Progressive Sanctification: Mengubah atau Berubah?

“Tuhan tidak terlalu tertarik untuk mengubah keadaanmu saat ini, Tuhan jauh lebih tertarik untuk mengubah kamu lewat keadaan yang kamu hadapi.” Demikianlah ucapan bapak asrama Institut Reformed, Pdt. Rudy Pranoto, dalam suatu pembicaraan dengan saya.

Sewaktu kita berbicara mengenai proses pengudusan/sanctification, implikasi yang langsung sangat jelas adalah adanya perubahan. Tema-tema dalam progressive sanctification seperti sanctification of emotion misalnya mengindikasikan adanya perubahan dari emosi manusia lama kepada manusia baru. Jadi apa/siapakah yang berubah? Gampang sekali kita menjawab, kitalah yang berubah. Namun apakah benar demikian kehidupan kita? Apakah kita adalah orang-orang yang sungguh menyadari bahwa fokus proses pengudusan adalah di dalam diri kita dan bukan terhadap lingkungan kita? Jikalau kita menghadapi suatu situasi yang kondisinya bertabrakan dengan kehendak diri kita, yang manakah yang kita perjuangkan untuk berubah? Diri kita atau lingkungan kita? Mengubah atau berubah? Apa pola pikir yang berada di balik kedua pilihan tersebut?

Ada suatu film tahun 80-an yang cukup terkenal, berjudul “The Gods Must Be Crazy”. Jika ada yang pernah menontonnya mungkin akan mengingatnya sebagai film humor yang menceritakan mengenai petualangan seorang bushmen yang belum tersentuh “peradaban” modern di gurun Kalahari di Afrika, yang bertemu dengan berbagai manusia “beradab” yang karena satu dan lain hal berada dalam gurun tersebut, sehingga berbagai peristiwa yang menggelikan terjadi. Namun mungkin tidak banyak yang mengingat inti film tersebut, yaitu penyuguhan suatu kontras antara dua cara hidup manusia: di satu sisi film ini menceritakan bagaimana para bushmen hidup di gurun Kalahari, yang praktis tidak mempunyai air. Bagaimana mungkin bisa hidup di tengah gurun seperti itu? Inilah gaya hidup yang pertama: manusia yang beradaptasi terhadap lingkungannya. Mereka mengetahui ada beberapa akar tanaman yang terkubur di tanah bisa digali dan ketika dipatahkan lalu diperas dapat menghasilkan seteguk air. Kelihatannya tidak banyak, namun toh cukup untuk menghidupi puluhan keluarga yang hidup di gurun tersebut.

Lalu film tersebut menghadirkan gaya hidup manusia yang kedua yang sama sekali berbeda, kendati hanya berbeda jarak beberapa ratus kilometer saja. Inilah gaya hidup di kota metropolitan, di mana manusia mengadaptasikan lingkungannya terhadap diri. Mereka sudah biasa minum air secara limpah, ketika mereka pergi ke gurun untuk segala macam tujuan mereka akan membawa tangki persediaan air yang sangat besar, sehingga keluar-masuknya mereka dari gurun tergantung dari dan dibatasi oleh sisa persediaan air tersebut. Dalam contoh film di atas, menurut anda siapakah yang berhasil menaklukkan alam? Orang bushmen yang kegiatannya tidak terhalang dengan keadaan, atau orang kota yang kegiatannya hanya terbatas sumber air yang ia bawa?

Seringkali kita berpikir, jika A berhasil mengadaptasikan B kepada A, maka A lebih tinggi dari B. Contoh yang mudah adalah sepasang suami-istri yang sedang berantem. Setelah bertengkar, biasanya jika tidak ada resolusi maka keduanya saling mendiamkan, karena walaupun kedua pihak menghendaki rekonsiliasi (konteksnya tentu sepasang suami-istri yang saling mengasihi) keduanya juga beranggapan pihak yang pertama datang menawarkan rekonsiliasi adalah pihak yang “kalah”, karena ia adalah pihak yang berubah, bukan yang mengubah. Tapi ketika salah satu pihak akhirnya datang meminta maaf akan bagian kesalahannya dan menawarkan rekonsiliasi, in a sense mengubah dirinya terhadap keadaan, menurut saudara, siapakah yang lebih “menang”?

Sekarang saudara-saudara akan saya bawa satu tingkat lagi. Dilihat secara proses sejarah, berubah (mengubah diri) dan bukan mengubah keadaan terhadap diri adalah sifat Allah sendiri, Allah yang kita tahu berdaulat atas segala sesuatu! Dalam rencana keselamatan dari Allah, apakah Allah menyelamatkan dengan cara wes ewes ewes bablas angine, lalu Kejadian 3 dihapuskan dari muka bumi? Justru, rencana keselamatan dari Allah bukanlah bagaimana Allah mencoba untuk mengubah keadaan kejatuhan manusia per se, melainkan suatu kisah bagaimana Ia justru “mengubah” Diri-Nya dengan rela turun inkarnasi menjadi manusia dan mengalami segala penghimpitan kebebasan yang berklimaks dalam teriakan: “Eli Eli lama sabakhtani!” Filipi 2 mencatat proses “perubahan” ini: (1) Tidak mempertahankan kesetaraan dengan Allah, (2) mengosongkan Diri, (3) mengambil rupa seorang Hamba, (4) menjadi sama dengan Manusia, (5) merendahkan Diri, (6) taat sampai mati, (7) mati di atas kayu salib.

Adakah satu hal saja di mana Kristus berusaha mengubah keadaan terhadap Diri-Nya? Dan justru hal ini menyatakan kedaulatan-Nya yang tertinggi di atas segala sesuatu, sehingga hanya kepada Dia saja segala lutut akan bertelut. Allah yang berdaulat bukanlah Allah yang menyelesaikan segala problema dengan mengubah keadaan. Di dalam video games hal ini dinamakan cheat. Anda sulit mengalahkan monster tertentu? Masukkan kode ini dan nyawa karakter anda tidak akan habis-habis. Inilah pembuktian manusia sudah jatuh bahkan di bawah level ciptaannya sendiri. Jikalau Tuhan juga demikian, maka Tuhan juga sudah jatuh di bawah ciptaan-Nya, Ia yang absolut sudah menjadi relatif. Tapi Tuhan yang kita sembah justru dengan ajaib membuktikan kedaulatan-Nya atas ciptaan-Nya, dengan cara mengubah Diri-Nya, dan justru dengan cara inilah Ia dengan sungguh-sungguh akhirnya mengubah seluruh realitas dunia ciptaan-Nya: musuh-Nya dijadikan-Nya anak-anak-Nya!

Lalu, apakah hal ini berarti kita hanya perlu mengubah diri dan tidak perlu mengubah keadaan? Bukankah kita sebagai orang Kristen dipanggil untuk mengubah zaman, seperti kata Pdt. Dr. Stephen Tong? Bukankah orang Kristen yang tidak mengubah zaman akan terseret zaman? Di sini kita perlu menyelidiki pengertian yang benar di balik kalimat tersebut. Apa arti mengubah zaman di sini? Atau pertanyaan yang perlu ditanyakan terlebih dulu adalah, mampukah manusia mengubah zaman? Jangankan itu, apakah kita bahkan mampu mengubah diri? Apakah manusia mempunyai kapasitas untuk melakukan apapun di atas dunia ini? Contoh rencana keselamatan di atas adalah contoh Tuhan dalam relasi-Nya dengan dunia ciptaan, dan transendensi Allah di atas dunia ciptaan-Nya yang memastikan adanya kapasitas Sang Pencipta untuk memperlakukan ciptaan-Nya sekehendak-Nya (meskipun kita percaya Kristus juga adalah 100% manusia). Apakah kita mempunyai kapasitas demikian? Kita adalah ciptaan yang jatuh di dalam dunia ciptaan, punya kuasa apakah kita? H. Richard Niebuhr pernah memberikan suatu gambaran ketidakberdayaan manusia terhadap keadaannya: Saya hidup, namun kekuatan yang melanjutkan hidup saya bukan di bawah kontrol saya. Saya dapat mati setiap saat, saya dapat membunuh diri, namun saya juga tidak mempunyai kekuatan untuk menghentikan eksistensi saya. Siapa yang tahu secara pasti bahwa sewaktu tubuh saya mati maka eksistensi saya juga berhenti?

Ajaran Reformed mempunyai suatu penekanan yang sangat kuat dalam menempatkan segala sesuatu di bawah kedaulatan Allah. Segala sesuatu yang ada dan yang terjadi adalah dalam ordinasi Allah. Dan manusia begitu hina dan remeh di hadapan Allah sehingga Yakobus dalam suratnya menegur keras mereka yang tidak menyadari kontrol hidup ini hanyalah di dalam tangan Tuhan: (Yak. 4:13-14: Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung”, sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.)

Manusia tidak mungkin mengubah lingkungannya, dan juga tidak mungkin mampu mengubah dirinya. Manusia harus mengaku di hadapan Tuhan ketidakberdayaannya terhadap realita dan juga dirinya. Satu-satunya sumber di mana manusia mempunyai kemungkinan untuk berubah dan mengubah adalah dalam anugerah Allah melalui pekerjaan Roh Kudus. Ini adalah prinsip yang pertama. Kedua, relasi antara berubah dan mengubah harus sesuai: perubahan eksternal (mengubah keadaan) hanya datang setelah perubahan internal (perubahan diri) dan bukan sebaliknya. Pdt Rudy mempunyai suatu ilustrasi mengenai terang yang mengungkapkan kedua prinsip ini. Beliau bertanya pada saya, “Apakah menurut kamu, terang itu mengubah keadaan?” Saya bingung, bukankah jelas mengubah? Di mana terang ada, kegelapan hilang, bukankah demikian adanya? Tidak, terang tidak mengubah keadaan secara substansial. Kursi di suatu ruangan yang gelap tidak berpindah tempat ketika lampu dinyalakan. Yang diubah adalah perspektif kita, yang sekarang diterangi. Tanpa cahaya, kita bisa menabrak sana-sini. Dengan terang, kitalah yang berubah, sekarang saya bisa melihat dimana kursi itu berada. Saya bisa menghindarinya, saya bisa memindahkannya, namun sebelum terang itu datang, saya bahkan tidak mengetahui keberadaannya.

Pola berpikir yang demikian akan mengubah cara pelayanan kita, menghasilkan suatu paradigma yang bersubjek bukan pada kita namun pada Tuhan. Dan dengan demikian pelayanan kita pastilah pelayanan yang obedience-based, bukan result-oriented. Supaya sistem ini menjadi lebih jelas, mari kita ambil contoh misalnya mengenai panggilan: Berapa banyak orang yang ingin menjadi seperti hamba Tuhan namun sebenarnya ingin menjadi hamba Tuhan seperti Pak Tong, yang karya hidupnya terlihat sebagai suatu contoh keberhasilan? Adakah yang mau menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan seperti David Brainerd, misionaris kepada suku indian di Amerika yang hidupnya terlalu menyedihkan, atau Hudson Taylor yang membuang hidupnya, pergi ke China, melihat anak istrinya mati dan akhirnya juga mati dengan hanya mendapatkan satu jiwa selama 51 tahun melayani Tuhan? Orang-orang seperti ini mengubah diri mereka namun sampai mati tidak mengetahui bagaimana lingkungan berubah karena diri mereka. Bisa puaskah kita dengan itu? Puaskah kita menjadi Ayub yang sampai mati tidak mengetahui ujung pangkal ataupun berkat yang Tuhan curahkan pada Gereja sepanjang zaman lewat pergumulan dahsyat (baca: pengudusan) yang ia alami? Bagaimana dengan Yesaya yang sebelum pelayanan sudah diberitahu kata-katanya akan dianggap sepi? Hosea? Yehezkiel?

Bagaimana dengan contoh kehidupan sehari-hari? Kalau saudara mendapat seorang bos yang jahat, apa respons saudara? Mengubah keadaankah? Hengkang dan mencari pekerjaan yang lebih baik? Lha, wajar toh? Adalah suatu ketidakadilan jika saya tidak boleh memperjuangkan hak saya. Tapi, apakah ini adalah reaksi seseorang yang sadar bahwa adanya bos yang jahat tersebut adalah dalam kedaulatan Tuhan? Mari kita melihat contoh dari Alkitab. Sebelum ia dijual oleh saudara-saudaranya, Yusuf mungkin sudah menyadari Tuhan akan memakai dia dengan luar biasa oleh karena mimpi-mimpinya itu. Tapi sewaktu ia menderita habis-habisan sewaktu ia dijual oleh saudaranya sendiri, diperbudak, difitnah, dimasukkan ke penjara, dan dilupakan orang yang ditolongnya, menurut saudara apakah dia berusaha mengubah keadaannya yang sungguh menyedihkan? Yang dilakukannya adalah justru menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang ia percaya pasti diizinkan Tuhan. Sewaktu ia diperbudak, ia melakukan pekerjaannya dengan begitu setia. Ia bisa saja mengadakan pemberontakan terhadap Potifar, toh ia diperbudak karena unrighteous cause. Tapi Yusuf bekerja dengan begitu setia sehingga Potifar begitu mempercayainya sampai seluruh urusan rumahnya diberikannya kepada Yusuf. Sewaktu ia dirayu, Alkitab mencatat Yusuf tidak mencoba membungkam istri Potifar atau melaporkan ke suaminya, justru dicatat bahwa ia tidak mendengarkan bujukannya. Di penjara, Yusuf kembali beradaptasi, sampai kepala penjara mempercayakan seluruh tahanan di penjara tersebut kepadanya! Yusuf tidak pernah mengambil kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri, menurut penilaiannya atau perspektifnya. Ia menunggu waktu Tuhan. Dan ketika waktu Tuhan tiba, betapa luar biasanya Tuhan memakai Yusuf untuk mengubah zamannya. Tapi bagaimanakah perubahan tersebut terjadi? Tidak dengan menjadikan dirinya subjek untuk mencoba mengubah keadaan yang ia lihat lewat perspektif manusia yang sempit. Ia menyerahkan seluruh urusan penilaian pada Tuhan. Apa yang ia kerjakan “hanyalah” mengadaptasikan dirinya untuk menyambut semua konteks-konteks pergumulan yang ia hadapi di dalam kehendak Tuhan.

Panggilan seorang Kristen tidak pernah untuk merespons keadaan. Panggilan seorang Kristen adalah merespons Tuhan! Waktu kita berusaha untuk mengubah keadaan terhadap diri, kita pasti melakukannya dalam penilaian dari perspektif manusia yang sempit. Tahu apa kita tentang rencana Allah melalui kesulitan yang kita hadapi sekarang? Pada saat kita akhirnya mengerjakan apa yang menjadi kehendak kita, kita sudah gagal bertanggung jawab terhadap kesempatan yang hendak Tuhan pakai untuk menguduskan kita. Kita menolak untuk belajar lebih bergantung pada-Nya dan bukan tergantung kepada persediaan air yang kita bawa ke gurun. Mengapakah kita sering hidup dengan mengharapkan hasil eksternal jauh lebih dari kita mengharapkan hasil internal, mengharapkan diri kita makin disucikan di hadapan Tuhan? Kita lebih menghendaki orang lain bertobat daripada menghendaki diri kita makin taat? Kita lebih menginginkan pemerintah-pemerintah dunia takut akan Tuhan daripada menginginkan hati kita takluk kepada Tuhan?

Jadi, dalam progressive sanctification, siapakah yang mengubah? Hanya Tuhan sajalah. Siapakah yang berubah? Hanya kita. Bisakah kita mengubah zaman? Tidak. Apakah kita harus mengubah zaman? Pasti. Lalu, bagaimana kita mengubah zaman? Bukan dengan mengubah sesuai kehendak kita atau sesuai apa yang kita pikir sebagai kehendak Allah. Manusia yang perspektifnya terbatas hanya dapat hidup dengan iman bahwa Tuhan mengerjakan segala sesuatu untuk kebaikan kita. Maka apapun konteks penderitaan yang kita hadapi, sadarlah bahwa Tuhan tidak mungkin salah memberikan konteks. Terimalah penderitaan itu, janganlah marah karena para pembuat kejahatan, tapi berharaplah pada Tuhan dan lakukanlah kebaikan (terjemahan bebas Mzm. 37:1,3), sebab Tuhan tidak mungkin memberikan sesuatu yang kita tidak sanggup terima. Arahkan perubahan selalu mulai dari diri, dengan kuasa yang Tuhan berikan lewat karya Roh Kudus di dalam kita, meskipun kita adalah pihak yang benar di dalam ketidakadilan. Dan kemudian kita menyerahkan dalam waktu Tuhan, penentuan Tuhan, cara Tuhan, dan Ia yang tidak pernah bekerja sia-sia akan mengubah zaman sesuai kemauan-Nya lewat pekerjaan tangan hamba-hamba-Nya. Mungkin rencana-Nya sesuai atau bisa juga tidak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang kita rasa harus diubah. Mungkin keadaan yang kita rasa rusak sampai kita mati tidak diubah-Nya. Ia membuat segala sesuatu indah pada waktu-Nya, tapi mungkin kita sudah mati sebelum waktu-Nya tiba. Ini pun tidak menjadi masalah, sebab rencana adalah milik-Nya dan semua pekerjaan kita adalah pekerjaan-Nya. Dialah subjek dari segala sesuatu. Siapa yang dapat menyelami kedalaman pikiran-Nya? Inilah apa artinya menjadi orang Kristen Reformed. Menjadi orang Reformed bukan hanya berarti orang yang me-reform-kan dunia, tapi adalah orang yang hidupnya dibentuk ulang oleh Tuhan untuk lalu Ia pakai mengubah zaman. Berubah atau mengubah? Inilah kesukacitaan kita, bahwa dalam Tuhan, berubah adalah mengubah. Soli Deo Gloria.

 

Jethro Rachmadi

Mahasiswa Institut Reformed Jakarta