Making Notes on Sophie

Kisah-kisah yang indah selalu menginspirasikan kita untuk melihat diri kita dan dunia secara berbeda, dan untuk menghidupi hidup kita secara berbeda. Demikian halnya kisah Sophie. Ketika film ini berakhir, aku bertanya, akankah aku tinggal diam dan tetap hidup sebagaimana biasanya? Dapatkah aku melakukan hal-hal secara berbeda? Haruskah? Bagaimana caranya? Ini adalah pergumulan yang harus kuperjuangkan, untuk tidak lagi menyerah kepada kenyamanan dan kemudahan, atau bersikap acuh tak acuh terhadap dunia sekitarku. 

Foto-foto Sophie yang sebenarnya ditampilkan di akhir film – itulah dia, seorang gadis dengan wajah yang manis dan sedikit sensitif, kadang-kadang serius, kadang-kadang tertawa dengan sukacita yang spontan. Hanya seorang mahasiswi biasa, pikirku. Di permulaan film, aku pun hampir tersenyum menyaksikannya, ketika ia bernyanyi dengan santainya mengikuti alunan musik radio, dan kemudian ketika ia mengatakan kesukaannya akan “Trout Quintet” dari Schubert, dalam sepucuk surat kepada Lisa. Aku datang dengan harapan akan menyaksikan suatu revolusi politik seorang wanita. Dan antisipasiku akan hal itu justru dimulai dengan seorang gadis muda biasa yang lugu. Menjadi seorang wanita muda tidak dapat dipakai untuk berdalih, aku mengingatkan diriku sendiri.

Sophie memilih untuk meyakinkan dengan kata-kata. White Rose berjuang dengan kata-kata. “We won’t be silent. We would be your bad conscience. The White Rose will not leave you in peace!” Tidak ada satu kata yang ditulis tanpa kejelasan dan semangat, dengan suatu nada desakan yang tidak berkompromi dalam persuasinya dan kritiknya terhadap rakyat Jerman yang tidak melakukan apa-apa untuk melawan Hitler dan Third Reich. Kita tidak dapat mengukur bagaimana desakan dan keprihatinan moral dapat diteruskan melalui kata-kata dan cetak miring dan tanda seru. Seorang teman menjawab ketika aku bertanya mengenai film ini, “I just feel I have to write more.

Adalah sulit untuk berdiri demi tujuan mulia jika seseorang harus meresikokan nyawanya di tengah kesendirian. Dan memiliki perbedaan dengan seseorang yang kita cintai di tengah-tengah kesulitan mungkin adalah ujian terberat bagi hati dan nurani seorang wanita. “He is loyal to his oath to Hitler,” cerita Sophie mengenai Fritz Hartnagel, seseorang yang sangat ia kasihi. Aku kira adalah krusial bagi Sophie bahwa Fritz, lebih daripada yang lain, seharusnya bersehati dengannya mengenai isu moral yang esensial tentang agresi Nazi. Di sini, melihat hidupku sendiri, aku sungguh tidak dapat membayangkan, bagaimana dua orang dapat hidup bersama dengan perbedaan pandangan tentang ideologi atau politik, visi hidup? Apalagi tentang iman dan Tuhan? Adalah juga sangat berani bagi seseorang, untuk melawan apa yang setiap orang percayai sebagai kebaikan bangsa, dan berkata di tengah peperangan, “I am against this. Our own country, Germany, must lose this war.” Bagaimanapun seseorang mengasihi miliknya, ia harus mengasihi keadilan, lebih dari segalanya. Apa yang benar harus mendahului yang lain.

Interogasi oleh Mohr merupakan suatu dialog yang menegangkan. Sophie berubah dari seorang yang mendengarkan dan menjawab dengan cerdik setiap pertanyaan yang dilemparkan, hampir tanpa emosi, menjadi seorang yang mengkonfrontasi hati nurani. “What would happen if everyone separately decided what is right and wrong?” “No one regardless the circumstances can pass the divine judgment.” Ketika dituduh bahwa ia tidak peduli dengan realita, Sophie menyangkal, “It has everything to do with reality: With decency, with morals, and God.” Bagi Mohr, apa yang ia percayai adalah jelas prinsip-prinsip yang benar, realistik, patriotik, sementara ia mencoba untuk meyakinkan Sophie bahwa kejayaan Jerman dan segala sesuatu di dalamnya menjadi mungkin karena Hitler dan gerakan Nationalist Socialist-nya. Akan tetapi Sophie tidak tergoncang. “It is you, not I who hold the wrong world view.” Sama halnya dengan setiap kehidupan. Seseorang menjadi tertipu, dan melihat familiaritas dari dunia yang jatuh ini sebagai realita, tanpa sungguh-sungguh bertanya dan mencari apa realita yang sesungguhnya. Seseorang mungkin tahu bahwa iman Kristen adalah satu-satunya Kebenaran, namun segala filsafat dan ide dari dunia ini seringkali kelihatan begitu merongrong sehingga ia mengira bahwa ia perlu untuk mengikuti arus supaya tetap hidup. Dosa adalah musuh, sementara jalan hidup sudah terbuka di depan kita, namun terlalu jarang kita berjalan melaluinya. Terlalu sering kita menyangkal, mengira bahwa standar itu terlalu tinggi untuk dihidupi, sehingga sebaliknya kita tunduk kepada dunia dan jalan-jalannya.

Dalam persidangan di pengadilan, teriakan-teriakan kemarahan dari Hakim Roland Freisler sangat menghina bahkan kepada penonton yang paling tidak sensitif. Di permukaan nampaknya kekuasaan yang brutal dapat menekan dan menang, tetapi roh melebihi karisma. Perkataan Sophie dan Hans menggetarkan hati setiap orang yang hadir, dan merupakan suatu display of grace under fire. Hukuman mati dibacakan tetapi–“Today you may hang us, but you’ll be hanged tomorrow.” “You’ll soon be standing where we stand now.” “There is higher Justice” – seruan-seruan ini menyatakan keteguhan yang sangat kontras. Dunia seolah-olah dikuasai secara kejam oleh yang kuat terhadap yang lemah, yang kaya terhadap yang miskin; manusia berada di bawah ancaman yang terus-menerus dari orang lain. Sophie percaya bahwa ada kemenangan bagi mereka yang kuat, tetapi yang kuat dan berapi-api dalam roh. Kemenangan ini mungkin kelihatan kurang punya ‘kuasa’ dalam dunia yang terbatas dan sementara ini, tetapi itu tidak membuatnya kurang berharga untuk diperjuangkan.

Sejumlah jeda di mana Sophie berdoa kepada Tuhan merupakan momen-momen yang paling menggerakkan sepanjang film ini. Di balik keberaniannya yang begitu tenang tersimpan pergumulan batin untuk mengenal Tuhan dan ketidakberdayaan untuk bersandar kepada-Nya. “All I can do is to stammer to You. I beseech You, You are my salvation. Do not turn Your face away from me, dear God, my glorious Father.

Sophie dan White Rose berjuang siang malam. Operasi mereka selalui dibarengi dengan perasaan takut kalau-kalau rahasia mereka akan terbongkar. Dan juga dibarengi dengan kesadaran akan konsekuensinya, “after all an end in terror is preferable to terror without end.” Apa yang menopang mereka semata-mata hanyalah keyakinan bahwa apa yang mereka coba sampaikan kepada sesama rakyat Jerman adalah sesuatu yang harus dikatakan. Hanya keyakinan akan kebebasan di masa yang akan datang yang memungkinkan Sophie untuk melangkah dengan berani bahkan menuju kematian, keyakinan bahwa kematiannya bukanlah kematian yang tidak perlu. Bagaimana lagi seorang wanita muda yang begitu bertalenta, konfiden, dan menghargai hidup, dapat menerima bahwa ia harus menghadapi kematian?

Seseorang harus menghidupi apa yang ia ketahui. Aku telah mengetahui kebenaran, untuk melihat bahwa sesungguhnya tidak ada kebebasan yang ditawarkan oleh dunia ini. Dunia ini tidak punya solusi. Penderitaan dari ciptaan harus dialami, peperangan adalah di sini dan perjuangan harus dilakukan, demi kemerdekaan mulia sebagai anak-anak Allah. Aku ingat ibu Sophie berkata, “Remember, Sophie, Jesus.” Mereka tahu kebenaran yang memerdekakan. Aku kira inilah yang mendasari kesaksian teguh terakhir Sophie, “The sun still shines.

Graciana Dewi Gotama

Pemudi GRII Singapura