Pada saat ini di seluruh dunia terdapat 203 negara yang berdaulat. Dari sekian banyaknya negara yang ada, adakah satu negara yang keberadaannya tidak diperlukan sama sekali? Oleh siapa, kalau memang tidak diperlukan? Bagaimana dengan negara yang membahayakan keberadaan negara lainnya? Apakah negara tersebut lebih baik diserang ramai-ramai sampai habis saja daripada kita sendiri yang kena getahnya dengan dibantai terlebih dahulu atau hidup menderita di bawah bayang-bayang teror Bom Nuklir? Apakah suatu negara yang mempunyai kemampuan senjata nuklir lalu berhak menjadi pemimpin dari negara lain dengan cara paksa? Dunia politik rusak dengan perkembangan ide kepemimpinan ala Machiavelli yang mengusulkan “a leader is better to be feared than to be loved”. Buku ‘The Prince’, karya tulisnya ini, diterbitkan pada tahun 1532, empat tahun lebih awal daripada edisi permulaan buku ‘Institutes of Christian Religion’ oleh John Calvin. Apakah ide Calvin tentang pemerintahan memberikan sumbangsih dan relevan pada zaman kita ini?
Kita, sebagai orang Reformed, harus menyikapi persoalan pelik yang dihadapi dunia ini dengan peperangan-peperangan dan ketegangan-ketegangan yang seolah tiada hentinya berlangsung dari hari ke hari bahkan dari generasi ke generasi. Semoga tidak ada satu pun yang bersikap masa bodoh kemudian berpaling sambil menyanyikan lagu ‘Imagine’-nya John Lennon:
Imagine there’re no countries….
Nothing to kill or die for….
Kita tidak boleh terjebak lalu lari dari masalah dengan sikap escapism-nya John Lennon. Kita harus mempertanggungjawabkan iman yang kita percayai dan bergumul bagaimana iman kita menjawab kesulitan-kesulitan yang ada dan keluar sebagai pemenang sebagaimana Kristus yang adalah lebih dari pemenang (more than conquerors).
Sekarang, mari kita mencoba memposisikan kita sebagai warga negara KOR-UT, seandainya kita dilahirkan dan dibesarkan di sana, apa sikap kita yang seharusnya terhadap pemerintahan yang ada?
Pertama, Calvin menegaskan bahwa kita sebagai warga negara harus takluk kepada pemerintah Korea Utara. Lho, kalau begini apa kita bukannya menyetujui praktek lapangan ala Machiavelli? Orang Kristen yang sulit menerima pengajaran bahwa Tuhan adalah pribadi yang sepenuhnya berdaulat akan mengalami kesulitan dalam menerima jawaban di atas. Orang yang gagal melihat providensia Allah termasuk di dalam fakta realitas kejatuhan, dosa, dan suffering yang ada, dia akan menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban di atas. Calvin sesungguhnya hanya menyatakan kesetiaannya kepada firman Tuhan. Dia menyampaikan apa yang Rasul Paulus telah tuliskan terlebih dahulu di dalam kitab Roma: “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah.”
Dalam studi kasus kita maka pemerintah yang berasal dari Allah termasuk juga pemerintah KOR-UT. Pemerintahan yang paling jahat sekalipun berasal dari Allah dan ditetapkan oleh Allah. Secara konteks kitab Roma pada saat itu kita mengerti bahwa orang percaya di Roma bukan diperintah oleh pemerintahan ideal yang memberikan fasilitas kemudahan, kebebasan beribadah, dan semacamnya bagi orang percaya. Justru sebaliknya, pemerintahan dalam kekaisaran Romawi adalah pemerintah yang banyak menindas dan menganiaya orang percaya di zaman Gereja mula-mula. Di sini keutuhan isi Injil menjadi berita yang tidak populer di kalangan kaum revolusionis. Perintah Tuhan melalui Rasul Paulus adalah tunduk kepada pemerintah Romawi. Kesulitan yang memang sulit ini dapat dimengerti dengan cara demikian. Di antara dua pilihan, antara pemerintahan yang Tirani (mutlak tidak bebas) dan pemerintahan yang Anarki (mutlak bebas), mana pilihan yang lebih baik? Kecuali orang gila atau orang yang punya kekuatan super untuk bertahan di dunia hukum rimba, siapapun akan memilih pemerintahan tirani. Tanpa adanya hukum sama sekali kebuasan pasti merajalela. Tatanan sosial akan hancur total jika ordo yang Tuhan tetapkan dilawan. A worse government is better than no government.
Kedua, Calvin dalam pemikirannya memberikan celah untuk melakukan reformasi dengan tetap mempertahankan order yang seharusnya. Cara ini dipakai untuk mengubah dari dalam dan bukan secara paksa dari luar seperti revolusi. Yaitu bukan seorang secara individu yang berhak mengambil inisiatif menjalankan penghakiman murka Allah tetapi kejahatan ditahan melalui usaha individu yang sudah menjabat pemerintahan yang lebih rendah sedikit daripada kepala pemerintahan yang memegang kepemimpinan tertinggi. Jika prinsip ini diteruskan dan diberlakukan secara berurutan dengan tingkatan-tingkatan yang ada, maka rakyat banyak merupakan tingkatan terendah dan terakhir yang berhak mencegah kerusakan meluas dari kepemimpinan yang tidak beres. Dalam pemerintahan yang demokratis, rakyat adalah lesser magistrate terakhir yang mampu mengubah haluan kepemimpinan suatu negara. Tapi dalam pemerintahan yang tirani, pejabat-pejabat kepercayaan sang penguasalah yang memikul tanggung jawab untuk mencegah meluasnya kejahatan dan kekejian sang penguasa. Kita perlu waspada juga bahwa demokrasi bukanlah 100% foolproof ,karena kebenaran firman Tuhanlah yang harusnya menjadi fondasi dasar dan bukan keinginan rakyat banyak.
Terakhir, Calvin juga memberikan prinsip lain yang penting yang sudah dikerjakan ribuan tahun sebelum hal ini dituliskan oleh Calvin. Seperti Daniel dan kawan-kawannya di zaman pemerintahan Nebukadnezar. Prinsip ini adalah prinsip taat kepada Tuhan mendahului ketaatan kepada manusia. Hal ini juga secara jelas diulangi oleh Rasul Petrus yang ketika diadili mengatakan, “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia.” Prinsip inilah yang membuat Kekristenan menjadi kekuatan yang tak mungkin dapat dipadamkan di dalam sejarah oleh pemerintahan maupun kekuatan militer. Prinsip yang menyatakan kesetiaan kepada Allah, kepada Kristus sebagai otoritas tertinggi, yang diri-Nya adalah Raja di atas segala raja.
Di dalam seminar mengenai pemerintahan, Pdt. Dr. Stephen Tong pernah menyampaikan prinsip yang juga dipakai untuk mencegah timbulnya kerusakan oleh pemerintah yang merasa sebagai wakil Tuhan dan kemudian menyalahgunakan wewenangnya. Prinsipnya adalah: (i) kuasa pemerintahan berasal dari Tuhan Allah; (ii) kuasa pemerintahan harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Allah yang memberikan kuasa tersebut; (iii) Tuhan dapat menarik kuasa pemerintahan dan memberikan kuasa pemerintahan kepada yang lain menurut kehendak dan waktu-Nya Tuhan sendiri. Di sini kita kembali melihat seimbangnya pandangan Reformed dalam menilik persoalan pemerintahan.
Kembali kepada kasus KOR-UT, bagaimana seharusnya posisi negara-negara dalam menyikapi kericuhan akibat uji coba senjata nuklir di KOR-UT? Secara negatif, Calvin menolak sikap pacifism yang lebih dianut oleh gerakan Anabaptist. Secara positif, sikap yang harus diambil adalah bersedia untuk berperang membela wilayah kekuasaan masing-masing pemerintahan. Maka konsep ‘Just War’ adalah sesuatu yang lawful bagi Calvin. Calvin juga mendukung ide tentang adanya sekutu/perserikatan (leagues) dimana negara-negara membuat perjanjian satu dengan yang lain untuk saling mendukung jika salah satu negara sekutu diserang.
Secara garis besar dalam pembahasan mengenai pemerintahan, Calvin memberikan gambaran yang sangat positif. Bahkan dia mengatakan pemerintahan adalah panggilan yang paling suci dan hormat di masyarakat. Dia menuliskan demikian: “No one ought to doubt that civil authority is a calling, not only holy and lawful before God, but also the most sacred and by far the most honourable of all callings in the whole life or mortal men.” Kiranya Tuhan menolong kita dalam panggilan kita masing-masing untuk mempermuliakan Dia sesuai peranan dan jabatan yang kita emban masing-masing di dalam pemerintahan yang merupakan pelayan Tuhan untuk menjalankan fungsi penghukuman dan keadilan. Amin.
Audy Santoso
Pemuda GRII Singapura