Seorang bayi lahir hari itu. Ia tidak tahu dari mana ia datang dan juga tidak tahu di mana kini ia berada. Ia tak bisa memilih waktu dan tempat ia dilahirkan. Ia tidak memilih orang tua yang melahirkannya, keluarga, latar belakang sosial ekonomi, ras, warna kulit, dan jenis kelamin. Ia bahkan tidak diberi pilihan untuk dilahirkan atau tidak ke dalam dunia ini. Ia terlalu lemah untuk mengajukan protes akan semua ini, itu pun jika seandainya ia bisa mengubah sesuatu dengan keluhannya. Ia tidak tahu kepada siapa ia harus mengajukan keberatannya, dan seandainya ia tahu pun, ia juga tidak yakin apa sebenarnya ia berhak untuk mengajukan protesnya. Saat ini saja ia harus bergantung kepada kebaikan orang lain untuk menjaga dan merawatnya dari dunia yang dingin dan kejam di luar sana. Ia cukup beruntung bila dibandingkan dengan bayi-bayi lain yang tidak diinginkan oleh orang tuanya dan kemudian dibuang begitu saja. Setidaknya masih ada yang mengasihinya dan berbahagia akan kehadirannya di dunia ini.
Waktu terus berjalan, ia terus bertumbuh, semakin besar dan semakin dewasa. Ia kini tak lagi bergantung sepenuhnya pada orang lain. Setelah lulus dari universitas, ia bekerja di sebuah perusahaan besar di kota kelahirannya. Seperti kebanyakan orang lain yang hidupnya lancar-lancar saja, ia tak terlalu memikirkan apa arti dan tujuan hidupnya. Rutinitas tanpa makna bukanlah sesuatu yang harus dipertanyakan atau perlu dipikirkan dengan serius. Akan tetapi, entah kenapa dalam perjalanannya ke tempat kerjanya pagi itu terbersit di pikirannya mengapa ia bekerja setiap hari. Lebih lanjut ia bertanya-tanya apa arti hidupnya di dunia ini. Mengapa aku ada di sini? Sepanjang hari ia gelisah karena ia merasa ia sedang mengisi hidupnya dengan rutinitas yang tak bisa ia kaitkan dengan tujuan keberadaan dirinya di dunia ini.
Tak terasa hari itu hampir berakhir. Matahari hampir terbenam dan pemandangan di luar sana begitu indah. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati sore itu sebelum pulang. Jalanan sore itu penuh dengan anak-anak muda yang sedang bersenang-senang menghabiskan akhir pekan. Ia teringat akan masa mudanya dulu. Seringkali ia dianggap aneh oleh teman-temannya karena ia tidak suka keluar malam dan bersenang-senang menikmati hidup seperti pemuda sezamannya. Ia melihat juga banyak orang yang masih mengenakan pakaian kerja mereka di tempat-tempat hiburan di kota itu. Mereka bekerja keras untuk dapat menikmati hidup yang lebih baik tetapi seolah-olah tidak pernah puas akan apa yang telah ia capai. Seperti yang dikatakan seorang bijak dalam sebuah buku, orang yang mencintai uang tidak akan pernah memiliki cukup uang1. Entah akan ditaruh di mana nanti semua harta yang ia miliki ketika ia meninggalkan dunia ini. Dengan telanjang kita datang ke dunia ini, demikian pula ketika mati kita tidak bisa membawa apa-apa2. Herannya, manusia berusaha mencari jalan untuk mendapatkan lebih banyak materi meskipun itu berarti mengorbankan orang lain, merusak alam yang indah ini, dan bahkan sedang mengorbankan dirinya sendiri tanpa ia sadari. Apakah gunanya jikalau seseorang mendapatkan dunia ini dan segala isinya, tetapi kehilangan nyawanya sebagai gantinya?3 Alangkah sia-sianya!
Ia teringat akan Nitz, sahabat masa kecilnya yang kini kuliah doktoral di bidang filsafat. Pikirnya, ia pasti sudah pernah memikirkan arti hidup manusia dan ia pasti tahu jawabannya. Maka sore itu sepulang kerja ia pergi ke apartemen Nitz di pinggir kota. Pertanyaan pun dilontarkan, dan Nitz diam sejenak sebelum memberi jawabannya, “Hidup itu tidak memiliki arti, sahabatku. Keberadaan kita di dunia ini tidak memiliki tujuan. Hidup manusia hanyalah suatu proses mekanis yang akhirnya adalah kematian. Setelah kematian, tidak ada lagi kehidupan. Ini menunjukkan bahwa pada akhirnya hidup itu tidak ada artinya. Kematian adalah tujuan akhir dari setiap orang. Oleh karena itu usaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan tentang arti hidup adalah sesuatu yang sia-sia.” Tambahan lagi, hidup manusia bagi Nitz adalah produk dari evolusi dan tujuan ia hidup adalah semata-mata mengikuti insting untuk bertahan hidup. Hanya mereka yang kuat yang menang. Makhluk yang hidup ingin lolos dari seleksi alam. Kematian menggeser keberadaan kita dan kita tidak rela itu terjadi. Bukankah dengan demikian Nitz memiliki konsep bahwa hidup itu lebih baik daripada kematian dan dengan demikian hidup itu memiliki arti?
Di kereta api malam itu ia terus memikirkan apa yang sesungguhnya menjadi tujuan hidup manusia. Ia kurang sependapat dengan Nitz. Menurutnya, hidup manusia berarti lebih dari sekedar untuk bertahan hidup. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang dan kemudian duduk di hadapannya. “Astaga, Witt, apa yang kau lakukan di kota ini?” Ternyata itu Witt, temannya ketika ia masih kuliah dulu. Witt bercerita tentang kesibukannya saat ini. Ia sering bepergian ke berbagai negara dan daerah menjadi sukarelawan menolong korban bencana alam dan kegiatan sosial lainnya. Witt memang seorang yang aktif dengan kegiatan-kegiatan sosial sejak di kampus dulu.
Witt menceritakan bagaimana ia selalu berusaha membahagiakan keluarga dan orang-orang yang ia kasihi. Ia bekerja keras untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk membahagiakan mereka. Ia juga menolong mereka yang lemah dan miskin. Sumbangsihnya pada masyarakat ia berikan tanpa pamrih. Witt merasa hidupnya berarti dengan melakukan semua itu. Ia kelihatan bingung dan bertanya pada Witt, “Witt, maafkan aku menanyakan pertanyaan ini, tapi aku ingin tahu mengapa engkau ingin orang lain bahagia? Mengapa engkau tergerak untuk menolong mereka yang miskin, teraniaya, dan menderita? Mengapa engkau mendedikasikan hidupmu bagi orang lain? Apakah karena hidup mereka memiliki arti? Jikalau demikian, apa sebenarnya arti hidup manusia itu, Witt?” Witt diam dan hanya membalas dengan senyuman yang setengah dipaksakan. Kereta tiba di stasiun dekat rumahnya, dan ia pun turun setelah bertukar alamat dengan Witt. Ia terus merenungkan pertanyaan akan apa arti hidup manusia. Ia yakin kalau hidup manusia tidak bisa berhenti dari sekedar memberi arti pada hidup orang lain karena dengan demikian ia belum menjawab pertanyaan akan apa arti hidup manusia. Malam itu ia berusaha keras memejamkan matanya untuk tidur dan melupakan sejenak pertanyaan yang mengganggunya hari itu.
Sinar matahari pagi yang hangat di musim semi menyeruak masuk lewat jendela kamarnya dan membangunkannya dengan lembut dari tidurnya. Ia turun dari ranjang, menuju kamar mandi, dan bersiap-siap untuk hari itu. Sembari menikmati sarapan paginya, ia membaca surat kabar. Berita utama adalah bencana alam di sebuah negara di daerah khatulistiwa sana. Ada satu kalimat yang dilontarkan oleh salah seorang korban bencana alam itu yang menarik perhatiannya. Seorang ibu yang kehilangan anaknya dalam peristiwa itu sambil menangis berkata bahwa ini semua adalah nasibnya. Nasib yang sudah ditentukan oleh alam ini bagi ia. Ia tidak bisa melawan takdir yang telah ditentukan, oleh sesuatu yang berkuasa di luar sana, baginya dan bagi anaknya. Ia hanya bisa menjalaninya dengan tabah.
Ia menatap ke luar jendela dapurnya yang menghadap ke taman belakang rumahnya yang asri. Benarkah hidup manusia tak ubahnya seperti menjalani takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan atau oleh alam baginya? Apa yang menjadi dasar ia menyimpulkan bahwa hidup ini tak lebih dari sebuah nasib? Bagaimana ia bisa tahu kalau itu benar? Lamunannya dibuyarkan oleh suara jam dinding yang berdentang pertanda ia harus segera berangkat kerja. Dengan sedikit terburu-buru ia menyambar tas kantor dan kunci rumahnya dan bergegas menuju ke stasiun kereta.
Kereta api pagi itu tidak terlalu penuh dengan penumpang. Ada banyak tempat duduk yang kosong dan ia pun bisa memilih tempat duduk di dekat jendela. Ia menarik buku otobiografi4 seseorang yang bertahan hidup dalam camp konsentrasi Nazi pada masa Perang Dunia II. Orang ini menceritakan pengalamannya dan kebanyakan orang lain di dalam camp itu di bawah kekejaman dan penganiayaan fisik dan psikis tentara-tentara Nazi. Penulis buku ini mengajukan teorinya bahwa manusia yang dapat bertahan di tengah-tengah kejahatan dan penderitaan adalah mereka yang bisa melihat hidup sebagai sesuatu yang berarti, meskipun mereka harus menghadapi realita yang bertolak belakang setiap hari. Para tentara Nazi memanggil mereka dengan sebutan untuk binatang dan memperlakukan mereka dengan tidak manusiawi seolah-olah hidup manusia itu tidak ada nilainya, dapat dilenyapkan kapan saja dan bahkan karena alasan yang sangat sepele sekalipun. Penderitaan dan kematian adalah bagian dari hidup manusia, sama seperti kebahagiaan, kelancaran, dan kesuksesan. Yang terpenting adalah bagaimana respon manusia tersebut terhadap keberadaannya, keberadaan yang dibatasi oleh kekuasaan di luar dirinya.
Ia meletakkan buku yang sedang dibacanya sejenak dan mengarahkan matanya keluar jendela, melihat pemandangan kota di pagi hari. Ia tergerak dengan kisah penulis ini. Akan tetapi, ia bertanya-tanya apakah penderitaan merupakan sesuatu yang mutlak untuk seseorang dapat mengetahui arti hidupnya. Bagaimana dengan mereka yang hampir tidak pernah mengalami kesulitan yang besar? Apakah arti hidup manusia tergantung pada pengalaman hidup setiap orang? Apakah itu berarti bahwa manusialah yang menjadi penentu arti dan tujuan hidupnya sendiri? Bagaimana manusia yang sedang mencari arti hidupnya memberi jawaban atas pertanyaannya sendiri akan arti hidupnya? Ia merasa gentar memikirkan semua ini. Hidupnya hanya sekali dan alangkah tidak berbijaksananya ia jika arti hidupnya disandarkan pada dirinya sendiri, pada pengalamannya, atau pada orang lain yang bahkan tidak mengerti dirinya sepenuhnya.
Sampai pada suatu pagi di musim dingin tahun itu, ketika ia sedang bergegas menuju stasiun kereta api, seorang bapak setengah baya dengan jaket tebal mengulurkan sebuah buku kecil kepadanya sambil tersenyum. Ia membalas dengan senyuman singkat. Penasaran akan isi buku itu, ia langsung membacanya setibanya ia di kereta api. Ternyata buku kecil itu adalah sebuah bacaan rohani. Di halaman pertama dikatakan bahwa keberadaan manusia di dunia ini bukanlah sebuah kebetulan yang tidak memiliki arti tetapi manusia diciptakan oleh Tuhan dengan ajaib, segambar dan serupa dengan Tuhan Allah untuk tujuan yang Allah tetapkan. Manusia menjadi wakil Allah di dalam dunia ini untuk memenuhi bumi dengan gambar-gambar Allah yang lainnya dan juga untuk memelihara serta mengelola bumi dan segala isinya.
Dikatakan selanjutnya dalam buku kecil itu bahwa manusia dalam kebebasannya telah merusak rancangan asli Allah bagi manusia. Hubungan yang dulunya indah kini terpisah oleh jurang dosa antara manusia dan Allah yang suci dan yang juga adalah Sumber Hidup manusia. Manusia mencoba mencari jalan kembali. Akan tetapi, manusia berjalan tidak tahu arah, tersesat seperti domba yang mengikuti jalannya masing-masing. Mereka tidak sadar kalau mereka sedang menuju jurang maut yang membinasakan. Tidak ada yang tahu jalan mana yang benar karena tak seorang pun dapat melihat gambaran asli dan utuh dari hidup yang sedang mereka jalani. Betapa mengerikannya jikalau di akhir perjalanan itu ia mengetahui bahwa selama ini ia telah berjalan sia-sia dan jiwanya binasa untuk selama-lamanya. Tiba-tiba ketakutan membelenggu hatinya. Jiwanya meneriakkan kehampaan dan keputusasaan mendambakan belas kasihan.
Hatinya tergerak untuk terus membaca buku yang tadinya kelihatan murahan itu. Ia mulai melihat kebenaran yang satu per satu dinyatakan dalam buku itu. Ia sadar bahwa selama ini ia telah mencarinya di tempat yang salah. Ia kini sadar bahwa ia tidak mungkin menemukan tujuan hidupnya dengan bertanya pada dirinya atau manusia lain karena semuanya ini tidak memiliki kualifikasi cukup untuk memberi jawaban akhir atas apa yang menjadi tujuan hidup manusia. Ia teringat akan kalimat seorang koresponden majalah TIME5 yang berlatar belakang Atheis mengatakan bahwa setiap kita memiliki tujuan, alasan mengapa kita ada, yang tak seorang pun dapat memberitahu, tetapi kita bisa menemukannya dari Tuhan. Selama ini ia belum pernah melihat ke atas, kepada Tuhan yang menciptakannya, untuk menanyakan tujuan hidupnya.
Lembaran berikutnya menceritakan kepadanya bahwa Allah sangat mengasihi dunia ini dan Ia telah menyediakan jalan bagi manusia untuk kembali kepada-Nya, yaitu Yesus Kristus, Anak-Nya yang tunggal. Yesus Kristus rela mati untuk menggantikan manusia yang berdosa dan bangkit mengalahkan maut untuk memberikan hidup baru bagi semua yang percaya kepada-Nya. Mereka yang memperoleh hidup baru ini dikembalikan kepada posisi mereka yang sebenarnya untuk hidup bersekutu dengan Tuhan Allah. Peta teladan Allah yang ada dalam diri mereka diperbaharui untuk kembali memancarkan karakter Ilahi di dalam dunia ini. Hidup di dunia yang sementara ini adalah hidup untuk menggenapkan rencana Allah dalam hidup mereka dengan mengembangkan segenap bakat dan potensi yang telah Tuhan berikan. Hidup mereka bukan lagi milik diri dan untuk diri mereka sendiri tetapi milik Tuhan dan hanya bagi Tuhan saja.
Kalimat demi kalimat berbicara ke dalam hatinya, dan ia tak menyadari matanya mulai basah. Betapa selama ini ia merindukan makna sesungguhnya dari hidup yang sedang ia jalani. Kini, ia bertemu dengan Diri Kebenaran yang berotoritas itu. Jiwanya yang berkelana kini mengambil langkah iman untuk kembali kepada Allah yang sejati. Ia tak lagi mengembara tanpa arah di padang belantara pemikiran dan kebingungan yang menyesatkannya. Ia kini berjalan mengikuti tiang api dan tiang awan pimpinan Tuhan. Di tengah dinginnya udara pagi itu, sukacita terpancar dari wajahnya karena kini ia mengerti mengapa ia ada di dunia ini. Terima kasih Tuhan, bisiknya dalam hati. Terima kasih juga buat bapak di stasiun kereta yang telah membawa berita indah ini baginya. Ia bertekad untuk membagikan kabar indah ini kepada orang lain juga sehingga mereka juga boleh merasakan sukacita seperti yang dirasakannya saat ini. Sola Gratia.
Suryanti Y. A. Simanullang
Pemudi GRII Singapura
Referensi:
- Pengkhotbah 5:9
- Pengkhotbah 5:14
- Markus 8:36
- Frankl, Victor. E., Man’s Search for Meaning, 1984, Washington Square Press
- David Aikman (http://www.iamnext.com/spirituality/purpose.html)
- Pratt, Jr, Richard L., Designed for Dignity
- Solomon, Robert C., Existentialism, 2005, Oxford University Press
- Thomson, Garret, On the Meaning of Life, 2003, Wadsworth Publishing
- …, Manusia mendambakan makna hidupnya (buku di perpustakaan GRIIS)
- Ringkasan khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong di Retreat GRII-Singapura 11-13 Mei 2006 dan khotbah hari Minggu: “Manusia sebagai Peta Teladan Allah”