Peran Seni dalam Peperangan Budaya

Pendahuluan
Pemuda di dalam Gerakan Reformed Injili tidak jarang mendengar bahwa orang Kristen sedang hidup di dalam peperangan. Kita adalah laskar Kristus dan Kristus adalah Panglima Perang. Dunia adalah medan peperangannya, orang-orang berdosa adalah tawanan yang harus kita menangkan, yang sedang diperalat Iblis. Ajaran seperti ini tidak mengajak gereja untuk mundur ratusan tahun, ketika peperangan kosmik dimengerti sebagai perang salib dan gereja bertugas untuk mencetak prajurit perang salib. Ia juga tidak bermaksud supaya jemaat mendirikan organisasi agama bergaris keras.

Gambaran bahwa orang Kristen hidup di dalam kondisi perang memang banyak kita temukan di dalam Alkitab. Perseteruan antara Allah dan Iblis sudah dikumandangkan sejak awal dan digambarkan dengan kata-kata yang penuh kekerasan: “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya” (Kej. 3:15). Sejak saat itu, umat manusia terbagi menjadi dua kubu yang berseteru, mencerminkan permusuhan yang diikrarkan oleh Allah. Pemisahan itu mulai terlihat pada Kain dan Habel, kemudian memisahkan keturunan Kain dari keturunan Set, Nuh dari orang sezamannya, Abraham dari orang sezamannya, dan Israel dari Mesir dan bangsa kafir lainnya. Tidak hanya demikian, di dalam bangsa Israel sendiri juga terjadi pemisahan antara umat yang setia kepada Tuhan dan yang tidak. Ketika Tuhan Yesus datang ke dunia ini, Dia membuat sebutan baru untuk pemisahan itu, yaitu antara orang-orang yang termasuk “domba-domba-Ku” dengan yang “tidak termasuk domba-domba-Ku” (Yoh. 10). Namun, peperangan seperti apa yang dimaksudkan di sini antara Yesus dan Iblis, antara pengikut Yesus dengan yang bukan pengikut Yesus? Dalam inkarnasinya, Sang Mesias jelas tidak menggunakan pedang. Ini menunjukkan bahwa peperangan utama bukanlah peperangan fisik seperti halnya peperangan antara bangsa Israel dengan bangsa kafir, melainkan peperangan tidak kasat mata antara Yesus dan Iblis. Paulus di dalam suratnya kepada jemaat di Efesus menunjuk kepada peperangan tidak bersifat fisik ini. “Perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara”, tulisnya ketika menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di balik misi penginjilannya (Ef. 6). Gambaran perang dalam perlengkapan-perlengkapan perang yang disebut Paulus selalu ditempelkan atribut rohani untuk menandakan tak terlihatnya perang ini: ikat pinggang kebenaran, baju besi keadilan, sepatu boot kerelaan, perisai iman, helm keselamatan, dan pedang Roh.

Paulus memerlukan perlengkapan-perlengkapan perang tersebut untuk menjalankan mandat dari Tuhan Yesus, yaitu pergi dan menjadikan segala bangsa muridNya. Misinya adalah melawan kuasa kegelapan dan merebut jiwa-jiwa yang sedang ditawan oleh Iblis. Dengan demikian, peran misionaris, penginjil, dan pendeta sudah dipastikan signifikansinya dalam peperangan ini. Namun, bagaimana dengan peran jemaat yang mempunyai panggilan yang lain? Apakah para ekonom, filsuf, guru, dokter, dan seniman Kristen tidak terlibat di dalam peperangan ini?

Tentu saja semua orang yang sudah dipisahkan dari dunia ini terlibat dalam peperangan ini karena mereka masih hidup di dalam dunia ini bersama-sama dengan orang yang belum percaya. Setiap hari, kita berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dengan orang-orang yang termasuk “tawanan” maupun “pengikut” kuasa kegelapan. Sebagai pengikut Kristus, cara kita berhadapan dengan mereka tentu saja bukan dengan menghunus pedang. Kita dapat berinteraksi dengan mereka melalui pemberitaan firman Tuhan secara frontal, langsung, dan eksplisit, seperti yang dilakukan oleh misionaris dan penginjil. Tetapi peperangan tidak selalu bersifat frontal seperti ini. Para musuh Tuhan juga tidak selalu melakukan serangan frontal, langsung, dan eksplisit kepada ajaran dan iman Kristen, seperti yang dilakukan oleh sebagian orang atheis maupun orang lainnya yang berbeda iman kepercayaan. Bahkan yang lebih sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari adalah peperangan yang lebih halus, tidak langsung, dan implisit, yaitu peperangan dalam ranah kebudayaan. Di medan seperti inilah para pengikut Kristus yang tidak dipanggil menjadi misionaris, penginjil, ataupun pendeta, harus lebih banyak berkontribusi. Di sinilah signifikansi mereka: bukan pada peperangan yang frontal, tetapi peperangan yang halus. Dalam artikel ini, saya ingin memfokuskan pembahasan pada peran seniman di dalam peperangan budaya ini. Apa yang dapat dikerjakan oleh seorang seniman Kristen? Apa peran seni di dalam memenangkan peperangan ini? Dalam artikel ini, saya mengusulkan bagaimana seharusnya kita menempatkan seni dalam peperangan budaya.

Permasalahan tentang Fungsi Seni
Ada beberapa hal yang harus diluruskan terlebih dahulu sebelum kita bicara tentang peran seni dalam peperangan rohani. Menggunakan seni dalam perang kosmik dapat menimbulkan kesan mereduksi seni menjadi sekedar instrumen, dan beberapa pihak berkeberatan dengan pandangan demikian. Meskipun ada beberapa filsuf, misalnya Nietzsche, Satre, dan Camus yang menggunakan novel untuk mengutarakan ide mereka, seniman tetaplah berbeda dengan filsuf. Terlepas dari kemampuannya untuk menyampaikan sebuah pesan, novel secara hakiki tidak semata-mata tentang pesan dalam bentuk proposisi. Jika sebuah karya seni dibuat hanya untuk menyatakan sebuah proposisi, mengapa tidak langsung menulis buku filsafat saja?

Selain bukan sebagai instrumen penyampai proposisi, seni juga bukan alat propaganda politik. Para sastrawan Romantik cepat tersinggung dengan hal ini. John Keats, seorang penyair Romantik Inggris, mengatakan dia tidak percaya kepada sastra yang punya agenda tertentu terhadap pembacanya. Matthew Arnold menulis bahwa sastra harus bersifat “disinterested”, tidak ditunggangi oleh kepentingan politik dan propaganda (Berry, 1995). Mazhab art for art’s sake berpendapat bahwa seni adalah untuk seni itu sendiri, bukan sebagai kedok untuk mencapai tujuan lain, seperti pencapaian ekonomi, jabatan, politik kekuasaan, dan sebagainya.

Menggunakan seni dengan agenda tertentu bukan hal yang baru. Dua rezim yang bermusuhan, fasis dan komunis, juga menggunakan seni dalam konteks peperangan. Kedua pemerintah ini mempunyai kepentingan yang sangat besar atas seni. Bagi Hitler, seni adalah salah satu bidang yang paling penting dalam kehidupan bernegara. Dia mendorong anggota partainya sendiri untuk memprioritaskan program seni daripada program-program lainnya, seperti pengentasan kemiskinan dan masalah sosial lainnya. “Can we allow ourselves to sacrifice for art at a time when there is so much poverty, want, misery, and despair everywhere around us? … Yes, we can and should,” seru Hitler (Groys, 2008, 133).

Seni dalam negara fasis adalah seni yang dikendalikan oleh pemerintah, mungkin melalui Departemen Propaganda-nya. Hitler mengatakan misi seni adalah untuk menimbulkan fanatisme dari rakyat. Kreatifitas seniman harus melayani ideologi negara yang menjunjung tinggi ras Jerman. Hitler menentang teori-teori tentang seni dan karya seni harus didekati apa adanya, tanpa ada asumsi-asumsi teoritis tertentu. Mengerti sebuah karya seni tanpa belajar teori seni adalah mungkin, asalkan orang yang mengamati seni tersebut adalah murni dari ras Jerman. Seni yang dihasilkan oleh seniman Jerman hanya dapat dinikmati oleh ras Jerman juga.[1] Seniman mendapat tugas untuk menghasilkan karya seni yang ditujukan untuk generasi yang akan datang. Seni memberikan pengajaran yang tidak dapat diberikan oleh pendidikan karena seni bersifat keluar dari dalam diri dan karena itu hanya dapat dipahami oleh orang yang mempunyai substansi ras yang sama. Groys (2008) melanjutkan penjelasannya,

For Hitler, true art consists in revealing the heroic race, the heroic body, and bringing it to power. This art, of course, is possible only for those who are themselves by nature heroically endowed, for this kind of true art is itself a heroic mission. (133)

Di sisi lain, negara Soviet yang Marxis melalui Komite Pusat yang mengatur tentang kebijakan pembuatan seni dan propaganda melalui seni mewajibkan seni dalam negara tersebut beraliran Realisme Sosialis: Realisme di dalam bentuk dan Sosialis dalam hal isi. Bagi Stalin, realisme harus dibedakan dari ‘naturalisme’ yang berarti menyampaikan kenyataan apa adanya, seolah-olah tanpa interpretasi. Realisme yang dimaksudkan di sini menyatakan apa adanya sebuah pergerakan sejarah yang sudah diinterpretasi dengan teori evolusi sosial Marxis. Sementara itu, kata Sosialis menggambarkan gaya hidup dan struktur sosial yang dicita-citakan oleh Soviet. Dengan demikian, seni Realisme Sosialis banyak memotret kaum proletar yang bermoral tinggi, yang bersatu hati bekerja keras untuk membangun negara utopia mereka. Meskipun keadaan utopis itu belum tercapai oleh Soviet, Realisme Sosialis menyatakan sebuah pergerakan sejarah ke arah keadaan yang dinanti-nantikan Soviet. Ia memberi gambaran mengenai ke arah seperti apa negara Soviet harus menuju (Groys, 2008).

Pemolitikan seni seperti yang terjadi dalam kedua rezim tersebut tentu saja tidak menyenangkan bagi banyak seniman. Ditunggangi oleh penguasa totaliter, seni mengalami pemiskinan karena proposisi penguasa harus tampak terang benderang. Tema yang dapat dipilih sangat terbatas. Seni di bawah Hitler adalah seni narsistik dan penjilat. Seni di bawah Stalin menjadi seni pemimpi yang seragam dan membosankan. Dalam konteks penyalahgunaan ini, seruan para seniman Romantik memang beralasan. Kita harus memperlakukan seni sesuai dengan hakikatnya yang paling mendasar. Ironisnya, ketika seni hanya menjadi sebuah instrumen, seni kehilangan jiwanya, semangatnya, dan karena itu, kekuatan utamanya.

Jika demikian, masih dapatkah kita berbicara tentang peran seni di dalam peperangan budaya? Dalam hal ini, saya ingin menjawab seperti Hitler, “Yes, we can and should!”, dengan syarat kita memahami peran seni dalam masyarakat, yang akan coba saya lakukan di bagian berikutnya.

Nilai Seni bagi Masyarakat
Dalam bukunya Philosophy of the Arts, Gordon Graham (2005) menghindari penjelasan tentang seni dengan definisi filosofis, karena ternyata penjelasan dengan jalan demikian selalu gagal dan mentok dengan kebuntuan. Sepertinya seni terlalu transenden bagi definisi filosofis, sehingga definisi-definisi yang pernah dibuat selalu hanya berhasil menyentuh sekeping bagian dalam ranah kesenian. Oleh sebab itu, Graham memfokuskan penelitiannya pada nilai seni bagi kehidupan sebuah peradaban.

Dia menyandingkan seni dengan empat ranah yang sangat penting artinya bagi manusia dan sering digunakan untuk menjelaskan nilai seni: pemberi kesenangan (pleasure), ekspresi perasaan, keindahan, dan pemahaman (understanding). Graham akhirnya menyimpulkan bahwa meskipun seni sering kali dapat menjadi sumber kesenangan, wadah pengekspresi perasaan, dan tempat kita dapat menemukan keindahan, ketiga hal ini tidak dapat sepenuhnya menjelaskan karakteristik seni. Tidak dapat disangkali bahwa ada juga karya-karya seni yang tidak memberikan kesenangan (malah mendatangkan kesedihan), tidak dimulai dengan tujuan ingin mengespkresikan emosi, dan bukan menyatakan keindahan dunia ini, tetapi sisi jelek kehidupan. Saya setuju dengan Graham bahwa hal ini mengarahkan kita kepada pilihan terakhir, dan menyimpulkan bahwa fungsi seni yang paling utama ialah sebagai sumber pemahaman yang signifikan bagi manusia.

Seni berdiri sejajar dengan ilmu alam, sejarah, filsafat, dan ilmu lainnya. Masing-masing bidang ini mempunyai moda yang berbeda dalam memberikan pemahaman. Graham (2005) menjelaskan, “works of art do not expound theories or consist in summaries of facts. They take the form of imaginative creations that can be brought to everday experience as a way of ordering and illuminating it” (74). Dengan demikian, kita mengerti mengapa seniman penting kedudukannya dalam sejarah, dan mengapa seniman dapat memengaruhi zaman. (Saya dulu tidak mengerti mengapa seniman dapat masuk ke dalam hitungan seratus orang yang paling berpengaruh sepanjang zaman dalam buku Michael H. Hart, bersamaan dengan pendiri agama, ilmuwan-penemu, penguasa, dan tokoh besar lainnya.) Ini juga menjelaskan mengapa seniman tidak lebih rendah daripada ilmuwan, dan mengapa penulisan Hamlet, penggubahan Messiah,atau pelukisan Mona Lisa adalah momen-momen yang sama besarnya dengan penemuan teori gravitasi atau relativitas dalam Fisika.

Seni dan Peperangan Budaya
Pemahaman seni yang demikian tentu memperluas signifikansi seni di luar apa yang pernah terpikirkan oleh para seniman Romantik, yang seringkali hanya melihat seni sebagai ajang ekspresi jiwa dan keindahan. Karena seni memberikan pemahaman atas hidup manusia dan hakikat dunia melalui pekerjaan imajinasi, ia tidak bebas dari pandangan dan kepentingan. Kita tidak dapat menuntut seni agar menjadi disinterested, seperti yang diinginkan oleh Arnold. Namun, bukan berarti kita setuju dengan apa yang dilakukan oleh Hitler dan Stalin terhadap seni. Pertama, karena mereka memaksa seni untuk memberikan pemahaman yang salah atas kehidupan. Kedua, mereka membunuh kreativitas dan imajinasi, yang justru adalah nafas seni yang membedakan seni dari sumber pengetahuan yang lain.

Dalam konteks zaman ini, orang Kristen sudah tidak lagi berhadapan dengan seni di bawah Hitler atau Stalin, meskipun seni fasis dan Marxis dapat saja muncul kembali dengan wajah lain. Pengikut Kristus hari ini berhadapan dengan ragam kebudayaan dunia, yang menawan hati, persuasif, dan menggiurkan, yang seringkali menarik kita bukan dengan konfrontasi dalam bahasa yang frontal, langsung, dan eksplisit, tetapi melalui seni yang imajinatif. Seringkali, kita dibuat setuju dengan sebuah pandangan tanpa kita sadari dan akui secara eksplisit. Karena alasan inilah saya mendorong seniman Kristen agar mengambil bagian di dalam peperangan budaya ini. Perseteruan kosmik itu masih berlangsung. Meskipun Kristus sudah memenangkan peperangan itu di atas kayu salib, perang belum dikonklusikan secara final.

Seniman Kristen harus berhati-hati agar tidak memiskinkan seni, dan menggunakan seni hanya sebagai instrumen propaganda ajaran agama Kristen. Seni bekerja paling baik ketika paling imajinatif: tidak langsung dan frontal, tetapi halus. Tugas seniman Kristen adalah menguras imajinasi mereka untuk menyampaikan pandangan dunia Kristen. Justru hanya pandangan dunia Kristen yang memberikan kemungkinan paling banyak dan tinggi untuk dieksplorasi oleh imajinasi para seniman, karena pandangan dunia Kristen memberikan pemahaman yang paling lengkap atas hidup manusia dan dunianya. Pandangan dunia manakah yang lebih lengkap dari grand narrative penciptaan, kejatuhan, penebusan, dan konsumasi?[2] Pemahaman atas hidup, menurut kekayaan yang diinspirasikan oleh Alkitab, memberikan ruang gerak yang bebas bagi seniman untuk memilih tema karya mereka: keagungan, kesucian, kesabaran, kemarahan, keadilan, dan kasih dari Tuhan; kehebatan, kemuliaan, kecantikan, tetapi juga iri hati, dengki, dendam, dan kejelekan lainnya akibat dosa manusia; keindahan dan kesubliman, tetapi juga horor yang diakibatkan oleh alam yang sedang sakit bersalin karena dosa manusia; pengharapan, sukacita, dan kekuatan dari keselamatan oleh Yesus Kristus; dan akhirnya, kemenangan akhir yang akan kita nikmati bersama seluruh umat Tuhan.

Semoga Tuhan berkenan memakai seniman di dalam gereja Tuhan untuk menghasilkan karya-karya yang berkontribusi bagi pemahaman orang dunia atas kehidupan ini. Kiranya momen-momen penciptaan karya seni yang tidak kalah penting dari penemuan teori-teori yang memengaruhi zaman dapat lahir dari tangan seniman Kristen di dalam gereja kita masing-masing. Setelah berdoa demikian, marilah kita kerjakan bagian kita sesuai dengan panggilan yang sudah Tuhan berikan: sebagai pemusik, pelukis, arsitek, fotografer, pemahat, pembuat film, dan sastrawan. Mari menangkan peperangan kita.

Erwan
Redaksi Umum PILLAR

Endnotes

[1] Pandangan Hitler yang anti teori ini pada kenyataannya tidak dapat dijalankan, karena setidaknya orang Jerman harus mengetahui dulu teori bahwa seni Jerman bersifat heroik, yang lahir dari seniman yang heroik, dan dinikmati oleh masyarakat dari ras unggul, yang juga heroik. Sebelum orang Jerman dapat mendekati sebuah karya seni tanpa asumsi teori, mereka sudah dicekoki dengan segudang teori dulu.

[2] Dijelaskan lebih lengkap oleh Francis Schaeffer dalam bukunya Art and the Bible (1973).

Referensi

  • Berry, P. (1995). Beginning Theory: An Introduction to Literary and Cultural Theory. Manchester: Manchester University Press
  • Graham, G. (2005). Philosophy of the Arts: An Introduction to Aesthetics (3rd Ed.). Abingdon: Routledge
  • Groys, B. (2008). Art Power. Cambridge: MIT Press
  • Schaeffer, F. (1975). Art and the Bible. Downers Grove: InterVarsity Press