Setelah pembahasan PILLAR tentang sejarah Gereja yang dimulai dari early church, pre-Reformation (medieval era), Reformation era, saat ini kita berada dalam era post-Reformation. Bapa-bapa Gereja yang kita kenal sebagai orang-orang yang bergumul dengan firman Tuhan telah hidup dalam beragam konteks penindasan saat itu. Demikian juga Reformasi mempunyai latar belakang dan konteksnya sendiri yang Tuhan pakai sampai akhirnya Reformasi menjadi suatu ledakan yang tak terbendung. Lalu, bagaimana dengan era post-Reformation?
Waktu terus menguburkan hamba-hamba-Nya, Ulrich Zwingli meninggal pada 11 Oktober 1531, Martin Luther meninggal pada 18 Februari 1546, John Calvin meninggal pada 27 Mei 1564, dan tokoh-tokoh Reformator lainnya satu per satu meninggal. Setelah itu bangkitlah satu era yang baru, yang dikenal sebagai masa pasca-Reformasi atau post-Reformation era. Post-Reformation dimulai sekitar tahun 1580 hingga awal 1800-an[1] dan sampai hari ini.
Suatu era yang baru berarti suatu kelas baru dengan konteks peperangan yang baru, dalam rencana Tuhan yang kekal untuk membentuk Gereja-Nya supaya bertumbuh semakin memuliakan Tuhan. Pada awal masa ini, terjadi beberapa hal yang Tuhan pakai untuk menjadi kekuatan baru yang mendorong majunya Gereja sampai hari ini. Pertama, Westminster Catechism di-draft pada tahun 1647; kedua, Alkitab KJV alias King James Version diterbitkan pada tahun 1611; ketiga, para Puritan mulai dikenal, dimulai dari William Perkins, William Ames, dan John Owen, yang hidup dan berkembang di Inggris, Skotlandia, dan Irlandia; keempat, John Bunyan merilis buku-bukunya, salah satu yang terpenting berjudul Pilgrim’s Progress; kelima, Wesley (John dan Charles) bersaudara dibangkitkan Tuhan sebagai pengkhotbah KKR dan penulis himne terbaik sepanjang masa; keenam, Tuhan membangkitkan para revivalist besar seperti Jonathan Edwards – salah satu American Great Revivalist yang hidup pada tahun 1700-an, dan George Whitefield – pendeta besar di gereja Inggris yang memimpin gerakan Methodist bersama John Wesley. Pada artikel ini saya bukan ingin membawa informasi tentang orang-orang besar yang exist pada masa itu, namun saya ingin mengajak kita untuk kembali merefleksikan hidup kita sehari-hari dengan identitas yang jelas dan semangat yang berkobar-kobar meneruskan sejarah Gereja sampai pada zaman yang akan datang.
Kehidupan Jonathan Edwards[2]
Ia adalah anak kelima dari sebelas bersaudara, dan satu-satunya anak laki-laki di antara saudara-saudaranya. Sejak muda ia belajar Alkitab, katekismus, dan warisan yang kaya dari iman Puritan dan Reformed dari ayah dan ibunya. Ayahnya, Timothy Edwards adalah seorang pendeta dan ibunya Esther Stoddard adalah seorang yang gemar membaca dan sangat mencintai buku-bukunya. Jonathan Edwards sejak kecil mengikuti KKR yang dipimpin ayahnya, serta belajar dan dipersiapkan untuk college di bawah didikan ayahnya dan kakak-kakak perempuannya.
Tahun 1716 Jonathan Edwards didaftarkan sebagai calon mahasiswa Collegiate School di Connecticut yang baru berdiri yang nantinya menjadi Yale University. Dalam sarjana mudanya, dia mempelajari kesusastraan, penguasaan tata bahasa, retorika, logika, sejarah kuno, aritmetika, geometri, metafisika, etika, ilmu alam, dan astronomi. Untuk mempelajari Alkitab lebih dalam lagi, Edwards belajar bahasa Yunani dan Ibrani agar dapat membaca teks Alkitab asli, serta mengambil mata kuliah theologi.
Sejak muda Edwards melihat hal-hal secara berbeda, ia melihat karya Newton dan John Locke lebih tajam dari anak-anak yang lain. Ia melihat topangan Allah yang besar atas ciptaan-Nya melalui karangan-karangan Newton. Pada tahun 1721, Jonathan Edwards bertobat pada usia yang relatif dewasa, setelah sekian lama diperhadapkan kepada Injil. Banyak orang heran dalam pertobatannya pada masa itu. Suatu pertobatan pada zaman itu sering diragukan sebagai kemunafikan seseorang dan penipuan diri. Setelah Edwards bertobat, ia seperti dibukakan sense of divine things dalam melihat segala hal. Ia semakin mencintai ciptaan Tuhan, sering mengontemplasikan Penebusnya saat melihat bintang-bintang di langit dan awan-awan putih yang bergerak di langit biru yang cerah. Injil menjadi satu-satunya harta yang paling berharga dalam hidupnya dan penebusan Kristus menjadi yang terindah dan paling mulia.
Jonathan Edwards semasa hidupnya bukan hanya berkhotbah, ia juga banyak menulis karya lain termasuk tulisan resolusi atau ketetapan hati seseorang. Ia menulis 70 resolusi untuk menuntun hidup seseorang untuk bergantung pada penopangan Tuhan. Bagaimana Edwards hidup begitu teratur dan penuh dengan ketetapan hati? Ia menyatakan bahwa resolusi yang ia buat selama bertahun-tahun haruslah dibaca daftar isinya seminggu sekali untuk mengingatkan dirinya. Setiap hari ketika dia sedang menunggang kuda, Edwards memunculkan ide-ide di otaknya. Saat cuaca cerah dan hangat, ia selalu mempersiapkan tinta dan kertas untuk berhenti sejenak di padang rumput dan menuliskan beberapa baris kalimat. Seluruh hidup Jonathan Edwards menyatakan apa yang ia rindukan dan cintai, hidupnya penuh dengan pekerjaannya dan pikirannya yang tidak terhentikan.
Banyak sekali yang kita bisa pelajari dari kehidupan sehari-hari Jonathan Edwards, sang revivalist besar Amerika. Ia bukan hanya seorang pendeta besar, ia juga adalah seorang suami dan ayah yang mencintai Tuhan. Ia tidak capai-capainya keliling Massachusetts untuk berkhotbah – pelayanannya banyak dan padat sekali. Tulisan khotbahnya telah diterbitkan oleh Yale University sebanyak 26 volume, yang sebenarnya masih banyak draft yang belum terselesaikan oleh Edwards.
Refleksi
Kita sebagai orang-orang yang sudah ditebus oleh Tuhan, dan yang sudah menyaksikan karya Tuhan yang begitu besar dan mulia dalam hidup kita, apakah kita sudah merenungkan hidup kita sehari-hari? Bagaimana hidup kita sungguh-sungguh menyatakan cinta kita kepada Tuhan? Bagaimana kita mempersiapkan diri untuk dipakai oleh Tuhan? Bagaimana hidup kita bisa menjadi berkat dan saksi Tuhan di dunia ini? Hari demi hari sangat mudah lewat begitu saja, tanpa kita sadari apa yang sedang kita lakukan… Lihatlah ke langit! Lihatlah bintang-bintang dan awan-awan di angkasa! Hidup manusia begitu singkat, firman Tuhan berkata:
“All people are like grass, and all their glory is like the flowers of the field; the grass withers and the flowers fall, but the word of the Lord endures forever.” (1 Pet. 1:24-25)
Mari mengatur hidup kita, minta pimpinan Tuhan untuk dapat hidup melayani Tuhan dan mencintai Tuhan. Tuhan memimpin Gereja-Nya masa demi masa, periode demi periode, tahun demi tahun, hari demi hari. Mari meneladani orang-orang yang Tuhan pimpin pada zaman-zaman yang lalu, semangat hidup suci dan semangat mencintai Tuhan, seperti Jonathan Edwards dan keluarganya, keluarga yang berani menyerahkan seluruh hidupnya bagi Tuhan dan pekerjaan-Nya. Keturunan kita juga harus mendapat semangat yang sama, kita hidup bukan lagi untuk diri kita, tetapi untuk Tuhan dalam penopangan Tuhan dan anugerah Tuhan. Jadi sekali lagi, apa yang sudah kita kerjakan sampai pada hari ini? Sudahkah kita mengerjakan apa yang Tuhan tuntut kita? Kiranya artikel ini bisa menjadi renungan bagi kita sekalian agar semakin rindu mengasihi Tuhan dan hidup lebih bergairah melayani Tuhan. Amin.
Adelina Arif
Pemudi FIRES
Endnotes:
[1] http://www.christianhistoryinstitute.org/study/era/post-reformation/.
[2] Nichols J. Stephen, Jonathan Edwards, Penuntun ke dalam Kehidupan dan Pemikirannya (Surabaya: Penerbit Momentum), 2009.