Refleksi mengenai Remaja-Pemuda melalui Tradisi Bar-Mitzvah

Setiap bulan Januari, Buletin PILLAR akan membahas mengenai tema Pemuda. Generasi yang lalu akan lewat, dan tanggung jawab tersebut akan dipikul dan dilanjutkan oleh para pemuda. Tidak peduli apakah pemuda-pemudi tersebut sudah mempersiapkan diri dengan baik atau belum. Waktu akan terus berlalu dan zaman akan terus bergulir. Tanpa terasa, nantinya juga kelompok pemuda sekarang ini akan menjadi tua dan diteruskan kembali oleh bayi/anak-anak yang kemudian bertumbuh menjadi pemuda.

Pada kesempatan ini, penulis tertarik untuk melakukan sedikit refleksi mengenai tradisi “Bar Mitzvah” (Anak Taurat). Mungkin sebagian pembaca ada yang merasa aneh karena sebenarnya tradisi ini lebih dekat ke tradisi Yudaisme dibandingkan Protestan, atau lebih spesifik lagi Calvinis. Namun penulis tetap merasa bahwa ada hal-hal yang menarik dan relevan yang kita bisa pelajari sama-sama sebagai orang Kristen (dan lebih luas lagi sebagai manusia yang hidup di bumi ini). Dr. Vern Sheridan Poythress juga pernah menuliskan mengenai hal ini dalam salah satu artikel online-nya mengenai cara beliau mendidik dan membesarkan anak remajanya.[1]

Konteks Tradisi
Ada beberapa pendapat mengenai asal mula tradisi Bar Mitzvah. Ada yang percaya itu dimulai sejak Abraham, Ishak, ataupun justru setelah zaman Musa ketika Taurat diberikan. Terlepas dari diskusi tersebut, secara esensi, seorang anak remaja akan melewati satu upacara yang mengantarnya kepada fase dan tanggung jawab baru dalam hidupnya. Secara umum, anak laki-laki harus berusia 13 tahun, dan anak perempuan berusia 12 tahun. Setelah fase ini, mereka dianggap memiliki kesadaran dan tanggung jawab penuh atas kelakuan dan hidup mereka. Remaja tersebut memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam ritual agama, tradisi, standar etika, dan berbagai elemen komunitas/masyarakat. Remaja tersebut juga diharapkan memiliki kelimpahan pengetahuan dalam batasan tertentu mengenai Taurat. Mereka selayaknya dapat menghafal dan membacakan Taurat dalam bahasa Ibrani. Mereka juga sudah diperbolehkan untuk memimpin doa dan pembacaan Taurat di tempat umum/komunitas. Beberapa persyaratan yang lebih ketat bahkan mengharuskan remaja untuk bisa menunjukkan kontribusinya dalam masyarakat, misalkan saja dalam bentuk inisiatif sukarela atau community service.

“Metamorfosis”
Sebenarnya pengakuan/konfirmasi menuju fase baru dalam hidup bukanlah sesuatu yang asing. Hewan memiliki proses perkembangan biologis yang disebut “metamorfosis”. Misalkan saja fase ulat à kepompong à kupu-kupu, ataupun fase telur à berudu à katak muda àkatak dewasa. Bagi manusia, ada begitu banyak kebudayaan yang menandai fase anak-anak menuju dewasa. Misalkan saja tradisi Genpuku (元服) di Jepang. Seorang anak harus memakai baju tradisi khas Jepang untuk perayaan Genpuku, pemberian nama baru (nama dewasa) beserta Kanmuri (semacam topi untuk perayaan). Di Nias, kita memiliki tradisi Fahombo (Loncat Batu) yang menjadi tanda bahwa seorang anak telah menjadi dewasa. Batu tersebut biasanya memiliki ketinggian 2 meter dengan ketebalan sekitar 40 cm. Sang anak laki-laki akan meloncati batu tersebut lengkap dengan busana khas pejuang Nias. Dr. Poythress memberikan sedikit pertanyaan refleksi untuk kultur kita sekarang. Sejak kapankah seseorang bisa dikatakan dewasa? Sejak mendapatkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau SIM (Surat Izin Mengemudi)? Sejak lulus dari universitas? Sejak orang tersebut tidak lagi tinggal bersama orang tuanya? Setelah melewati umur 21 tahun (17 tahun untuk wanita)? Ketika orang tersebut sudah menikah atau punya rumah?

Nilai dan Signifikansi
Dalam budaya Timur, masyarakat bisa memiliki blind-spot dalam menilai kedewasaan seseorang, khususnya anak remaja-pemuda. Orang tua kerap memiliki pendapat bahwa anaknya adalah “anak kecil” yang selalu lebih inferior, perlu terus dibimbing, dan diawasi secara detail. Bahkan ketika anak itu sudah beranjak pemuda atau bahkan dewasa. Tradisi Bar Mitzvah mengingatkan kita untuk memiliki perspektif yang seimbang dan sesuai dalam menghargai dan menuntut tanggung jawab kedewasaan dari seorang remaja (umur 12-13 tahun).

Dalam menggumulkan tema mengenai maturity, Dr. Poythress menekankan betapa pentingnya tanda kematangan secara spiritual. Kedewasaan tidak hanya bicara mengenai kedewasaan secara fisk (ukuran tubuh) ataupun kematangan seksualitas semata. Kematangan secara rohani disimpulkan dalam pengenalan yang mendalam akan Allah dan kehendak-Nya, sekaligus bagaimana menerapkannya dalam hidup sehari-hari (Ams. 1:1-7). Sebagai orang tua, Dr. Poythress sangat menggumulkan prinsip “jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1Kor. 11:1). Dr. Poythress juga kerap kali gagal dan melakukan kesalahan. Dan sebagai tanda orang yang dewasa, ia juga harus berani mengakui kegagalannya tersebut dan memohon pengampunan.

Melalui tradisi Bar Mitzvah, ada berbagai nilai atau elemen dasar yang bisa kita apresiasi dan memiliki signifikansi dalam hidup sehari-hari bagi remaja-pemuda di zaman ini:
(I) Pengenalan akan Teks Alkitab. Sebagai seorang remaja, tidak ada alasan untuk tidak membaca Alkitab dengan konsisten dan sungguh-sungguh. Setidaknya 66 buku dalam Alkitab perlu diketahui, termasuk benang merah keselamatan, dan sentralitas pribadi Kristus baik dari perspektif Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
(II) Pemahaman Theologis secara Terstruktur. Selain pembacaan teks Alkitab, seorang remaja juga sudah sewajarnya untuk memiliki pemahaman akan doktrin-doktrin dasar dan mulai mengenal poin-poin penting dari Katekismus ataupun Pengakuan-Pengakuan Iman.
(III) Pertumbuhan Kerohanian. Pengenalan akan Allah tidak hanya berhenti secara kognitif. Pertumbuhan yang sehat akan mencakup aspek devotional, doa, relasional, dan pergumulan hati nurani ketika terjerumus dalam dosa.
(IV) Kebijaksanaan dalam Hidup Sehari-hari. Seorang remaja selayaknya memiliki latihan dan kebijaksanaan dalam menggunakan uang saku, memberikan perpuluhan, etika dalam berbicara, dan standar kesopanan/batasan dalam berinteraksi dengan lawan jenis.   

Refleksi dan Konteks Kita Sekarang
Perenungan mengenai Bar Mitzvah tentunya mendobrak bayangan kita akan gambaran karikatur remaja di zaman ini yang cenderung lembek, galau, cengeng, serba bosan, kebingungan akan banyaknya pilihan, terobsesi social media, dan hanya bisa hura-hura. Stigma ini juga yang mendorong dua pemuda, Alex dan Brett Harris, untuk menulis buku “Do Hard Things”.[2] Mereka gelisah karena masyarakat memandang dan memberikan ekspektasi kepada remaja-pemuda jauh lebih rendah dari takaran yang seharusnya mereka bisa emban dan kerjakan. Masa remaja-pemuda sudah seharusnya diisi dengan hal-hal yang berguna, membangun fondasi, dan sekaligus menghasilkan kontribusi bagi masyarakat. Dalam contoh buku tersebut, remaja-remaja ternyata memiliki potensi untuk bekerja di lembaga pemerintahan, mengoordinasi kampanye sosial, menulis blog dan buku yang berbobot dan membangun, menetapkan secara sadar arah karier dengan penuh tanggung jawab di hadapan Tuhan.

Alkitab sendiri memberikan contoh yang begitu kaya akan remaja-pemuda yang mempersembahkan hidupnya sungguh-sungguh di hadapan Tuhan. Samuel sejak kecil dan muda sudah begitu peka akan suara Tuhan dan hidup melayani Tuhan di Bait Allah. Daud yang sejak umur 20 tahun lebih sudah berperang dengan berani, mengalami kesulitan berat karena dikejar Saul, dan akhirnya umur 30 tahun menjadi raja atas Israel. Daniel yang dengan segenap hati mengikut Tuhan dan tidak mau menajiskan dirinya dengan budaya bangsa Babel yang bisa menjerumuskannya dalam dosa. Yeremia yang sudah Tuhan panggil sejak muda untuk menjadi nabi bagi bangsa-bangsa. Yesus Kristus (yang kita lihat dari sisi kemanusiaan-Nya) sudah begitu rindu berdiam di rumah Bapa dan telah mencengangkan para guru Taurat dengan pertanyaan-pertanyaan-Nya. Yohanes yang begitu muda tetapi begitu mengejar pengenalan akan Kristus dan tidak melewatkan sedikit pun perkataan-perkataan-Nya yang sangat penting, termasuk doa Kristus kepada Bapa yang dicatat di Yohanes 17. Timotius yang dinasihatkan Paulus untuk membangun jemaat dengan menjadi teladan baik dari perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan, dan kesucian. Juga untuk bertekun dalam segala pengajaran sehingga Timotius tidak hanya menyelamatkan dirinya, tetapi juga semua orang yang mendengar pengajarannya. Juga sampai kepada surat 1 Yohanes kepada anak-anak muda yang dituliskan bahwa mereka kuat serta firman Allah diam di dalam mereka dan telah mengalahkan yang jahat.

Artikel singkat ini akan ditutup dengan 3 kutipan yang semoga bisa menjadi bahan perenungan lebih jauh bagi remaja-pemuda pembaca Buletin PILLAR. Juga semoga Tuhan menjawab seruan doa pendiri Gerakan Reformed Injili, Pdt. Dr. Stephen Tong, agar muncul remaja dan pemuda yang dibentuk karakternya, diisi pengertiannya dengan kebenaran, ditegakkan imannya, serta diarahkan moral dan pelayanan untuk memuliakan nama Tuhan. Kiranya remaja-pemuda bertumbuh menjadi umat-Nya yang setia dan menjadi orang yang bersumbangsih bagi seluruh umat manusia demi kemuliaan Bapa di sorga.

Berikan aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia. – Ir. Soekarno

My heart I offer to you, O Lord, promptly and sincerely. – Yohanes Calvin

Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. – Mazmur 127:4

Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR

Endnotes:
[1] How I Helped My Boys to Become Christian Men
[2] Alex and Brett Harris Are Doing Hard Things