, religi, afeksi, moral) maka akan terjadi inversi, di mana aspek-aspek tacit ini akan menjadi dasar tersembunyi bagi kegiatan-kegiatan yang walaupun bertopengkan kemajuan atau kesejahteraan mayoritas, sebenarnya jelas-jelas koersif dan tidak manusiawi. Dan seperti pada kasus Bukharin, pada gilirannya inversi akan menyebabkan tersingkirnya ilmu murni itu sendiri dari masyarakat yang mengesampingkan dimensi-dimensi tacit ini.

Dalam pengalaman kita sehari-hari kita sesungguhnya tidak pernah lepas dari dimensi tacit ini. Misalnya ketika kita naik sepeda, berenang, atau bermain piano. ‘Tahu’ di sini lebih ke arah ‘tahu bagaimana melakukannya’ (können) daripada ‘tahu secara kognitif’ (wissen). Bagi saya, Polanyi memandang bagian eksplisit dari pengetahuan (teori positif: formulasi matematika, data-data pengamatan, eksperimen, prinsip, hukum-hukum, yang semuanya dapat diverifikasi secara positif) seperti aturan-aturan umum di dalam seni.

Aturan-aturan dalam seni dapat berguna, tetapi tidak menentukan praktek sebuah seni; itu hanyalah maxims, yang dapat berguna sebagai penuntun menuju seni itu. Tetapi aturan-aturan itu tidak dapat menggantikan pengetahuan ini.

Aturan-aturan itu hanyalah usaha kita untuk memformulasikan pengetahuan kita yang begitu kompleksnya sehingga tidak mungkin dapat dinyatakan dalam rupa formulasi positif secara utuh (namanya juga usaha, kurang-kurang dikit, maklum lah). Pasti ada reduksi dalam formulasi. Bahasa, termasuk juga bahasa matematika, tidak dapat mengakomodasi pengetahuan manusia yang begitu kompleks.

Tesis Polanyi bahwa pengetahuan kita (termasuk juga pengetahuan ilmiah) memiliki dimensi personal yang bersifat tacit tetapi tidak boleh diabaikan, memiliki dampak serius dalam perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagi saya, Polanyi melihat permasalahannya seperti ini: Selama ini para ilmuwan modern telah bercita-cita untuk mensterilkan ilmu pengetahuan dari aspek-aspek personal, tetapi sebenarnya aspek-aspek personal itu tidak pernah lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan. Dimensi tacit ini tidak benar-benar hilang, ia hanya tidak diakui. Tidak diakuinya dimensi personal ini menyebabkan tidak diajarkannya secara langsung aspek personal dari seni riset ilmiah.

Walaupun isi yang dapat diungkapkan dari sains telah berhasil diajarkan di seluruh dunia di ratusan universitas, seni riset yang tidak terjelaskan (secara positif) belum meresap ke universitas-universitas ini.
Hal inilah yang menjelaskan mengapa walaupun pendidikan Barat telah menyebar ke seluruh dunia, tetapi Barat tetap memimpin di garis terdepan riset ilmiah dunia. Ini kembali menegaskan tesis Polanyi bahwa pengetahuan ilmiah tidak hanya terdiri dari aspek eksplisit yang dapat diverifikasi saja (seperti anggapan positivism), tetapi juga aspek tacit yang dalam transmisinya harus melibatkan pelatihan secara personal dari kandidat-kandidat ilmuwan yang hendak meneruskan perkembangan ilmu pengetahuan. Pentingnya transmisi pengetahuan personal ini membuat tradisi kembali diperhatikan. Hemat kata, seorang calon ilmuwan musti dilatih seorang ilmuwan senior kelas dunia karena nggak semua hal bisa ditransfer lewat buku. Jika pada pandangan Descartes orang harus berusaha untuk melepaskan diri dari tradisi dan senetral mungkin (context free), maka pada pandangan Polanyi hal ini akan menyebabkan pemiskinan dalam tubuh pengetahuan itu sendiri. Kita mungkin bertanya, “Tunggu dulu! Bukankah ilmu pengetahuan maju pesat sejak Descartes dan Bacon? Bukankah sejak Descartes meletakkan foundationalism sebagai dasar Epistemologi dan Bacon mempopulerkan metode observasi induktif (metode ilmiah) yang sangat positivis dan berusaha mensterilkan diri dari tradisi, ilmu pengetahuan di Barat meningkat pesat; jauh melampaui imajinasi para ilmuwan abad pertengahan?” Jawaban yang diajukan Polanyi adalah, “Perkembangan pengetahuan ini didukung oleh praktek-praktek connoisseurship yang terus hidup di dalam tradisi universitas Barat, terlepas dari sikap positivistik mereka.” Seorang ilmuwan muda tidak hanya belajar di kelas tentang  teori (wissen), tetapi juga belajar di laboratorium bersama sang profesor senior tentang bagaimana memakai teori (können) yang ia dapatkan di kelas dalam riset yang dilakukan. Dalam interaksi pembimbingan ini akan terjadi transfer pengetahuan yang tak terungkap itu dengan berbagai cara yang bersifat personal dan tak seluruhnya dapat direduksi menjadi sejumlah rumus dan prosedur eksplisit. Polanyi memberi contoh tentang praktek klinis seorang dokter muda yang melatihnya untuk membuat diagnosa dan terapi yang tepat dengan berbagai cara yang personal. Singkatnya, karena ilmu pengetahuan memiliki dimensi tacit yang sangat penting dalam memberi makna bagi dimensi yang eksplisit, maka Polanyi mengatakan:

… (Kita harus) menolak kemungkinan bahwa setiap generasi … dapat secara kritis menguji semua ajaran yang telah membesarkannya. Pernyataan-pernyataan yang secara eksplisit disimpulkan dari premis-premis yang teridentifikasikan (dimensi eksplisit) dapat diuji secara kritis dengan memeriksa premis-premisnya dan proses penyimpulannya (Cartesian doubt). Tetapi apabila kita mengetahui lebih banyak hal yang tidak dapat kita katakan (tacit) dan bila sesuatu yang kita tahu dan dapat kita katakan diterima sebagai benar dalam keterkaitannya dengan sebuah realitas yang mengatasinya, suatu realitas yang masih dapat menyatakan dirinya di masa depan dalam hasil-hasilnya yang tak terduga-duga; bila kita mengetahui suatu penemuan besar, atau suatu pribadi yang besar, sebagai sesuatu yang paling riil, yang memperlihatkan lingkup manifestasi yang lebih luas di masa depan yang belum diketahui: maka ide tentang pengetahuan yang didasarkan pada dasar-dasar yang dapat diidentifikasikan secara penuh (positif) menjadi roboh, dan kita harus menyimpulkan bahwa transmisi pengetahuan dari generasi ke generasi pertama-tama harus bersifat tak terungkap.  

Transmisi dimensi tacit ini membutuhkan sikap percaya dan tunduk pada otoritas yang memberikan pengajaran, mirip dengan prinsip Augustine yang terkenal, credo ut intelligam (yang telah dibalikkan oleh Descartes dengan diktum cogito ergo sum-nya). Ia berakar dari suatu pengertian yang mendalam tentang kodrat pengetahuan dan kodrat komunikasi pengetahuan. Dengan kata lain penolakan Bacon dan Descartes atas tradisi akan menghancurkan tubuh ilmu pengetahuan itu sendiri, dan jika selama ini ilmu pengetahuan terus berkembang, itu adalah karena ia pada prakteknya menghargai tradisi (yang nyata dalam praktek connoisseurship).

… para scientist sebenarnya tidak maju di atas dasar konsep positivis yang ketat … Bertentangan dengan klaim para positivis dan kepercayaan yang dipopulerkannya … sikap positivis yang konsisten …akan menghancurkan pekerjaan sains … akan menghancurkan belief in truth dan love of truth itu sendiri yang menjadi syarat semua pemikiran bebas.

Dengan demikian Polanyi telah mengusulkan antitesis dari metode Descartes, yaitu:

  1. Seperti Augustine, Polanyi mulai dari trust. Saya percaya kepada otoritas sumber informasi saya. Jika kita mulai dari doubt seperti Descartes, kita akan berakhir pada nihilisme, atau ketidakkonsistenan dengan prinsip keraguan kita. Kita tidak mungkin dapat meragukan segala sesuatu.
  2. Tidak seperti Bacon dan Descartes yang sangat mencurigai tradisi, Polanyi berpendapat kita harus menghargai tradisi. Ilmu pengetahuan dapat maju selama ini karena secara diam-diam kita menghargai tradisi (dengan tidak mengikuti tradisi keraguan Descartes). Hal ini terwujud dalam tradisi connoisseurship di universitas-universitas Barat.
  3. Tidak seperti keyakinan Descartes tentang idea clara et distincta, ilmu pengetahuan tidak hanya memiliki dimensi eksplisit saja—ada dimensi tacit yang terdiri dari faktor-faktor tak terukur seperti estetika, moral, emosi, yang sangat menentukan terbentuknya suatu teori. Jika kita membuang bagian ini seperti anjuran Descartes (atau menekannya, karena sesungguhnya kita tidak akan pernah dapat membuang dimensi ini dari hidup manusia) maka faktor-faktor tak terungkap ini akan mewujudkan dirinya dalam rupa motivasi tersembunyi yang menggerakkan dimensi eksplisit dalam masyarakat.

 

Setelah Polanyi meruntuhkan positivism dari jalur fenomenologis, Thomas Kuhn meneruskan serangan Polanyi dari jalur sejarah dan filsafat ilmu. Mereka bekerja secara terpisah tetapi memperoleh kesimpulan yang sejalan dalam merobohkan foundationalism dan positivism.

Thomas Kuhn

Bom berikutnya diledakkan oleh Thomas Kuhn, seorang profesor History and Philosophy of Science dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dalam The Structure of Scientific Revolutions yang sangat terkenal itu Kuhn melontarkan tesis utamanya bahwa sains tidak pernah berkembang dalam satu paradigma tunggal yang sama, yang netral dan obyektif murni, seperti yang selama ini diyakini oleh para saintis. Bahkan, menurut Kuhn kita tidak pernah mengamati data observasi ataupun problem amatan yang netral dan sama.

… Paradigma yang bersaingan … masing-masing memilih problem yang berbeda sebagai yang signifikan untuk dipecahkan, memakai standar yang berbeda untuk mengukur keberhasilan solusinya; lebih jauh, tidak ada data pengamatan yang sama yang berfungsi sebagai standar netral untuk memperbandingkan paradigma-paradigma itu … masing-masing menangkap ‘fakta’ yang berbeda; aturan-aturan dan ‘fakta-fakta’ yang ‘netral’ tidak dapat menentukan perubahan paradigma. Perubahan paradigma terjadi karena keputusan komunitas sains yang bersangkutan, yaitu justifikasi oleh otoritas seseorang, bukan oleh kriteria impersonal seperti logika atau metode.

Sains bergerak maju melalui pergeseran paradigma-paradigma. Paradigma adalah sistem kompleks yang terdiri atas fakta-fakta, teori, asumsi metafisik, dan nilai-nilai ideal riset itu. Dengan demikian Kuhn telah meruntuhkan anggapan yang diyakini para foundationalist selama ini bahwa,

… Sebuah kepercayaan dapat dikatakan benar atau salah dengan menghubungkannya kepada suatu fakta, yang terletak di luar pengalaman …

Sebuah fakta atau data, dalam pengamatan Kuhn, tidak pernah netral. Elemen teoretis dari sebuah paradigmalah yang menentukan apa-apa saja yang terhitung sebagai data. Kuhn mengatakan bahwa ‘fakta’ yang obyektif-netral itu sendiri tidak ada dan bahwa pembenaran suatu teori (yang berdasarkan paradigma spesifik tertentu) akhirnya tidak ditentukan oleh kriteria impersonal yang obyektif-netral, tetapi oleh otoritas pemilihan dari suatu komunitas peneliti yang tidak lepas dari aspek personal, seperti: estetika, politik, ekonomi, afeksi, dan relasi inter-personal. Misalnya, coba lihat, mana pernah ada pemenang Nobel Fisika yang nggak pernah lulus dari tradisi ilmiah Barat?

Bagi Kuhn, tidak ada suatu proyek penelitian yang 100% netral. Sejak awal para ilmuwan digerakkan oleh dorongan-dorongan yang bersifat a-rasional (bukan irasional) seperti rasa ingin tahu, perasaan keindahan, sampai kepentingan politik atau ekonomi. Sebuah proyek riset seringkali mendapatkan dananya dari orang-orang yang bukan berasal dari masyarakat sains itu sendiri. Konsekuensinya, para penyokong dana yang ikut menentukan kelanjutan sebuah riset ilmiah seringkali menggunakan pertimbangan non-ilmiah. Akibatnya, mati-hidupnya sebuah teori, yang sangat ditentukan oleh kelanjutan riset teori itu amat ditentukan oleh faktor-faktor non-ilmiah.

Kebangkitan Epistemologi Non-Foundational

Setelah melihat keruntuhan foundationalism sebagai Epistemologi, kini kita akan melihat alternatif-alternatif apa saja yang kita miliki untuk menggantikan foundationalism yang telah runtuh itu.

Orang pertama yang menyodorkan alternatif Epistemologi setelah kematian foundationalism mungkin adalah W. V. O. Quine. Ia menawarkan apa yang kemudian disebutnya Epistemologi holist. Jika foundationalism memakai metafora bangunan, maka Quine menawarkan metafora ‘jaring’ (web) untuk menggambarkan keseluruhan pengetahuan seseorang.

Totalitas pengetahuan/kepercayaan kita, dari masalah-masalah paling sepele dalam geografi sampai hukum-hukum paling penting dalam fisika atom atau bahkan matematika murni dan logika, adalah tenunan buatan manusia yang bersentuhan dengan pengalaman hanya sepanjang tepinya … ketidakcocokan dengan pengalaman …akan membutuhkan re-adjustment di dalam (tenunan itu). Nilai kebenaran harus didistribusikan ulang pada beberapa statemen kita. Tidak ada relasi satu-satu antara pengalaman partikular dan pernyataan partikular di dalam (tenunan itu), kecuali secara tidak langsung …yang mempengaruhi seluruh (tenunan) secara total.

Perbedaan paling mendasar adalah, jika pada model foundationalism seluruh bangunan bertumpu pada satu fondasi kepercayaan dan mendapatkan dukungan justifikasinya dari dasar itu, maka model holist mendapatkan justifikasinya dari seluruh elemen kebenaran dalam sistem tersebut. Statemen-statemen di dalam web itu bersifat saling mendukung dalam dua arah. Jadi jika dalam foundationalism kita mengandalkan kebenaran dasar yang tidak mungkin diragukan (atau minimal kita anggap demikian), maka dalam holism ini kita mengandalkan koherensi kebenaran internal sistem tersebut.

Di dalam web itu ada berbagai jenis hubungan antar-belief: implikasi logis yang ketat, argumentasi probabilistik yang lebih longgar, argumentasi ‘maju’ menuju kesimpulan selanjutnya, dan argumentasi ‘mundur’ ke presaposisi. Permasalahan dari model seperti ini adalah: relativisme. Permasalahan justifikasi beberapa elemen internal web itu dapat diselesaikan dengan konsistensinya terhadap keseluruhan web, tetapi muncul masalah jika kita hendak mempermasalahkan keseluruhan web dibandingkan dengan web-web dari komunitas yang lain. Bagaimana kita dapat mengatakan bahwa sistem web kitalah yang paling benar? Apakah kriteria kebenaran bagi keseluruhan web?

Di mana posisi kepercayaan Kristen di dalam Epistemologi holisme ini? Jika kita memakai model pengetahuan Quine, maka kepercayaan Kristen merupakan salah satu tenunan di dalam keseluruhan web. Kepercayaan Kristen jelas bukan satu sistem web yang menggambarkan segala sesuatu yang kita tahu, ia merupakan bagian dari web pengetahuan kita secara keseluruhan. Ada banyak bagian dalam pengetahuan kita yang bukan merupakan pengajaran Kristen, walaupun pasti memiliki relasi dengan iman Kristen kita. Web pengetahuan itu misalnya meliputi natural science, ajaran Kristen, naïve experience, tradisi komunitas lokal, sampai indoktrinasi dari propaganda politik. Seluruhnya ini akan membentuk sebuah sistem yang saling terkait dan menopang dalam wawasan dunia (worldview) seseorang.

Pertanyaan yang muncul sehubungan dengan model web ini adalah: Di antara sekian banyak web (atau dalam bahasa Kuhn: paradigma), bagaimana kita memilih di antara web-web itu? Kelihatannya Quine tidak memusingkan soal ini. Karena sebuah web adalah keseluruhan pengetahuan kita maka adalah absurd untuk beranggapan kita bisa berdiri di luar sistem. Dalam gambaran web ini, di mana pun kita berdiri kita akan selalu berada di dalam web itu. Kita mustahil dapat berdiri di luar web, seperti juga Descartes mustahil dapat benar-benar ‘memanjat keluar dari batok kepalanya’ dan mengambil posisi yang 100% obyektif. Bagi saya, Quine menerima kenyataan bahwa manusia tidak pernah dapat lepas dari konteks hidupnya. Kita berpikir dan mengambil keputusan tanpa dapat lepas dari worldview lokal yang menjadi operating system dari seluruh kesadaran kita. Quine mengakui keterbatasan manusia, ia telah bangun dari impian Descartes yang berusaha untuk melepaskan diri dari keterbatasan sebagai manusia, dan pasti gagal. Tetapi ini telah membawa Quine pada posisi relativistik.

Bagi Quine, sebuah web akan terus menerus menyesuaikan dirinya agar tetap konsisten, baik secara internal maupun terhadap observasi empiris. Hukum-hukum logika dan matematika itu sendiri adalah bagian dari web dan dengan demikian termasuk subyek yang dapat direvisi, disesuaikan dengan pengalaman. Tetapi kita hanya dapat merevisi web pengetahuan kita sebagian demi sebagian, tidak mungkin seluruhnya sekaligus, seperti juga kita tidak dapat mengganti keseluruhan papan kayu dalam sebuah perahu yang sedang berlayar sekaligus.

Epistemologi Quine kemudian dikembangkan oleh muridnya, Imre Lakatos yang mengatakan bahwa kita dapat menentukan web mana (Lakatos memakai istilah proyek riset) yang akan kita pilih. Kriteria yang dipakai Lakatos adalah apakah suatu proyek riset mengalami progresi atau degenerasi. Proyek riset yang mengalami degenerasi adalah proyek yang di dalamnya, jantung teorinya terus menerus harus diselamatkan dengan permainan kata, hanya usaha ‘menyelamatkan muka’. Versi-versi revisi dari teori utamanya dikeluarkan semata-mata untuk sekuat tenaga mempertahankan hidup ‘kuda tua yang sekarat’. Sedangkan proyek riset yang progresif adalah proyek riset di mana versi-versi terbaru dari teori yang dikeluarkannya tidak hanya berhasil menjelaskan anomali-anomali yang mendesak terjadinya revisi teori itu saja, tetapi versi-versi teori yang lebih komplit itu didukung/dikonfirmasi oleh fakta-fakta baru, yang seringkali tidak terduga. Dengan demikian Imre Lakatos kembali menganggap serius gerak sejarah. Bagi Lakatos proses interaksi di dalam sejarahlah yang akan menunjukkan proyek riset mana yang akhirnya dapat bertahan. Sekarang kita akan meninjau jenis Epistemologi yang sama sekali kontras, yaitu Epistemologi yang mengasumsikan adanya Tuhan.

Cara Reformed

Epistemologi Reformed

Proyek Epistemologi Reformed bertujuan menjawab kritik evidentialist (tentu saja bukan evidentialist Kristen) terhadap Kekristenan. Pernah denger orang bilang begini: “Buktiin dulu dong, baru gua mau percaya!” Para evidentialist ini menuduh orang Kristen tidak bertanggung jawab secara rasional karena telah mengasumsikan adanya Allah tanpa bukti-bukti yang kuat. Sebagai anak zaman modern, para evidentialist ini memakai Epistemologi foundationalism sempit ala Descartes, yang ironisnya dulu diciptakan untuk memberikan argumentasi yang kuat tentang keberadaan Allah. Di tangan para logical-positivist, metafisika direduksi sebatas materi. Entitas-entitas non-materi diabaikan, karena tak dapat dideteksi, diukur secara kuantitatif, diuji, disampling dan diverifikasi secara positif. Apa-apa yang nggak bisa diukur atau diraba-diliatdidengerin dianggap nggak ada. Karena memakai Epistemologi foundationalism sempit, maka para evidensialist yang menyerang kekristenan ini hanya mau menerima basic belief yang memenuhi kriteria self-evident, incorrigible, atau evident to the senses. Itu sebabnya mereka memandang kekristenan sebagai ajaran yang irasional, karena bagi mereka pandangan yang rasional harus didasarkan kepada basic belief yang memenuhi salah satu dari kriteria ini. Karena kekristenan tidak dapat memenuhi kriteria ini, maka kepercayaan tentang adanya Tuhan yang diajarkan di dalam kekristenan adalah absurd. Gimana njawabnya? Mari kita dengerin jawaban meneer Londo satu ini:

Alvin Plantinga melontarkan dua kritik tajam terhadap foundationalism. Pertama, dasar yang dipakai mereka terlalu sempit, mereka tidak mengikutsertakan common sense, memory, external world dan subyek berpikir yang lain sebagai basic belief. Dalam hal ini Plantinga banyak berhutang kepada Thomas Reid, yang dalam kritiknya terhadap Hume telah mengajukan argumentasi yang sangat kuat dalam menyerang foundationalism sempit. Setelah mengajukan argumentasi mengapa kita perlu memperluas kriteria bagi basic belief, akhirnya Plantinga menegaskan bahwa keberadaan Tuhan merupakan basic belief yang bersifat necessary, harus ada. Dalam bahasa Plantinga sendiri,

… adalah benar-benar rasional, reasonable, terhormat secara intelektual, dan dapat diterima jika kita percaya akan adanya pribadi Allah tanpa mendasarkan kepercayaan kita itu pada bukti proposisional apapun … walaupun ia tak dapat membuktikan keberadaan Allah pada siapa pun.

Kepercayaan kepada Tuhan adalah seperti kepercayaan dasar yang lain, ia tidak memerlukan dukungan apapun; ia bersifat mendasar. Hanya saja, para foundationalist sempit tidak akan menerimanya sebagai dasar karena tidak memenuhi kriteria indubitable. Dengan kata lain Plantinga telah dengan berani menyatakan bahwa keberadaan Allah merupakan kebenaran dasar yang harus diterima terlebih dahulu dengan iman (sebagaimana kita juga menerima banyak hal dasar lain tanpa meragukannya terlebih dulu, seperti: memori, subyek yang lain, dunia luar diri, kontinuitas keberadaan diri) sebelum kita dapat mengerti apapun juga. Dalam hal ini Plantinga mengikuti jalur pemikiran Augustinus, Anselm, dan Calvin, yang terkristal dalam diktum mereka “credo ut intelligam”dan “fides quaerens intellectum”.

Plantinga berpendapat bahwa semua pikiran yang berfungsi sebagaimana mestinya (properly function) akan dapat menerima keberadaan Allah ini sebagai properly basic. Westphal menganggap Plantinga (dan juga Wolterstorff) dalam hal ini kurang Calvinistic. Westphal menganggap mereka kurang menganggap serius efek noetic dari dosa yang membutakan orang terhadap kebenaran kognitif. Dapatkah kita mengharapkan mekanisme pembentukan kepercayaan pada manusia berdosa dapat berfungsi secara normal, atau bersifat innocent saat itu berurusan dengan Tuhan? Tanpa anugerah Tuhan, tidak mungkin mekanisme pembentukan kepercayaan dalam diri manusia ini dapat bekerja normal, menyimpulkan Allah ada dan percaya kepada-Nya.

Sekarang udah tahu belum bagaimana tahu apa yang elu anggap bener itu ‘bener-bener bener’ atau salah? Udah tahu belum bagaimana njawab orang yang menantang “buktiin dulu dong, baru gua maupercaya!” Kita bisa jawab, “Oh, jadi elu percaya bahwa segala sesuatu itu harus dibuktiin dulu baru bisa dipercayai? Kepercayaan yang menarik tuh, tapi gua mau liat dulu ah, apakah elu sungguh-sungguh mempraktekkannya, baru gua mungkin mau pertimbangin untuk percaya kepercayaan elu itu.” Sebentar yah … hmmm…ummm… AHA! gotcha! Nggak mau ah. Elu sendiri nggak konsisten! Elu sendiri bilang harus buktiin dulu baru percaya, tapi elu ternyata percaya dulu bahwa segalanya harus dibuktiin sebelum elu membuktikan bahwa segalanya harus dibuktiin. Elu sendiri ternyata percaya dulu baru berusaha membuktikan. Kalo sama-sama percaya mengapa elu nggak percaya aja apa yang gua percaya. Lagian, pernah denger taruhannya Pascal …hmmm… nggak pernah? Wah, masih panjang tuh. Nanti deh kapan-kapan kita ngobrol lagi.”

Notes

  1. Mengikuti semangat Renaissance pada zamannya, Descartes memakai matematika sebagai sistem operasi dasar bagi Epistemologinya. Hingga tahun 1930 atau 1940-an, secara umum orang masih yakin akan terjaminnya kebenaran mutlak dalam sistem matematika. Jika dalam ilmu-ilmu yang bersifat ‘terbuka’, yaitu yang menangani entitas-entitas di luar sistem pengetahuan itu sendiri (seperti misalnya fisika, kimia, atau biologi) kita tidak pernah bisa membuktikan secara lengkap kebenaran suatu teori (walaupun Popper masih percaya kita bisa sungguh-sungguh membuktikan kesalahan suatu teori), dalam ‘sistem tertutup’ matematika yang hanya melibatkan simbol-simbol internal sistem dalam ‘permainannya’ orang masih betul-betul yakin kita bisa membuktikan secara lengkap kesalahan maupun kebenaran suatu pernyataan.
  2. Saya pikir Tuhan bercanda di sini. Ia mendemonstrasikan kemahakuasaannya dengan membangkitkan seorang Kurt Godel, yang meruntuhkan kesombongan logical-positivism yang merupakan implikasi radikal dari narrow-strong foundationalism ala Descartes, dari ‘sarang’ logical-positivism itu sendiri yaitu Vienna circle.

Referensi
Bertrand Russel, The Analysis of Mind (New York: MacMillan, 1921, 1956)
Diane Collinson, “Godel” dalam One Hundred Twentieth-Century Philosophers, S. Brown, D. Collinson, et. al. ed., (New York: Routledge, 1998)
Eugene Webb, Philosophers of Consciousness (Seattle: University of Washington, 1988)
John C. Puddefoot, Logic and Affirmation (Edinburg: Scottish Academic Press, 1987)
Keekok Lee, “Kuhn” dalam One Hundred Twentieth-Century Philosophers, S. Brown, D. Collinson, et. al. ed., (New York: Routledge, 1998)
Merold Westphal, “A Reader’s Guide to ‘Reformed Epistemology” dalam Perspectives (November 1992)
Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a Post-Critical Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1958, 1962, 1974)
Michael Polanyi, Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1996)
Nancey Murphy, Beyond Liberalism & Fundamentalism (Harrisburg, Pennsylvania: Trinity Press, 1996)
Nancey Murphy, “Postmodern Apologetics” dalam Religion & Science, W. Mark Richardson, ed., (New York: Routledge, 1996)
Nicholas Wolterstorff, “What Reformed Epistemology is Not” dalam Perspectives (November 1992)
Ronald Nash, Faith & Reason: Searching for a Rational Faith (Grand Rapids, MI: Zondervan 1988)
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962, 1970)