Dalam beberapa waktu terakhir, penulis (yang saat ini menggeluti studi di bidang matematika) sedang memikirkan mengenai keunikan angka tiga. Terutama ketika membandingkan dengan perspektif matematika mengenai titik, garis, dan bidang. Juga perenungan dari bagian-bagian Alkitab dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kita tahu bahwa dalam Alkitab sepertinya ada angka-angka tertentu yang seolah lebih ‘spesial’, kerap kali muncul, dan memiliki makna khusus. Misalkan saja angka satu, dua, tiga, empat, tujuh, sepuluh, dua belas, dan empat puluh. Artikel ini tidak bertujuan untuk mengeramatkan angka-angka tertentu, apalagi sampai jatuh ke dalam mistisisme yang tidak berdasar. Ataupun mengaitkan secara kasar atau paksa tentang angka tiga dengan doktrin atau pengertian tertentu. Atau menafsirkan Alkitab sebagai kode-kode sandi yang perlu dipecahkan dan dicari arti yang terselubung.
Angka Tiga dalam Alkitab
Dalam bagian ini penulis akan memaparkan sedikit bagian-bagian Alkitab yang terkait dengan angka 3. Yang paling pertama, Allah yang kita percaya adalah Allah Tritunggal. Allah yang pada diri-Nya realitas, Allah yang hidup, dan sudah ada sebelum segala sesuatu ada. Allah Tritunggal adalah Allah yang memiliki 3 Pribadi dan 1 Esensi. Tidak pernah dinyatakan bahwa Allah hanya memiliki dua, empat, atau lima Pribadi. Allah yang kita percaya mutlak memiliki 3 Pribadi, tidak kurang dan tidak lebih. Di bagian lain, ketika Yesaya mendapatkan penglihatan, dia mendengar para Serafim berkata kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam (Yes. 6:3). Perhatikan kata kudus diucapkan 3 kali. Bukan 1 kali, 9 kali, 15 kali, ataupun 20 kali. Di dalam Perjanjian Baru, Paulus pernah mendapatkan penglihatan mengenai orang yang diangkat ke tingkat yang ketiga dari sorga (2Kor. 12:2). Sebenarnya ini adalah gaya bahasa Paulus dalam surat kepada jemaat Korintus. Sangat mungkin bahwa sebenarnya Paulus sedang membicarakan mengenai dirinya sendiri. Di dalam pengalaman ini, angka 3 kembali muncul (langit tingkap ketiga). Di dalam pemaparannya dalam SPIK mengenai Allah Tritunggal, dijelaskan bahwa angka 3 adalah angka Tuhan atau ilahi.
Titik-Garis-Bidang
Setelah melihat beberapa contoh dalam bagian-bagian Alkitab, sekarang kita akan merenungkan angka 3 dari perspektif matematika. Secara lebih spesifik, penulis akan melakukan observasi dari perspektif geometri mengenai titik, garis, dan bidang. Tentunya dalam melakukan observasi yang bersifat umum (misalnya mengenai alam ciptaan), kita juga masih dapat mengenal Allah dalam batasan-batasan tertentu. Kita tidak mengatakan bahwa Allah bersifat sama seperti ciptaan yang kita observasi (mereduksi Allah dalam level ciptaan). Tetapi justru sebaliknya, kita bisa melihat kebesaran Allah melalui hasil karya-Nya, yakni dunia ciptaan. Dalam Theologi Reformed, kita mengerti bahwa Allah memberikan wahyu-Nya secara umum (general revelation) kepada semua orang. Misalkan saja melalui alam ciptaan dan hati nurani. Memang dalam dunia yang sudah jatuh ini, reaksi manusia terhadap wahyu umum bisa salah dan bisa betul. Ambil contoh ada dua orang yang melakukan penelitian dalam bidang yang sama. Yang satu akhirnya menyimpulkan bahwa Allah itu tidak ada, sedangkan yang satu malah semakin bersyukur, mengagumi, dan menyembah Allah Sang Pencipta dan Pemelihara. Melalui perspektif ini, penulis berharap agar kita bisa semakin mengenal Allah melalui perenungan-perenungan dalam bidang matematika.
Sebelum kita membahas lebih lanjut, kita akan menyepakati definisi beberapa hal dari perspektif matematika. Suatu titik dimengerti sebagai posisi dalam suatu bidang. Jadi titik bukanlah objek yang memiliki ketebalan atau diameter tertentu. Seberapa jauh kita memperbesar, titik tidaklah memiliki lebar (nol dimensi). Sedangkan suatu garis bersifat lurus, juga tidak memiliki lebar, dan bisa diperpanjangkan dalam dua arah sampai tidak terhingga (satu dimensi). Suatu bidang adalah permukaan datar yang juga bisa diperbesar sampai tidak terhingga (dua dimensi). Sekarang mari kita sama-sama bayangkan. Misalkan kita mempunyai sebuah bidang yang tidak terbatas luasnya. Berapa garis minimum yang dibutuhkan untuk membuat sebuah region yang terbatas dari bidang itu? Satu? Lima? Jawabannya adalah 3! Jika kita hanya menggunakan 1 garis, maka bidang tersebut akan terbagi menjadi 2 region yang luasnya tidak terbatas. Jika kita menggunakan 2 garis, maka bidang tersebut akan terbagi menjadi 3 region (jika kedua garis sejajar) atau 4 region (jika kedua garis berpotongan) dengan masing-masing region mempunyai luas yang tidak terbatas juga. Apa yang terjadi dengan 3 garis? Dengan tiga garis kita sudah mungkin membentuk sebuah segitiga yang luasnya terbatas dengan menggunakan 3 buah
garis tersebut.
Realitas Diri Allah
Lalu apa hubungan hal ini dengan Allah? Dengan perenungan mengenai titik, garis, bidang, dan diperlukan sedikitnya tiga garis untuk membentuk satu bidang segitiga, kita bisa melakukan sedikit perenungan mengenai ketidakterbatasan dan keterbatasan. Pada awalnya, garis memiliki panjang yang tidak terbatas dan bidang juga bisa diperbesar sampai tidak terbatas. Tetapi ketika ada 3 garis yang saling membatasi, ternyata bisa terbentuk satu bidang baru, yakni segitiga. Dalam pengertian Allah Tritunggal, Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus adalah Allah. Tetapi ketiga Pribadi tersebut saling membatasi dan sekaligus memiliki kesempurnaan relasi yang begitu harmonis. Ketiga Pribadi memiliki ordo yang jelas dan tidak melakukan sesuatu semau sendiri. Dalam relasi dan tindakan yang terkait dengan dunia ciptaan, kita dapat melihat peranan masing-masing Pribadi dengan lebih jelas. Misalkan saja dalam rencana keselamatan. Proses inkarnasi Kristus tidak hanya melibatkan Allah Anak saja. Proses inkarnasi juga merupakan peran Allah Bapa dan juga Allah Roh Kudus. Allah Bapa mengutus Allah Anak ke dalam dunia (beberapa kali Yesus mengklaim diri-Nya diutus oleh Bapa) dan Allah Roh Kudus turun ke atas Maria sehingga dia bisa mengandung (Luk. 1:35). Di sini kita melihat bahwa tiga Pribadi dari Allah Tritunggal terlibat secara langsung di dalam proses inkarnasi ini dan masing-masing memiliki peranan yang khusus (baca: terbatas). Proses inkarnasi tidak bisa berjalan jika ada Pribadi dari Allah Tritunggal yang tidak mau terlibat atau masing-masing memiliki kehendak yang berbeda.
Selain itu, mungkin pernah ada dari kita yang pernah menanyakan pertanyaan konyol ini. Kenapa Pribadi Allah harus tiga? Kenapa tidak empat, sepuluh, dua puluh, dan seterusnya? Kenapa sepertinya angka tiga yang “dipilih” untuk merefleksikan realitas diri Allah? Tentu jawaban yang singkat adalah Allah adalah pada diri-Nya realitas, sumber keberadaan, pada diri-Nya kebenaran, dan Ia rela memberikan wahyu kepada manusia supaya manusia bisa mengenal Dia. Sungguh kurang ajar kalau akhirnya kita tidak percaya, berspekulasi, dan bahkan mempertanyakan wahyu yang sudah Allah berikan. Melalui realitas diri Allah, manusia yang dicipta sebagai peta dan teladan Allah memiliki kemungkinan untuk mengerti mengenai angka satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya. Kemudian dari sana bisa mengembangkan konsep penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, sampai nantinya kepada aljabar, trigonometri, kalkulus, dan lain-lain. Dr. Vern Poythress mengatakan bahwa Tuhan sendiri memiliki sifat yang numerik. Allah kita memiliki 3 Pribadi dan 1 Esensi. Angka yang berada memberikan indikasi bahwa Allah memiliki natur yang numerik. Di sini kita bisa melihat bahwa Tuhan juga menyatakan diri-Nya dan pekerjaan-Nya melalui matematika.
Jika demikian, bolehkah angka-angka lain “protes” karena angka satu dan tiga yang merefleksikan kebenaran Allah Tritunggal? Tentu tidak. Pertanyaan ini sebetulnya aneh dan konyol. Tetapi apa boleh buat, kadang-kadang (atau bahkan sering kali) kita juga suka berlaku konyol seperti ini. Kita suka bertanya, kenapa Tuhan memilih umat-Nya dari bangsa tertentu dan bukan bangsa-bangsa lain? Bukankah itu merupakan suatu ketidakadilan untuk orang-orang lain yang tidak dipilih oleh Tuhan? Bukankah kalau Tuhan bisa memilih saya maka Tuhan juga bisa memilih dia? Di sini kita bisa melihat kemiripan antara pertanyaan yang diajukan untuk menentang predestinasi dengan pertanyaan yang saya ajukan tentang “pemilihan” angka 3.
Penutup
Tuhan menyatakan diri-Nya melalui wahyu umum dan wahyu khusus. Akan tetapi, kita sebagai manusia yang sudah tercemar oleh dosa tidak mungkin bisa mengenal Dia dengan tepat sebelum kita ditebus oleh darah-Nya dan dibebaskan dari kuasa dosa. Dengan kata lain, dalam konteks dunia yang sudah jatuh dalam dosa, kita tidak mungkin mengerti wahyu umum dengan benar kalau tidak ada wahyu khusus yang menerangi. Oleh karena itu adalah suatu kesalahan besar jika kita mengatakan tidak perlu membaca Alkitab, tidak perlu berdoa, tidak perlu bersekutu dengan Tuhan, dan sebaliknya menganggap belajar apa yang diajarkan di sekolah dan jalan-jalan menikmati atau observasi alam sekitar saja sudah cukup membuat kita mengenal Tuhan dan kebenaran yang ditanamkan-Nya di dunia ini. Melalui wahyu umum, kita hanya bisa mengenal Tuhan dalam batasan tatanan wahyu umum dari perspektif kita sebagai manusia berdosa. Kita tidak bisa mengenal mengenai Allah yang inkarnasi, melayani di dunia, mati di kayu salib, bangkit, naik ke sorga, dan akan datang kembali untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Sebaliknya, untuk bisa memiliki pengenalan yang tepat akan Tuhan melalui wahyu umum, kita sangat membutuhkan wahyu khusus. Maka sebagai seorang ilmuwan atau intelektual, sangatlah diperlukan pengertian Alkitab yang tajam dan akurat untuk bisa melihat wahyu umum dengan benar. Dengan pengertian akan wahyu khusus sebagai prinsip dasar kita mengenal Allah, diri, dan alam ciptaan lainnya, kita yang telah ditebus dimampukan menafsirkan wahyu umum dari kacamata Sang Pencipta, dan bukan lagi dari kacamata diri kita yang berdosa ini. Kiranya kita bisa semakin mengenal Tuhan melalui persekutuan kita pribadi dengan Tuhan dan dari situ kita bisa lebih mengenal Tuhan melalui bidang-bidang yang sudah dipercayakan oleh Tuhan kepada kita.
Jerry Hermanto
Pemuda GRII Singapura