Man’s Original Responsibility and the Covenant of Works

Di saat kita memikirkan identitas diri, kita tidak mungkin terlepas dari sejarah. Sebuah perkataan yang sering kali diucapkan berkaitan dengan hal ini adalah, “A man who lost his history, loses his identity.” Pengabaian akan sejarah menjadikan kita seorang yang akan kehilangan arah karena kita tidak tahu dari mana kita datang, di mana kita berada, dan ke mana kita seharusnya tuju. Kita kehilangan dasar atau pijakan kesadaran keberadaan posisi kita. Bagaikan seorang yang tersesat di suatu tempat dan ia tidak tahu sedang berada di mana, begitu juga seorang yang kehilangan atau melupakan sejarah. Kompas atau peta yang dimiliki tidak dapat banyak membantu seorang yang tersesat jikalau ia tidak tahu di mana ia sedang berada. Setidaknya dengan mempelajari sejarah kita akan belajar tiga aspek: pertama, kita dapat mengerti identitas atau akar asal mula keberadaan kita sebagai sebuah komunitas (bangsa atau kelompok tertentu); kedua, kita setidaknya dapat menganalisis atau mempelajari kesalahan yang pernah dibuat di dalam sejarah sehingga kita dapat berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama; dan ketiga, kita dapat mempelajari aspek-aspek positif yang dapat menjadi kebijaksanaan di dalam menjalani hidup kita saat ini dan di masa depan. Ironisnya, pembelajaran akan sejarah menjadi aspek yang ditinggalkan oleh generasi muda saat ini.

Pada artikel bulan lalu, sempat dibahas mengenai kebahayaan yang kita hadapi pada zaman ini, yaitu tendensi zaman yang ingin menentukan sendiri identitasnya atau bersifat otonomi, dan kelompok orang yang menyadari identitas diri tetapi tidak dengan sungguh-sungguh menjalankannya atau bahkan memanfaatkannya bagi kepentingan diri. Hal ini menjadi bagian dari semangat anti-otoritarian yang banyak memengaruhi generasi muda saat ini. Just do what you think is right. Just follow your heart. Kalimat-kalimat seperti ini menjadi slogan yang sering kali kita jumpai pada saat ini. Inilah cerminan dari semangat zaman yang mendidik pengikutnya untuk membuat keputusan hidup bagi dirinya sendiri, tidak perlu mengikuti tradisi atau apa yang dikatakan oleh orang lain. Dari sejak muda kita diindoktrinasi untuk memikirkan masa depan kita berdasarkan apa yang menjadi “passion” kita. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan yang diajarkan Alkitab. Seperti yang dibahas dalam artikel bulan lalu, sebagai umat Allah kita seharusnya hidup berdasarkan “passion” yang sudah diselaraskan dengan apa yang Tuhan kehendaki, bukan hanya berdasarkan kehendak diri semata. Pada artikel ini kita melihat lebih jelas bahwa pada dasarnya manusia diciptakan untuk hidup bagi Allah. Alkitab tidak pernah mengajarkan manusia untuk hidup bagi dirinya sendiri, karena manusia diciptakan di dalam ikatan relasi perjanjian dengan Allah. Artikel ini akan membahas mengenai covenant of works, yaitu relasi perjanjian Allah dengan manusia sejak penciptaan hingga sebelum kejatuhan ke dalam dosa.

Covenantal Relationship at Creation Point
Di antara semua ciptaan, manusia adalah makhluk yang diciptakan dan ditempatkan secara berbeda dibanding dengan ciptaan lainnya. Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia diciptakan di dalam relasi yang spesial dengan Allah yaitu relasi perjanjian atau covenantal relationship. Di dalam sebuah covenant terdapat beberapa aspek, yaitu: nama yang berkuasa atas perjanjian tersebut, latar belakang perjanjian ini, aturan dalam perjanjian, konsekuensi bila patuh atau melanggar perjanjian, provisi sebagai himbauan untuk umum. Di dalam Kejadian pasal 1 dan 2, memang tidak semua aspek ini ada secara eksplisit, tetapi ada beberapa aspek yang cukup tergambarkan. Misalnya di dalam Kejadian 1:28-30:

Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Berfirmanlah Allah: “Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu. Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya.” Dan jadilah demikian.

Ketiga ayat ini bisa dikategorikan sebagai aspek aturan dalam perjanjian yang Tuhan berikan kepada manusia. Tentu saja aturan ini bukan hanya berisi tugas-tugas yang harus dilakukan manusia, tetapi juga Tuhan memberikan larangan kepada manusia, yaitu di dalam Kejadian 2:16-17: Lalu Tuhan Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” Isi dari bagian ini merupakan sebuah larangan yang di dalamnya terkandung juga konsekuensi dari pelanggaran tersebut. Bukan hanya itu, di pasal berikutnya kita pun dapat melihat bahwa Tuhan menaruh pohon kehidupan sebagai bagian dari berkat yang Tuhan berikan jikalau manusia taat kepada Allah, yaitu kehidupan kekal bersama dengan-Nya. Sehingga, di sini kita dapat melihat adanya dua hal utama dalam covenant of works: tanggung jawab manusia sebagai ciptaan secara umum, dan juga perintah khusus yang berupa larangan untuk manusia lakukan.

Man’s Responsibility in the Covenant of Works
Di dalam covenant of works ini terdapat mandat yang mendorong manusia untuk berkembang melebihi batasan Taman Eden, yaitu hingga menaklukkan seluruh dunia. Covenant ini menuntut Adam untuk melakukan tugasnya sebagai ciptaan Allah. Ia harus bekerja dan memelihara taman (Kej. 2:15), yang adalah rumah bagi manusia dan juga adalah tempat kudus Allah. Bukan hanya itu saja, tugas Adam juga adalah mengatur creation ordinances di dalam ciptaan (pekerjaan – Kej. 1:28; 2:15, pernikahan atau keluarga – Kej. 2:23-25, dan Sabat – Kej. 2:1-3). Hal-hal inilah yang menjadi dasar atau yang mendefinisikan etika hidup manusia di sepanjang sejarah. Sehingga di dalam aspek ini kita dapat melihat bahwa covenant ini bersifat individual (yaitu perjanjian dengan Adam dan Hawa), tetapi juga memiliki aspek universal (karena terkait dengan seluruh dunia). Secara pribadi Tuhan memberikan perintah kepada Adam dan Hawa sebagai manusia pertama. Mereka diperintahkan untuk menaklukkan seluruh dunia ini dan mereka harus berkembang untuk memenuhi bumi ini. Untuk mengerti hal ini lebih jelas kita akan mengaitkannya dengan fungsi manusia sebagai gambar dan rupa Allah.

Manusia diciptakan dengan kapasitas atau kemampuan untuk berelasi secara pribadi dengan Allah. Theologi Reformed menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan tiga aspek yang menjadi struktur dalam kehidupan manusia, yaitu rasio, emosi, dan kehendak. Ketiga aspek ini diciptakan untuk memampukan manusia di dalam menjalankan tiga fungsi, yakni:

·  Rasio untuk digunakan oleh manusia di dalam mendapatkan kebenaran yang sejati (true knowledge). Dengan menggunakan rasio, manusia hadir menjadi wadah kebenaran Allah. Mereka menjadi pribadi yang menerima wahyu yang Tuhan berikan baik secara reguler dengan mempelajari, menganalisis, dan menginterpretasi alam ini (hal ini kita sebut juga sebagai wahyu umum Allah), maupun wahyu yang Tuhan langsung sampaikan kepada manusia secara khusus (wahyu khusus Allah). Sebagai gambar Allah, manusia harus mampu menerima kebenaran Allah dan menginterpretasikannya sesuai dengan interpretasi Allah yang menciptakannya. Inilah fungsi manusia sebagai nabi yang menerima kebenaran sejati.

·  Emosi untuk digunakan manusia di dalam menjalankan kehidupan yang kudus sejati (true holiness). Fungsi ini sering kali dikaitkan dengan fungsi dari seorang imam yang bertugas untuk membawa persembahan yang kudus bagi Allah. Sebagai seorang imam, manusia memiliki tuntutan untuk hidup dengan kudus seperti yang Tuhan inginkan, karena seorang imam bisa dikatakan sebagai orang yang memberikan seluruh hidupnya melayani Tuhan. Maka fungsi true holiness ini menuntut manusia untuk hidup berdasarkan standar kekudusan Allah dan mereka harus hidup sepenuhnya taat kepada perintah Tuhan, sehingga akhirnya kehidupan kita dapat menjadi persembahan yang harum bagi Allah.

·  Kehendak untuk digunakan manusia dalam mengatur dunia ini di dalam kebenaran sejati (true righteousness). Manusia diberikan tanggung jawab untuk menaklukkan dunia ini. Tugas ini sering kali dikaitkan dengan fungsi manusia sebagai raja. Manusia diberikan mandat untuk memimpin dan mengatur alam semesta ini. Namun, bukan dengan cara yang semau dirinya tetapi harus di dalam kebenaran yang Tuhan nyatakan. Sebagaimana seorang raja yang memerintah di dalam kebenaran yang bijak dan adil, begitu juga manusia harus mengusahakan dan memelihara alam semesta ini.

Ketiga fungsi ini menjadi dasar di dalam manusia menjalankan tanggung jawabnya mengusahakan dunia ini. Pengertian ini seharusnya menyadarkan kita bahwa manusia diciptakan dengan tujuan yang jelas dari awal. Kita tidak dibiarkan begitu saja menentukan sendiri apa yang menjadi arah dan kemauan hidup kita, tetapi manusia harus takluk kepada Allah. Manusia harus menyatakan kebesaran Penciptanya dalam seluruh aspek kehidupannya, bukan menyatakan kehebatan kemampuan otonominya dalam menjalankan kehendaknya. Manusia harus mengusahakan dunia ini berdasarkan kebenaran yang Tuhan nyatakan, bukan kebenaran yang manusia bangun sendiri. Lalu, dengan kebenaran ini manusia memerintah atau mengatur alam semesta ini di dalam kebijaksanaan dan keadilan yang berkenaan dengan, bahkan mencerminkan, kebijaksanaan dan keadilan Allah. Tidak hanya berhenti di sini, manusia pun harus memelihara kehidupannya di dalam kekudusan yang sesuai dengan standar kekudusan Allah, dan mempersembahkan segala yang ia telah usahakan untuk kemuliaan Allah. Seluruh hidupnya adalah untuk Allah semata. Dengan menjalankan ketiga fungsi ini, manusia dapat berfungsi sebagai gambar Allah yang sesungguhnya dan menjalankan covenant of works yang Tuhan berikan kepada manusia. Alkitab menyatakan bahwa jika manusia dapat menjalankan tanggung jawab ini dengan baik, Tuhan akan terus memberkati manusia untuk hidup bersama dengan-Nya.

Namun, covenant of works ini tidak hanya berisi tanggung jawab manusia saja, tetapi juga ada sebuah perintah spesifik yang secara khusus Tuhan nyatakan, yaitu larangan memakan buah pohon tentang pengetahuan yang baik dan yang jahat. Ini adalah perihal kedua yang perlu kita mengerti di dalam covenant of works.

God’s Special Command as Man’ Loyalty Test
Larangan yang Tuhan nyatakan di dalam Kejadian 2:16-17 bukan sekadar larangan atau aturan yang tidak boleh dilanggar oleh manusia. Tetapi hal ini juga menjadi sebuah ujian ketaatan manusia kepada Allah. Ini adalah ujian khusus yang Tuhan berikan kepada Adam untuk menguji ketaatannya atau kesetiaannya kepada perjanjian Allah. Allah menyatakan secara eksplisit bahwa pelanggaran atau kegagalan terhadap ujian ini akan memberikan akibat yang fatal yaitu kematian. Cornelius Van Til menjelaskan hal ini sebagai ujian untuk menentukan apakah Adam adalah covenant breaker atau covenant keeper. Jikalau manusia dapat setia menjalankan tanggung jawabnya dan berhasil melewati ujian ketaatan, yaitu tidak makan buah pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, manusia lulus sebagai seorang covenant keeper. Ia menjadi ciptaan yang setia terhadap perjanjiannya dengan Allah. Namun, realitas terjadi sebaliknya, manusia menjadi seorang yang tidak setia kepada Allah, manusia menjadi seorang yang merusak, melanggar, dan melawan perjanjian dengan Allah.

Sebagai seorang covenant breaker, manusia menunjukkan dirinya sebagai seorang yang tidak rela untuk taat kepada Allah. Manusia lebih memilih hidup secara otonom, terlepas dari otoritas Allah. Ketika manusia akhirnya memilih untuk memberontak kepada Allah, maka fungsi dan tanggung jawabnya sebagai gambar Allah pun menjadi rusak. Manusia menjadi ciptaan termulia yang akhirnya jatuh ke dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Ironisnya, manusia melakukan pemberontakan ini menggunakan kapasitas yang Tuhan sudah anugerahkan. Dengan rasionya manusia menentukan sendiri apa itu kebenaran, dengan emosinya manusia tidak lagi menginginkan hal yang kudus tetapi ingin dan bangga berbuat dosa yang keji di mata Allah, dan dengan kehendaknya manusia memimpin atau menguasai dunia ini di dalam keegoisan. Manusia menggunakan kemampuan yang Allah berikan untuk memberontak kepada Allah. Manusia gagal untuk melewati ujian kesetiaan yang Allah tetapkan. Mereka memilih untuk menjadikan diri sebagai allah atas diri sendiri dan mengabaikan otoritas Allah yang seharusnya mereka patuhi.

Penutup
Covenant of works ini seharusnya menyadarkan kita akan siapa kita dan apa yang seharusnya kita lakukan di dalam hidup ini. Sebagai ciptaan Allah, manusia tidak dipanggil untuk membuat arah atau melakukan hal yang berada di luar penetapan kehendak Allah. Manusia ada untuk menjalankan kehendak Allah di dunia ini hingga akhirnya rencana Allah ini digenapi secara sempurna di dalam diri Kristus. Oleh karena itu, kita harus kembali menyadari bahwa semangat anti-otoritarian adalah semangat yang jelas-jelas bertentangan dengan Alkitab. Makin manusia menyimpang jauh dari panggilannya, makin manusia itu kehilangan identitas. Manusia yang tidak mau takluk kepada Allah tidak mungkin mendapatkan identitasnya yang sejati. Karena identitas dan signifikansi manusia adalah untuk menjalankan kehendak Allah. Kiranya pembelajaran mengenai covenant of works ini menyadarkan kita akan siapa kita sesungguhnya manusia dan apa yang menjadi original design dari seorang manusia sejati. Kiranya Tuhan menolong kita untuk makin hari makin menghargai sejarah dan mau untuk belajar dari sejarah tersebut. Mari kita memanusiakan diri kita sebagai manusia sejati! Kiranya Tuhan menolong kita!

Simon Lukmana
Pemuda FIRES