Sebuah masa pengantara yang bisu. Itulah gambaran yang dapat kita bayangkan tentang masa di antara akhir dari Perjanjian Lama menuju awal dari Perjanjian Baru. Bangsa Israel tidak lagi mendapati anugerah yang dulu pernah begitu limpah hadir di tengah-tengah bangsa mereka, kehadiran suara Tuhan yang intim. Bangsa ini masuk ke dalam masa-masa di mana Allah tidak lagi memunculkan nabi di tengah-tengah mereka. Tidak ada lagi suara Tuhan seperti dulu, yang menguatkan mereka ketika lemah, dan yang memperingati mereka ketika menyimpang. Tuhan diam. Setelah Nehemia menjadi nabi yang terakhir, bangsa ini tidak menerima lagi suara kenabian selama kurang lebih 400 tahun.[1] Pada masa-masa tersebut, kegiatan keagamaan dan pemerintahan bangsa Israel berada di bawah pengaruh kuat dari bangsa-bangsa lain yang menjajah mereka. Bangsa Israel dipaksa untuk menjalankan seluruh hukum dari bangsa-bangsa tersebut, termasuk menyembah dewa-dewa mereka sebagai allah.
Masa-masa inilah yang turut mengambil andil besar di dalam pembentukan keadaan sosial masyarakat, serta tatanan keagamaan di dalam bangsa Israel. Pada masa intertestamental tersebut, sempat muncul beberapa tokoh heroik yang memberi harap bagi kebangkitan umat perjanjian Allah ini, namun ternyata, hanya patah asa yang diterima mereka yang merindukan masa lampau dari pemerintahan Raja Daud. Tokoh-tokoh tersebut mati satu per satu setelah sempat memerintah untuk sedikit waktu lamanya dengan tidak membawa pembebasan atas penjajahan terhadap Israel. Pembebasan menjadi sebuah pengharapan yang terasa begitu panjang di tengah-tengah tekanan tersebut. Dan pengharapan yang makin panjang bukan tanpa kekecewaan yang makin mendalam. Seiring makin mendalamnya kekecewaan, kelompok masyarakat Israel mulai terbagi menjadi beberapa arus. Sekelompok orang mulai mengubah cara pandang mereka tentang sang pembebas dan berbaur dengan nilai-nilai sosial-budaya dari bangsa penjajah mereka. Dan kelompok lain berupa orang-orang yang berupaya bangkit dengan melihat bahwa keterpurukan mereka lahir dari tindak agama yang tidak serius berdisiplin. Yang satu bergabung dengan kekuatan politik yang ada, dan yang satu lagi membangun kekuatan sosial-religius masyarakat. Tetapi fakta Alkitab mencatat bahwa Mesias yang sudah dinubuatkan ternyata tidak diterima oleh kedua kelompok ini. Yang menarik, ternyata suara minoritas yang berteriak di padang gurunlah yang paling mewakili, dan menjadi forerunner dari inaugurasi kedatangan kerajaan Allah. Kenapa kelompok yang awalnya kecil ini yang ternyata menangkap momentum yang paling penting bagi dunia (terutama bagi bangsa Israel sendiri), dan apa ekspresi serta implikasi inaugurasi ini di dalam kehidupan mereka pribadi?
Yohanes Pembaptis: Ia yang lurus, Ia yang dipakai
Di dalam sosial kemasyarakatan, dua kelompok besar yang memengaruhi tatanan masyarakat adalah kelompok Saduki dan Farisi. Saduki adalah sekelompok orang yang berpengaruh di dalam dunia politik Israel. Mereka adalah kaum aristokrat yang sangat disukai oleh pemerintah penjajah karena kelompok ini sangat bersahabat dengan otoritas di atas. Mereka mengisi kursi-kursi politis di dalam pemerintahan orang Yahudi, serta mengatur peranan keimaman secara politis.[2] Memang dalam hal ini, kelompok Saduki menjadikan strata keagamaan Yahudi sebagai alat pengontrol massa. Juga mereka yang berbagian di dalam menelurkan kebijakan-kebijakan politik yang membawa kepentingan pemerintah pusat (Romawi pada saat itu). Orang-orang Saduki tidak mengakui tulisan religius lain selain 5 kitab Musa. Mereka juga menolak semua doktrin yang tidak terdapat pada kitab-kitab tersebut, salah satunya adalah doktrin perihal kebangkitan tubuh, malaikat ataupun roh.[3]
Farisi menjadi kelompok tandingan dari Saduki. Kelompok ini berfokus pada praktik keagamaan. Mereka berfokus pada pembentukan moral masyarakat untuk dapat menjalankan perintah Tuhan yang dinyatakan melalui hukum Musa. Orang-orang Farisi menafsirkan hukum Taurat menjadi ratusan peraturan yang dicatat di dalam buku kumpulan hukum mereka, Mishna. Mereka juga membuat kumpulan penafsiran terhadap Taurat yang disebut sebagai Talmud. Kedua kitab ini berpengaruh luas terhadap keagamaan masyarakat Yahudi. Sekalipun jumlah kelompok ini relatif kecil, mereka menjadi kelompok yang paling berpengaruh di dalam mengarahkan opini publik. Orang-orang Farisi adalah orang yang sungguh giat menjalankan disiplin keagamaan mereka. Mereka betul-betul melatih diri dengan keras! Namun tetap, Alkitab menyatakan hal-hal substantif yang lepas dari pengamatan mata manusia. Mereka dikatakan Kristus sebagai kelompok yang munafik.[4] Sekalipun secara perorangan, kita dapat menemukan orang-orang yang tetap hatinya masih mencari kebenaran (seperti Nikodemus), tetapi secara umum, Tuhan menyatakan hal yang paling tidak dapat dilihat oleh mata superfisial. Karena Allah melihat kedalaman hati manusia.[5] Maka dari pernyataan ini, aktivitas keagamaan orang Farisi mulai terkuak bengkoknya. Yang tadinya dimaksud untuk mencari perkenanan Tuhan, supaya Ia berbelaskasihan dan membangkitkan Israel, ternyata diperalat untuk mengangkat status diri.
Ternyata dua kelompok religius berpengaruh di atas tidak mewakili maksud dan kehendak Tuhan. Yang satu mencari status quo, yang satu mencari wibawa diri melalui cara-cara rohani. Akhirnya tidak ada yang dipakai oleh Tuhan untuk menyatakan revelasi dari anugerah-Nya. Tuhan tetap memakai mereka sih, tetapi sebagai wadah Allah mencurahkan murka-Nya. Mereka menjadi etalase keadilan, kebenaran, dan kesucian Allah. Isi hati mereka dibongkar Allah. Tetapi yang menarik, kitab Lukas mencatat tentang sekelompok kecil orang yang disebut sebagai “yang benar di hadapan Allah” dan “yang tak bercacat”. Di tengah-tengah keagamaan yang menjadi alat politik serta munafik, muncul satu catatan tentang orang-orang agamais yang masih lurus hatinya. Mereka adalah Zakharia dan Elisabet.[6] Pernyataan Tuhan menembus hingga kedalaman hati mereka, bukan sekadar ekspresi religius yang nampak. Tetapi ada yang menarik dari pernyataan ini, dinyatakan bahwa mereka adalah orang yang juga menjalankan hukum Taurat tanpa bercacat. Sering kali ketika kita tidak setuju akan kemunafikan kelompok-kelompok agamais, kita jatuh pada posisi hidup yang memedulikan standar-standar moral ataupun religi, yang sebenarnya juga rusak. Tetapi Alkitab menyatakan bahwa mereka tidak munafik, sekaligus menjalankan norma-norma agama mereka dengan serius! Dan ternyata dari orang yang hatinya lurus seperti demikianlah, Allah menyatakan sebuah fase baru dari buntunya kehidupan sosial-religius bangsa Israel yang mematahkan asa mereka.
Yohanes Pembaptis: Ia yang setia, Ia yang dipakai
Namun tidak berarti mereka yang lurus hati selalu bernasib mujur di dalam dunia. Elisabet ternyata mandul, yang dalam konteks tradisi dan budaya pada zaman itu anak dilihat sebagai pemberian Tuhan bagi orang-orang benar.[7] Kedua orang benar ini tetap menjalankan kehidupan mereka sebagai orang (yang firman Tuhan sendiri nyatakan sebagai) saleh. Ada satu sikap yang memang selalu muncul dan unik (sekalipun tidak mudah) pada orang-orang yang saleh, mereka tetap setia pada kebenaran di tengah-tengah tekanan sosial. Status Elisabet yang mandul ini dipandang sebagai ke-tidak-berkenan-an Tuhan kepada seseorang dalam cara pandang iman Yahudi. Cara pandang ini sudah mengakar selama ribuan tahun. Tetapi sepertinya Tuhan selalu memakai konteks-konteks seperti demikian untuk memunculkan hamba-hamba-Nya yang murni, dan membentuk mereka. Ternyata ia yang tetap setia pada ketetapan-ketetapan Tuhan yang sekecil-kecilnya, tidak peduli kelompok ini kecil, mereka yang akan dipakai Tuhan.
Pola ini pun kita lihat dalam kehidupan Yohanes Pembaptis, ia tidak termasuk di dalam kalangan religius Saduki maupun Farisi. Yohanes Pembaptis dicatat sebagai orang yang hidup mempersiapkan diri di padang gurun hingga waktunya ia harus tampil di depan publik. Masa-masa persiapan dirinya di padang gurun tidak dicatat oleh Alkitab, tetapi di dalam sejarah sosial dari bangsa Yahudi dicatat tentang salah satu kelompok masyarakat yang diperkirakan merupakan komunitas di mana Yohanes Pembaptis mempersiapkan diri. Kelompok ini disebut sebagai kelompok Essenes. Kelompok ini merupakan kelompok yang hampir dilupakan oleh kalangan Yahudi, juga dunia, sampai ditemukannya Dead Sea Scrolls.[8] Komunitas Qumran yang dipercaya menulis ulang dan memelihara tulisan-tulisan tersebut dipercaya sebagai kelompok orang-orang ini. Mereka memisahkan diri dari keimaman bait Allah yang korup pada saat itu, dan berfokus pada pembelajaran kitab-kitab Perjanjian Lama. Mereka bergaya hidup sangat sederhana dan tenggelam di dalam meditasi-meditasi akan kitab Perjanjian Lama.[9]
Salah satu aspek dari kesetiaan yang hendak ditonjolkan adalah bagaimana Yohanes Pembaptis menunggu dirinya untuk muncul pada waktunya, sekaligus setia dalam mempersiapkan diri menuju hari tersebut. Sambil menunggu, ia melatih diri. Hal yang harus menjadi tarikan pada pengertian kita adalah: Ketika Tuhan mendeklarasikan kerajaan-Nya, orang-orang yang peka akan pekerjaan Tuhan pergi mempersiapkan diri sampai waktunya tiba. Mabel Williamson di dalam bukunya “Tidakkah Kami Mempunyai Hak?”[10] menggambarkan kesetiaan yang pengertiannya sudah pudar dari konsep kesetiaan yang selama ini ada pada kita, kalangan Kristen saat ini. Kesetiaan menyesuaikan diri dengan kerajaan Allah yang sudah dibukakan.
Yohanes Pembaptis: Ia yang mempersembahkan semua, Ia yang dipakai
Respons Yohanes Pembaptis terhadap kerajaan Allah yang dibukakan Tuhan kepadanya bisa kita lihat puncaknya ketika Ia mempersembahkan kepalanya untuk ditaruh di atas nampan. Ketika kerajaan Allah dideklarasikan, ia menjual seluruh yang ada pada dirinya untuk membeli penggenapan dari kehendak Allah. Setelah seluruh hidupnya ia pakai untuk mempersiapkan diri sebagai hamba Tuhan, ia memberikan nyawanya sebagai pertanda ia mengundurkan diri dan memajukan sang tokoh utama, Yesus Kristus. Keagungan Yohanes Pembaptis sering dibicarakan pada bagian pernyataannya yang menyatakan bahwa Yesus harus semakin besar, dan Yohanes Pembaptis harus semakin kecil. Pernyataan ini mungkin sering kita kutip, hanya kalimatnya saja yang kita kutip. Tapi undurnya muka kita dari panggung perhatian sering jarang terjadi.
Mempersembahkan semua menjadi suatu ekspresi yang paling jelas dari respons Yohanes Pembaptis ketika waktu dari pekerjaan Allah sampai kepada dirinya. Tuhan sudah membuka fase yang baru setelah orang Israel masuk di dalam kebuntuan. la akhirnya memunculkan kembali deklarasi yang selama ini sudah mulai mereka lupakan. Kembalinya suara kenabian dari Allah yang Ia nyatakan melalui hamba-Nya. Hal yang sudah sangat lama dinantikan bangsa tersebut, tetapi yang mulai dilupakan. Yohanes Pembaptis mempersiapkan seluruh hidupnya hanya untuk mendeklarasikan hal tersebut. Tapi apa yang didapatkan dari orang yang sudah mempersembahkan seluruhnya untuk Tuhan ini? Petrus pernah bertanya, mereka sudah mempersembahkan semua untuk mengikuti Tuhan, lalu apa yang akan mereka dapat? Yohanes Pembaptis mendapat kebencian (hal ini paling jelas kita lihat dari respons istri Herodes). Di dalam pandangan mata kita, orang-orang yang mempersembahkan seluruh hidupnya dengan benar kepada Tuhan seperti orang-orang malang.
Alkitab hanya mencatat sedikit perihal hidup Yohanes Pembaptis. Hanya beberapa bagian saja yang dapat kita temukan dari pembacaan Alkitab. Orang yang menghabiskan seumur hidupnya untuk mempersiapkan pekerjaan Tuhan, lalu harus mati dipenggal, ternyata hanya dicatat sedikit. Tetapi ini menjadi suatu kesaksian yang selaras dengan pernyataan Yohanes Pembaptis sendiri. Bahwa dirinya harus semakin kecil, semakin sedikit, dan Kristus, Sang Mesias itu sendiri, satu-satunya yang berhak mendapat porsi terbesar. Inilah para hamba Tuhan. Mungkin bagi sebagian orang, ia mati secara tragis dan banyak orang melupakan dia pada saat itu. Tetapi sesungguhnya berharga di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihi-Nya.
Refleksi Kita
Ketika kita melihat orang-orang yang berjuang setengah mati, berjuang habis-habisan demi pekerjaan Tuhan, sering kali kita berespons secara dingin, atau setidaknya datar di dalam melihat ekspresi hidup dari orang-orang yang demikian. Yang menjadi pertanyaan kita, apakah kita sungguh-sungguh merindukan deklarasi dan pembangunan kerajaan Allah? Banyak aspek dari apa yang kita kerjakan sering kali tidak berada di dalam rangka melihat kerajaan Allah. Pembelajaran-pembelajaran kita akan ilmu jarang dikaitkan di dalam rangka mengerti keutuhan dari kerajaan Allah ini. Dan yang terakhir, kalau tidak melihat, tidak berusaha mengerti, maka secara sederhana kita dapat menarik implikasi logis bahwa tidak mungkin kita mempersiapkan diri untuk hal tersebut.
Teladan dari tokoh-tokoh besar tersebut menjadi pernyataan yang luar biasa. Tetapi sebenarnya untuk siapa pernyataan teladan-teladan hidup tersebut? Hanya untuk orang-orang yang mau menjadi pendeta? Sering kali ketika berbicara soal mempersembahkan hidup seluruhnya, kita hanya mengenakannya kepada orang-orang yang mau menjadi hamba Tuhan. Tetapi sebenarnya siapakah yang merupakan hamba dari Tuhan? Jikalau kita bukan hamba Tuhan di dalam artian profesi, apakah berarti seluruh hidup kita tidak perlu berbagian di dalam pengerjaan dari` kerajaan Allah yang sudah Ia deklarasikan? Ketika melihat hamba-hamba Tuhan yang setia, berbagiankah kita di dalam menyokong mereka untuk menggenapkan panggilan Tuhan? Berbagiankah kita di dalam mengerjakan panggilan Allah bagi umat-Nya? Atau mungkin di sepanjang ingatan kita, kita lebih sering menemukan fakta bahwa kita lebih banyak mempersulit mereka yang sedang setia berjuang melayani Allah. Harap kita tidak kehilangan kesadaran rohani.
Nikki Tirta
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Masa Intertestamental Period dihitung mundur dari waktu kelahiran Kristus kepada masa Nehemia (kurang lebih dari tahun 5 sebelum Masehi hingga tahun 433 sebelum Masehi. Sumber: Richard L. Pratt, Jr., NIV Spirit of the Reformation Study Bible (Zondervan, 2003) hlm. 1534.
[2] Richard L. Pratt, Jr., NIV Spirit of the Reformation Study Bible (Zondervan, 2003) hlm. 1535.
[3] “Sebab orang-orang Saduki mengatakan, bahwa tidak ada kebangkitan dan tidak ada malaikat atau roh, tetapi orang-orang Farisi mengakui kedua-duanya.” – Kisah Para Rasul 23:8, Indonesia Terjemahan Baru.
[4] Matius 6; 7; 15; 22; 23; 24.
[5] 1Samuel 16:7; Yeremia 11:20.
[6] “And they were both righteous before God, walking blamelessly in all the commandments and statutes of the Lord.” – Lukas 1:6, English Standard Version.
[7] Mazmur 127:3-5.
[8] Manuskrip-manuskrip kuno dari kitab-kitab Perjanjian Lama, juga tulisan-tulisan extra-biblical lain yang ditemukan pada gua-gua di daerah Laut Mati.
[9] Richard L. Pratt, Jr., NIV Spirit of the Reformation Study Bible (Zondervan, 2003) hlm. 1535-36.
[10] Mabel Williamson, Tidakkah Kami Mempunyai Hak? (Momentum, 2007).