I am Home

Perhentian dan Sabat

Malam itu, dengan perasaan sedikit tegang dan penuh pengharapan aku mempercepat langkah kakiku untuk menuju ke sebuah rumah. Pagi-pagi aku berangkat dari Surabaya ke Singapura dan setibanya di Singapura aku langsung ke gereja, kini aku semakin tegang dan penasaran karena aku belum pernah melihat model dan menginjakkan kaki di rumah tersebut. Langkah kakiku terus menyusuri jalan sambil mencari alamat rumah yang akan kutuju itu. Hatiku bertanya-tanya, kira-kira seperti apakah rumah tersebut? Besar atau kecilkah? Seperti apa meja belajar yang akan kugunakan selama bertahun-tahun ke depan? Hari itulah yang menjadi hari pertamaku menempati rumah yang baru. Tetapi mengapa aku begitu penasaran dan bertindak bodoh dengan pindah rumah tanpa survei lokasi? Itu karena aku hanya menyewa rumah temanku yang pindah rumah selama aku di Surabaya. Aku tidak pernah melihat foto rumahnya, tidak sempat bicara banyak mengenai rumah baru itu, dan sekarang temanku itu sedang tidak di Singapura, jadi kemungkinan rumah itu kosong. Pengharapan dan imajinasi terhadap kesempurnaan tempat baruku melayang-layang di pikiranku dengan deras, karena nilai tempat itu sangat krusial yang akan menjadi tempatku bergumul dengan Tuhan, tempatku bergumul melawan dosa dan diri, tempatku merenungkan berbagai hal dan menapaki kairos hidupku selama beberapa tahun ke depan, yang disaksikan oleh keempat sisi tembok kamar rumahku yang baru. Tetapi apakah wujud kamar baruku sesuai dengan harapanku? Refleksi cahaya bulan terlihat menerangi kamarku melalui jendela setelah aku membuka pintu kamarku, dan pikiranku langsung mengatakan, “O, ternyata kecil dan seperti gudang.” Hal tersebut langsung membuyarkan khayalan eskatologisku dan otomatis hatiku cepat-cepat bersyukur karena Tuhan masih memberikan suatu tempat yang boleh kusebut “Rumah”. Karena memang selama ½ tahun terakhir aku hidup menumpang di Singapura dengan kasus yang begitu rumit, dan aku tidak mempunyai suatu tempat yang boleh kusebut “Rumah”. Jika sekarang aku begitu bersukacita mempunyai tempat yang boleh kusebut “Rumah” (apalagi dekat dengan gereja), betapa mulianya rumah Bapa yang telah dan sedang disiapkan oleh Tuhan Yesus di sorga. Pastilah melampaui dan melebihi semua kemungkinan kesempurnaan yang bisa kuimajinasikan di dalam khayalan eskatologisku.

Kebersihan dan Kesucian

Dengan segera aku meletakkan tas berisi pakaian di atas meja dan langsung membersihkan kamarku yang berdimensi kurang lebih 2 x 2.5 meter itu dengan semangat. Akhirnya aku yang alergi debu menyadari dan sangat berterima kasih pada temanku itu, bahwa meskipun masih banyak barang yang belum diatur karena kita semua baru pindah rumah, tetapi dia sudah sempat membersihkan kamarku itu. Alangkah indahnya kebersihan itu. Aku malu jika harus merenungkan betapa banyak dan kotornya dosa yang telah kulakukan, sementara aku begitu menyukai kebersihan. Meskipun demikian, aku bersyukur bahwa Roh Kudus boleh meregenerasi hatiku sehingga aku boleh mencintai kesucian serta memberikan aku pengertian dan budaya yang baik di mana aku boleh mencintai kebersihan. Aku semakin menyadari bahwa tumpukan buku-buku theologi di atas meja belajarku itu tidak berarti apa-apa jika aku masih hidup dalam dosa dan tidak bisa menghidupinya. Sebaliknya, aku bersyukur atas kesempatan merefleksikan keindahan semua ini di dalam PILLAR karena tumpukan buku-buku theologi itu tidak hanya tergeletak di atas meja yang akan dipenuhi debu untuk minggu depan dibersihkan lagi, tetapi boleh menjadi berkat yang merefleksikan kesucian dan mendorong para pembaca sekalian bergumul untuk sama-sama hidup suci. Dan aku sekarang sadar bahwa meskipun kamarku kecil, kamarku bukanlah gudang.

Kreativitas dan Kebebasan

Proses merancang dan menata lemari, meja, dan kasur secara kecil-kecilan pun tak terelakkan untuk memaksimalkan space yang ada. Segala kemungkinan untuk memaksimalkan space telah dicoba. Jika orientasi kasur diubah dari portrait menjadi landscape maka akan ada sekitar 50 cm space terbuang. Sebaliknya, jika meja mau dipindah menghadap tembok dengan pertimbangan dekat dengan stop kontak, maka mejanya terlalu panjang dan menghalangi pintu. Salah satu kemungkinan penambahan space adalah dengan meletakkan barang di belakang pintu sehingga ruangan terasa lebih leluasa dan pintu (membuka ke dalam) tetap bisa terbuka separuh untuk orang lewat. Otak saya yang berukuran kecil ternyata dapat mengatur lemari dan kasur yang lebih besar dari tubuh saya. Apakah karena jarak antar saraf (sinapsis) di otak kita yang begitu sempit (20-40 nanometer) membuat kita otomatis ingin memaksimalkan keterbatasan tempat yang ada? Dan apakah ini karena Tuhan mau mencipta manusia super pintar dengan 1 milyar sel saraf otak (yang masing-masing memiliki 7.000 sinapsis) serta 100-500 triliun sinapsis untuk orang dewasa (kira-kira 1 quadriliun untuk anak umur 3 tahun), tetapi Dia sendiri pelit tempat sehingga membuatnya sempit sekali? Tentu tidak. Justru yang terjadi adalah karena Tuhan ingin menunjukkan kekuatan, keilahian, dan kemuliaan-Nya kepada kita. Tuhan yang adalah Diri-Nya Kebenaran dan Kreativitas telah menciptakan otak kita (dan keseluruhan tubuh, jiwa, dan hidup kita) secara benar dan kreatif. Tuhan yang adalah Sumber Kebenaran dan Kreativitas juga menanamkan bibit atau potensi kebenaran dan kreativitas kepada otak kita (dan keseluruhan tubuh, jiwa, dan hidup kita). Dan Tuhan yang adalah Tujuan Kebenaran dan Kreativitas memberikan jaminan dan kemungkinan untuk mengerti kebenaran dan berkreasi kepada otak kita (dan keseluruhan tubuh, jiwa, dan hidup kita).

Puji Tuhan karena Tuhan kita adalah Tuhan yang efisien, teratur, dan penuh keindahan. Tuhan mampu menciptakan otak dengan susunan 1 milyar serat halus dan tipis yang terjalin secara organik satu sama lain di dalam space berukuran 1.200 cm3 saja dengan massa 1.5 kg. Jadi, apakah gunanya otak ajaibku (dan keseluruhan tubuh, jiwa, dan hidup ajaibku) yang ada di bawah matahari ini? Aku harap dapat mengisinya dengan tumpukan buku tersebut karena dicerahkan oleh Yang dari Atas Matahari dan saling berbagi kepada saudara seiman semua untuk menjadi berkat, sehingga bernilai kekekalan yang melampaui matahari, dan kembali kepada kemuliaan Yang Sudah ke Atas dan Yang Ada di Atas Matahari. Akhirnya, bagian tubuhku yang lain, yaitu mata dan ototku pun lemas dini hari tersebut. Dan aku sekarang bisa bersyukur bahwa kamarku tidaklah kecil dan kamarku bukanlah gudang. Aku pun menikmati malam pertamaku di rumahku yang baru.

Keterbukaan dan Persekutuan

Pagi yang cerah, udara yang sejuk, matahari yang hangat. What a wonderful day! Aku pun terbangun dari tidur yang sangat nyenyak. Apa yang terjadi? Aku kedinginan karena terlalu sejuk. Heran?! Mengapa di Singapura bisa sedingin di Sukabumi tempat NREC? Ternyata aku baru sadar bahwa jendela kamarku menghadap taman yang membawa kesegaran dan kesejukan udara. Bersyukurlah bahwa aku tidak salah menempatkan meja yang tidak jadi menghadap tembok semalam, tetapi menghadap jendela. Aku memang sudah menyangka akan lebih baik menghadap jendela, tetapi sukacitaku tetap bertambah dengan sangat ketika sinar matahari telah masuk melalui jendela kamarku di pagi hari. Kamar yang terbuka, sirkulasi udara yang segar, sinar matahari yang memberikan kekuatan dan pengharapan, secara tidak sadar telah mendorong jiwaku untuk membagikan (share) keindahan, kebaikan, kesejukan, dan kenyamanan kamar yang sempit dan sederhana ini. Betapa indahnya persekutuan Kristen di dalam semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, dan semua yang disebut kebajikan serta patut dipuji. Begitu juga dengan betapa indahnya kemuliaan wajah Kristus yang begitu buruk dan tidak seperti manusia lagi, yang turut terpancar pada kaki mereka yang pergi beratus-ratus mil untuk mengabarkan Injil yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, disebut kebajikan, dan patut dipuji itu. Tubuh, jiwa, dan hidup kita sebagai rumah Allah adalah bagian dari Gereja Tuhan yang dipanggil untuk bersekutu, melayani, dan mengabarkan Injil. Meskipun kamar ini secara ukuran kecil dan berisi barang yang sederhana, tetapi aku bersyukur kepada Tuhan bahwa ternyata kamarku itu luas dan sejuk. Dan aku pun berjanji kepada Tuhan untuk mencari kesempatan mengajak teman dekatku membicarakan firman dan pekerjaan Tuhan di kamarku yang Tuhan anugerahkan, sesudah mendapatkan kasur portabel tentunya. Begitu banyak aspek yang masih bisa dibicarakan di dalam hal yang begitu indah dan luas ini, tetapi artikel ini akan menjadi terlalu panjang dan aku pun tidak sempat menulis lagi.

Rumah dan Gereja

Rumah adalah tempat yang paling personal dari jiwa dan menjadi ekspresi budaya seseorang. Rumah menjadi pengayom keluarga yang seharusnya merupakan tempat yang penuh keterbukaan, kejujuran, kenikmatan, pendidikan dan begitu banyak aspek lainnya. Apakah rumah kita sudah mencerminkan hal-hal ini? Sudahkah gereja kita mencerminkan sifat-sifat Tuhan? Sama halnya dengan budaya yang terbentuk dari masyarakat dan membentuk masyarakat itu sendiri, maka rumah kita juga menjadi ekspresi budaya serta kebiasaan kita yang juga akan mempengaruhi hidup kita sendiri. Para pembaca setia PILLAR, hidupmu tercermin dan diidentifikasi melalui rumahmu dan rumahmulah yang turut membentuk dan mengidentifikasi dirimu. Apakah pada saat kita mengatakan, “I am Home”, kita benar-benar mengatakannya dengan penuh kesadaran bahwa rumah kita adalah cerminan dari diri kita yang adalah rumah Allah? Ataukah rumah kita dan diri kita hanya sekedar house tetapi bukan home? Who are you? You are merely a house or a true home for you yourself and others? Apakah engkau sudah berdamai dengan jiwamu karena pengorbanan Kristus di atas kayu salib sehingga engkau dapat mengatakan bahwa dirimu adalah rumah yang sejati karena Roh Allah diam di dalam dirimu? Dapatkah engkau menjadi tempat sandaran bagi orang lain karena engkau adalah anak Allah yang membawa damai dan mereka dapat mengatakan, “I feel home when I’m near you [because I see Christ in you]”? Seseorang hanya dapat menjadi home ketika Kristus mau menjadikan hati orang tersebut home bagi-Nya. Dan secara paradoks, seseorang yang mampu menjadi home bagi semua orang, dia akan merasa bahwa dirinya dan sekitarnya hanyalah house untuk menuju kepada eternal home yang sejati dalam perjalanan musafirnya.

Sudahkah jiwa dan ekspresi jiwamu memancarkan kemuliaan Allah yang seharusnya dan sesungguh-sungguhnya? Mari kita sama-sama memohon kepada Tuhan agar kiranya kerajaan-Nya boleh digenapi secara menyeluruh di dalam Gereja-Nya di dunia ini, di mana kita masing-masing turut ambil bagian, dan khususnya digenapi di dalam diri kita atas panggilan-Nya yang mulia.

“Tuhan, aku bersyukur kepada-Mu atas setiap perabot yang unik dan berbeda-beda di dalam posisinya masing-masing di dalam kamarku. Masing-masing berada pada tempat dan fungsinya masing-masing membentuk atmosfer dan membuat estetika ruangan menjadi lebih indah. Bersyukur kepada-Mu karena Engkau jugalah yang telah menenun setiap sel, jaringan, organ, dan sistem organ yang ada padaku di dalam janin ibuku sedemikian rupa, sejak aku seukuran buah pinggang sampai menjadi tubuhku yang ada seperti sekarang.”

“Dan yang terlebih indah lagi adalah karena Engkau telah memberikanku kemampuan untuk mengatur dan berkreasi pada rumah yang boleh kusebut rumah. Kamar yang seharusnya kotor dan kecil telah menjadi bersih dan segar sebagai tempat perhentian di mana aku menikmati Engkau. Aku bersyukur kepada-Mu karena Engkau jugalah yang telah mengatur dan menciptakanku di dalam dunia ini yang menjadi wadah eksistensiku – dan yang boleh kusebut sebagai dunia-Mu, Ya Bapa. Meskipun dunia ini telah kotor dan dipenuhi oleh jiwa-jiwa manusia yang berdosa, sempit, dan restless, Engkau telah menebus setiap kami, umat pilihan-Mu, menjadi Gereja-Mu yang kudus, bersekutu, dan mendapatkan perhentian di dalam Engkau. Oleh karena itu, Ya Tuhan, berikanlah jiwa yang mengabarkan Injil kepada setiap kami untuk membagikan berkat kesucian, keterbukaan, keluasan, dan sabat-Mu kepada mereka.”

“Bersyukur kepada-Mu karena Engkau telah memenuhi diri kami masing-masing dengan Roh Kudus-Mu, dan masing-masing kami menjadi satu kesatuan Gereja yang utuh dan organik sepanjang zaman di segala tempat. Kami memiliki persekutuan yang tidak dapat dipisahkan dan bersama-sama melawan Iblis dan pesuruh-pesuruhnya. Dan kami juga memiliki panggilan kami masing-masing di setiap zaman untuk menghadapi arus zaman yang berbeda-beda. Lebih spesifik lagi, di komunitas kami masing-masing kami juga memiliki tantangan dan budaya yang berbeda-beda di mana kami harus memohon petunjuk-Mu dan bersandar penuh kepada-Mu agar sinkron dan bergerak bersama-sama. Dan yang paling personal adalah Engkau merancangkan rancangan damai sejahtera kepada kami masing-masing, bukan rancangan kecelakaan, di mana Engkau mempercayakan panggilan-Mu masing-masing untuk kami lakukan, yaitu pekerjaan baik yang Engkau kehendaki di dalam kekekalan. Engkau juga mencipta aku sebagai individu yang bertanggung jawab dan berelasi langsung kepada-Mu, dan dapat berdoa dan mengenal-Mu lebih dalam. Oh, sungguh Engkau adalah Allah yang mulia, yang begitu peduli kepada perbuatan tangan-Mu ini satu demi satu, baik kepada kami maupun kepada mereka yang akan percaya kepada berita Injil-Mu melalui pemberitaan kami. It is simply because you really love me, them, and all of us. Amin.”

 

Lukas Yuan

Redaksi Bahasa PILLAR