Kedaulatan Mutlak di Tangan Tuhan yang Bijaksana

Seperti biasa, sebelum pesawat terbang tinggal landas, saya duduk tenang dan berharap perjalanan kali ini akan seperti sebelumnya: tidak ada insiden, tidak ada kejadian yang tidak diharapkan, dan tiba di tempat tujuan dengan aman. Pesawat itu merayap masuk ke landasan, berhenti sebentar, mengerahkan tenaga, melaju membelah angin, terbang, belok sedikit, lalu berusaha menembus awan. Di saat-saat inilah (lampu sabuk pengaman masih menyala) sang pesawat, bak burung kesakitan yang meronta-ronta, mengeluarkan suara bising yang membuat para penumpang mulai menoleh kanan kiri dan bertanya-tanya dalam hati, “Ada apa dengan mesinnya?” Saya bahkan punya firasat pesawat ini segera akan meledak dan inilah akhir hidup kami di dunia ini.

Dalam kondisi genting seperti ini, tentunya tidaklah mudah untuk duduk tenang dan merenungkan tentang the problem of evil dengan berhasil. Tidak, kali ini pikiran, perasaan, dan kehendak saya kompak secara mengejutkan: mereka menghalangi saya mempertahankan theology saya. Maka dalam ketidakberdayaan saya, saya pun setuju dengan mereka. Saya mencongkel keluar Reformed theology yang intinya: Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! (Rm. 11:36), membungkusnya untuk sementara, dengan maksud akan mengeluarkannya kembali kalau krisis ini lewat, lalu dengan hati penuh keraguan dan iman yang minimum, bertanya, “Mengapa ini semua harus terjadi? Jika ada satu Pribadi berotoritas paling tinggi, berkedaulatan mutlak, bisa mengerjakan apa saja sesuai dengan kehendak-Nya, dan semua yang terjadi ada di bawah kuasa dan kendali Dia, siapakah Pribadi itu?” Sebenarnya ini adalah pertanyaan yang sudah dipoles dengan eufemisme dari pertanyaan, “Siapa sih yang bikin pesawat ini jadi begini sekarang?” yang keluar dari hati yang panik waktu itu.

Akan tetapi karena saya tidak sedang panik sekarang, lebih baik saya pakai saja pertanyaan sebelumnya, “Siapakah Pribadi berkedaulatan mutlak yang mengizinkan hal ini terjadi pada saya?” Karena jawabannya adalah Tuhan semesta alam, waktu itu saya bertanya, “Apakah seharusnya ini terjadi? Apakah Tuhan tidak salah membuat perhitungan kali ini?” Suatu negara akan mengalami musibah jika yang memerintah membuat keputusan yang bodoh. Maka rakyat memilih pemerintah yang selain baik hati, juga pintar, dan bijaksana. Dengan begitu, rakyat bisa merasa lebih aman hidup di bawah pemerintahannya. “Amankah hidupku jika kedaulatan mutlak ada di tangan Tuhan? Mengapa kedaulatan itu tidak saya yang pegang saja? Otomatis semuanya akan lebih aman dan terkendali.” Dengan kata lain, “Tuhan yang baik hati, hati-hati dengan kedaulatan mutlak yang Engkau punya. Jangan sampai salah pakai!”

Seperti yang bisa para pembaca tebak, karena saya bisa menulis artikel ini, itu berarti tidak terjadi apa-apa pada pesawat yang saya tumpangi waktu itu. Tidak terlalu lama kemudian, mesinnya kembali bersuara halus. Dan selagi detak jantung saya melalui proses sedikit demi sedikit kembali ke kecepatan normalnya dan AC dalam kabin pesawat perlahan-lahan mengeringkan keringat dingin yang sebelumnya mendesak keluar dari pori-pori saya, saya mengingat kembali kejadian tadi; saya merenungkan pertanyaan yang saya tanyakan sebelumnya, “Amankah hidupku jika kedaulatan mutlak ada di tangan Tuhan?” Dua jam kemudian saya tiba di tempat tujuan dengan selamat, namun dengan hati yang kecewa karena ada sesuatu dalam diri saya yang terbukti tidak murni setelah melewati ujian.

Ketika saya mencari-cari jawaban atas pertanyaan saya, terpikirkan oleh saya seorang yang juga bertanya-tanya ketika ditimpa penderitaan. Ia adalah tokoh favorit kebanyakan orang yang sedang menderita: Ayub.

Ayub adalah orang saleh tetapi ditimpa bencana. Kalau kita membaca kitab Ayub pasal pertama, ternyata asal muasal bencana dan penderitaan Ayub adalah sebuah mahkamah di mana anak-anak Allah datang untuk menghadap Tuhan. Ternyata iblis juga hadir dalam acara itu (Ayb. 1:6). Maka, di sinilah kita dapat membayangkan betapa tingginya level kerohanian Ayub. Saking salehnya dia, sampai Tuhan ‘memamerkan’ dia di hadapan iblis dengan kebanggaan yang, saya percaya, lebih daripada kebanggaan apapun yang pernah kita rasakan ketika memamerkan sesuatu yang paling kita hargai di dunia ini. Dan iblis pun mengusulkan agar Ayub diuji, sehingga jika Ayub tidak lulus ujian, Tuhan bisa dipermalukan. Syarat kelulusannya adalah Ayub tidak boleh mengutuki Tuhan untuk apapun yang akan menimpa dia (1:11, 2:5).

Kita, mungkin keberuntungan bagi sebagian orang dan malu bagi sebagian orang lain, tidak ditimpa penderitaan seperti Ayub karena tidak pernah ada mahkamah yang isinya adalah pembicaraan Tuhan dan iblis tentang kita, karena ceteknya kerohanian kita, sehingga tidak ada yang bisa dipamerkan Tuhan kepada iblis. Namun Ayub, dengan tingkat kesalehannya yang tinggi, pun mengalami pergumulan batin ketika menderita. Sesuatu telah terjadi di luar kemampuan nalarnya. Di satu sisi, Ayub sangat berserah dan percaya Tuhan selalu menggunakan kedaulatan-Nya dengan benar dan bijaksana. “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (2:10), “Allah itu bijak dan kuat, siapakah dapat berkeras melawan Dia, dan tetap selamat?” (9:4), “Konon hikmat ada pada orang yang tua, … Tetapi pada Allahlah hikmat dan kekuatan, Dialah yang mempunyai pertimbangan dan pengertian” (12:12-13), “Masakan kepada Allah diajarkan orang pengetahuan, kepada Dia yang mengadili mereka yang di tempat tinggi?” (21:22), “Allah mengetahui jalan ke sana (Hikmat), Ia juga mengenal tempat kediamannya” (28:23).

Di sisi lain, Ayub meragukan kebijaksanaan Tuhan karena sudah menimpakan bencana dalam hidupnya. “Kalau aku berbuat dosa, apakah yang telah kulakukan terhadap Engkau, ya Penjaga manusia?” (7:20), “… beritahukanlah aku, mengapa Engkau berperkara dengan aku” (10:2), “… aku yakin, bahwa aku benar” (13:18), “Berapa besar kesalahan dan dosaku? Beritahukanlah kepadaku pelanggaran dan dosaku itu” (13:23).

Dengan pergumulan batin seperti ini, pertanyaan-pertanyaan Ayub seolah-olah terdengar seperti, “Tuhan yang bijak, mengapa Engkau tidak bijak?” Ayub merasa tak berdaya karena kedaulatan mutlak ada di tangan Tuhan, dan kadang-kadang ia ragu apakah Tuhan sudah memakai kedaulatan-Nya dengan bijaksana. “Lihatlah, Ia hendak membunuh aku, tak ada harapan bagiku, namun aku hendak membela perilakuku di hadapan-Nya” (13:15), “… , aku hendak berbicara dengan Yang Mahakuasa, aku ingin membela perkaraku di hadapan Allah” (13:3), “… aku yakin, bahwa aku benar” (13:18). Menurut Ayub, Tuhan yang adalah Sumber Hikmat itu sudah salah perhitungan sehingga menghukum dirinya yang tidak bersalah.[1]

Dalam hal ini, mungkin kita tersenyum melihat kontradiksi alam pikir Ayub. Tetapi jangan lupa, Ayub berpikir seperti ini karena theology yang beredar pada masa itu selalu menyamakan penderitaan dengan hukuman Tuhan, tidak pernah dengan ujian. Mengingat kejadian di pesawat tadi, saya malu karena dengan theology yang “lebih lengkap“, saya tidak bisa bertindak sesaleh Ayub ketika berada dalam penderitaan.

Sekarang tibalah waktu Tuhan, yang sudah bersabar dan berdiam diri sampai pasal 37, untuk menjawab Ayub. Kalimat pertama Tuhan adalah untuk ‘menghina’ Ayub dulu karena perkataan-perkataannya “tidak berpengetahuan” (38:1). Kemudian Tuhan melanjutkan dengan serentetan pertanyaan retoris yang, dengan gentar saya simpulkan, intinya adalah: Tuhanlah satu-satunya yang empunya kedaulatan mutlak dan Dia jugalah satu-satunya yang empunya wadah kebijaksanaan yang cukup besar untuk menampung kedaulatan-Nya sehingga bisa memakainya dengan mutlak benar.

Jawaban Tuhan ini membuat Ayub menutup mulutnya dengan tangan, dan ia tidak berani berbicara lagi (39:37-38). Ayub mengaku, “Tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui” (42:3). Ayub memberikan tanggapan ini kepada Tuhan meskipun sebenarnya jawaban Tuhan tidak menjawab pertanyaan Ayub. Tuhan tidak memberi penjelasan mengapa Ayub menderita. Tuhan tidak menceritakan tentang percakapan-Nya dengan iblis. Itu karena Tuhan tidak berkewajiban menjawab pertanyaan manusia. Tuhan akan membukakan kepada manusia rahasia-Nya sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya pada waktu yang Ia tetapkan. Mungkin sampai akhir hayatnya, Ayub tetap tidak tahu bahwa Tuhan ketika itu sedang mengujinya. Namun ia percaya Tuhan tidak mungkin salah perhitungan dan selalu bermaksud baik.

Sama seperti Ayub, kita kadang-kadang meragukan kebijaksanaan Tuhan dalam menggunakan kedaulatan-Nya pada saat kita ditimpa masalah. Selain itu, seringkali doktrin predestinasi, the problem of evil, kedaulatan Tuhan vs. kehendak bebas manusia, dan sebagainya, bagi kita seperti memperlihatkan sosok Tuhan yang bertindak sewenang-wenang tanpa konsep pola pikir yang bisa dipertanggungjawabkan. Maka, mengikuti kebiasaan manusia yang beradab, kita tergoda untuk mewajibkan Tuhan menyerahkan disertasi-Nya, sehingga kita bisa menyidang dan berdebat dengan-Nya sampai sepuas-puasnya. Dan pada saat itu, manusia-manusia “beradab” ini mungkin harus siap dengan kalimat pertama Tuhan yang menusuk telinga itu, sebelum mereka mendengar pertanyaan-pertanyaan retoris Tuhan yang panjang yang mengajak mereka merenung tentang alam ini, dari bintang, planet bumi, cuaca, sampai kuda nil.

Masalah kita sama. Kita merasa lebih baik, aman dan nyaman jika kedaulatan milik Tuhan itu ada di tangan kita. Dengan demikian, kita sebenarnya sedang berpikir, dunia ini akan menjadi lebih baik, aman, dan masuk akal jika kedaulatan mutlak ada di tangan kita. Padahal, menginginkan kedaulatan mutlak yang Tuhan punya adalah dosa besar karena kita mengangkat diri lebih tinggi (berhikmat) dari Tuhan. Kiranya Tuhan mengampuni kita.

Pada saat penderitaan menimpa kita, pada saat semuanya terjadi di luar kemampuan kita untuk mengerti, kita seharusnya tetap dapat merasa aman karena segala sesuatu ditetapkan oleh Tuhan yang Mahabijaksana, Sumber segala bijaksana. Ia adalah satu-satunya yang punya kebijaksanaan yang cukup besar untuk mewadahi satu-satunya kedaulatan mutlak yang juga adalah milik-Nya. Kiranya Tuhan yang Mahabijaksana memberikan kita bijaksana yang cukup untuk dapat bergantung penuh kepada kedaulatan-Nya dalam memperjuangkan hidup di dunia ini. Amin.

Erwan

Pemuda GRII Pusat


[1] Ayub lulus dari ujian karena sampai akhirnya, meskipun meragukan kebijaksanaan Tuhan, dia tidak pernah sekali pun mengutuki Tuhan.