, ,

Reformasi dan Sains Modern

Di zaman ini, kita melihat sains berkembang begitu pesat. Manusia sudah dapat mengerti banyak hal tentang alam dengan baik, dan bahkan mampu menggunakan pengertian tersebut untuk menghadirkan teknologi yang mempermudah hidup manusia. Sains terus mencoba menjelaskan dari hal yang paling besar, seperti pergerakan planet, bintang, dan galaksi, sampai yang paling kecil, seperti interaksi antaratom ataupun DNA.

Jika kita melihat ke belakang, ada satu peristiwa penting berkenaan dengan sains yang terjadi di sekitar abad ke-17, yang dikenal dengan Revolusi Sains. Setelah peristiwa ini, sains berkembang dengan amat pesat. Di dalam 300 tahun, pengetahuan manusia akan alam meningkat jauh lebih cepat dibanding ribuan tahun sebelumnya. Sains yang dikenal setelah masa ini disebut dengan Sains Modern.

Apa yang mengakibatkan perubahan ini? Sebelum menjawab pertanyaan ini, sangat menarik jika kita memerhatikan penyebaran para ilmuwan yang hidup di zaman tersebut. Sains modern berkembang di Eropa, seperti Inggris dan Perancis. Di Perancis saat itu, perbandingan populasi orang Protestan dengan orang Katolik sangat jauh, yaitu 6 banding 27. Akan tetapi, jumlah ilmuwan Protestan yang bekerja di Akademi Sains Perancis melebihi jumlah ilmuwan Katolik, dengan angka 6 banding 4. Data yang serupa diamati pula di Swiss dan Belgia, di mana populasi orang Protestan lebih sedikit dibanding Katolik, namun jumlah ilmuwan Protestan justru menjadi mayoritas. Di Inggris, mayoritas ilmuwan adalah orang-orang Puritan dan cabang Protestan lainnya.

Statistik di atas membuat banyak orang seperti Hebden Taylor, W. Stanford Reid, dan R. Hooykaas mengambil kesimpulan bahwa ada kaitan erat antara gerakan Protestan (yang dimulai dari Reformasi di abad ke-16) dan pesatnya perkembangan sains. Kita dapat lebih memahami klaim ini jika kita memerhatikan dengan saksama, perubahan apakah yang terjadi di dalam Revolusi Sains? Untuk itu, mari kita kembali ke periode sebelum Revolusi Sains, yaitu Abad Pertengahan.

Di awal Abad Pertengahan (400-1000 AD), kekristenan sangat dipengaruhi oleh filsafat Plato yang membedakan dunia menjadi dua: form (dunia ide) dan matter (dunia materi). Di dalam filsafat ini, materi dianggap sebagai yang lebih rendah. Hal ini tampak pula di dalam kekristenan saat itu, di mana pekerjaan yang dianggap lebih baik adalah menjadi biarawan yang merenungkan firman (berkaitan dengan dunia ide), sedangkan pekerjaan yang berkaitan dengan dunia materi (seperti petani, tukang besi, dan pedagang) dianggap lebih rendah. Di masa itu, sains hanya dianggap sebagai alat untuk mendukung pekerjaan-pekerjaan yang lebih tinggi tadi. Misalnya, para biarawan mempelajari pergerakan bintang untuk menentukan waktu yang tepat untuk berdoa. Fungsi sains di sini lebih bersifat praktis, bukan sebagai pengejaran akan kebenaran.

Filsafat Aristoteles kemudian menggantikan pengaruh filsafat Plato pada akhir Abad Pertengahan (1000-1300 AD). Berbeda dengan Plato, Aristoteles melihat bahwa materi pun penting, karena bagi dia form (ide) itu tidak terpisah dari materi. Aristoteles melakukan banyak observasi akan alam, dan idenya tentang alam menjadi fondasi sains sampai di akhir Abad Pertengahan. Misalnya, teori bahwa alam semesta membentuk sebuah sistem hierarki (akan dijelaskan di bagian selanjutnya).

Pada peristiwa Reformasi, pengaruh Aristoteles yang besar terhadap kekristenan ini mendapat perlawanan dari para reformator. G. B. Deason menyebutkan setidaknya tiga argumen para reformator yang melawan filsafat Aristoteles: a) Sumber Otoritas, b) Perlunya Metode Empiris, dan c) Kedaulatan Allah. Tiga argumen ini, yang sebenarnya ditujukan di dalam kaitannya dengan aspek religius, ternyata berdampak besar juga terhadap pandangan akan sains. Faktor keempat, yaitu tentang perubahan konsep mengenai panggilan hidup, juga tidak kalah pentingnya.

Sumber Otoritas
Pada masa menjelang Reformasi, Gereja Katolik Roma berpegang pada tiga sumber otoritas untuk menentukan kebenaran, yaitu Alkitab, tradisi, dan institusi gereja. Maka, ketika Galileo mengemukakan teori Heliosentris (sama seperti Copernicus sebelumnya) bahwa bumilah yang mengelilingi matahari, dia mendapat hambatan dari sumber-sumber ini. Misalnya, di dalam tradisi gereja, para Bapa Gereja telah memegang pandangan Aristoteles bahwa matahari mengelilingi bumi. Selain itu, beberapa saat sebelum kasus Galileo ini terjadi, institusi gereja telah menyatakan bahwa teori Heliosentris Copernicus itu salah. Jika tradisi dan institusi gereja adalah sumber otoritas yang absolut akan kebenaran, maka tidak ada kemungkinan bagi gereja untuk menerima teori Galileo.

Berbeda dengan Katolik, Protestan hanya mengakui Alkitab sebagai sumber otoritas tertinggi. Hal ini berdampak positif terhadap penerimaan ide sains yang baru, karena dengan ini, teori sains tidak lagi harus “dihakimi” oleh tradisi atau institusi gereja. Hal ini bukan berarti sains boleh terlepas sama sekali dari Alkitab, karena Alkitab tetap harus menjadi sumber otoritas akan kebenaran; dan seperti yang akan kita lihat, justru pandangan Alkitab akan alam menjadi dorongan yang kuat bagi para ilmuwan untuk menyelidiki alam dengan benar.

Metode Empiris
Melalui pengaruh filsafat Aristoteles, metode deduksi mendapat tempat yang tinggi di dalam kekristenan. Rasio dianggap dapat mengerti kebenaran, tanpa harus bergantung kepada Alkitab. Akibat negatifnya adalah timbulnya ajaran-ajaran yang tampak masuk akal secara rasio, namun tanpa dukungan prinsip Alkitab. Para reformator menekankan pentingnya bagi kita untuk kembali ke Alkitab dan melihat apa yang dikatakan oleh Allah di sana, dibandingkan dengan spekulasi-spekulasi rasio manusia berdosa yang tidak berdasar.

Kritik ini juga berdampak di dalam bidang sains. Di sini pun, metode deduksi Aristoteles berperan penting. Rasio memiliki tempat yang lebih tinggi dibandingkan dengan observasi. Rasio dapat menentukan apa yang mungkin dan apa yang mustahil. Misalnya, bagi Aristoteles, benda-benda langit pasti bergerak di dalam orbit berbentuk lingkaran, karena lingkaran adalah bentuk yang sempurna. Hal ini bukan berarti tidak ada tempat bagi observasi dalam teori Aristoteles. Namun jika ada kejadian yang tidak sesuai dengan teori itu, kejadian ini hanya dianggap sebagai penyimpangan, yang tidak berpengaruh terhadap kebenaran teori tersebut.

Mirip dengan penekanan para reformator akan pentingnya melihat apa yang Alkitab katakan, Francis Bacon (1521-1626) mendukung metode empiris: observasi akan alam harus menjadi standar apakah sebuah teori itu benar atau tidak. Jika alam hanya dideduksi melalui rasio saja, ini hanya akan menimbulkan spekulasi yang tidak berdasar. “Unless we recognize the difference, between the idols of the human mind and the ideas of the divine, we will continue to acquiesce in sterile, self-serving rationalism and fail to achieve progress in the knowledge of nature.” Ini menjadi dasar dari metode ilmiah yang berperan besar di dalam perkembangan sains selanjutnya.

Kedaulatan Allah
Pada Abad Pertengahan, Gereja Katolik memegang teori kosmologi Aristoteles yang bersifat hierarkis: alam semesta terdiri atas bumi sebagai pusat, yang dikelilingi oleh bulan, Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, dan Saturnus, lalu bintang-bintang, dan akhirnya sorga di mana Allah berada. Hierarki ini merupakan kelanjutan dari hierarki di bumi dan membentuk rantai keberadaan, mulai dari Allah, malaikat, makhluk rasional, binatang, dan tumbuhan, dan benda-benda mati. Allah memberikan kuasa kepada para malaikat, yang kemudian menggerakkan benda-benda langit, dan gerakan ini kemudian sampai ke bumi. Kuasa Allah disalurkan melalui pengantara-pengantara ini. Hierarki ini memiliki paralel di dalam gereja, di mana pemerintahan gereja (paus, kardinal, uskup, dan lain-lain) menjadi saluran yang melaluinya berkat Allah dicurahkan kepada orang biasa.

Para reformator melawan ajaran ini, dengan mengatakan bahwa kuasa Allah disampaikan kepada umat-Nya tanpa pengantara lain selain Kristus: tidak ada manusia lain yang menjadi pengantara antara sorga dan bumi. Allah dapat menyalurkan berkat-Nya secara langsung kepada umat-Nya, tanpa harus melalui paus, kardinal, uskup, dan seterusnya.

Pemikiran ini berlanjut kepada debat akan kosmologi Aristoteles: berdasarkan pemikiran Protestan, Allah tidak memerlukan pengantara-pengantara untuk menyalurkan kuasa-Nya sampai ke bumi. Dengan kata lain, planet-planet tidak perlu menjadi pengantara antara sorga dan bumi, dan model hierarki kosmos Aristoteles tidak menjadi keharusan. Model kosmologi baru Heliosentris bersifat non-hierarkis dan konsisten dengan theologi Protestan, yaitu bahwa Allah dapat bertindak tanpa pengantara.

Hal kedua yang berkaitan dengan kedaulatan Allah adalah mengenai satu asumsi fundamental akan materi: apakah materi itu aktif atau pasif? Dalam pemikiran Aristoteles, materi bersifat aktif. Alam digambarkan sebagai “the principle of motion and change”, yang memiliki kuasa pada dirinya sendiri. Alam memiliki sebuah “telos” atau tujuan, dan akan mencapai tujuannya ini dengan sendirinya. Maka dengan memerhatikan “telos” dari alam, kita dapat mengambil kesimpulan tentang alam.

Protestan mengambil gambaran sebaliknya, yaitu justru materi bersifat pasif; hanya firman Allah yang menjadi prinsip aktif di dalam dunia. Pandangan ini dinyatakan dengan jelas oleh dua tokoh besar di zaman itu, Robert Boyle dan Isaac Newton. Robert Boyle mengatakan bahwa pandangan Aristoteles akan alam (nature) menyangkal kemampuan Allah yang berdaulat untuk mengerjakan kuasa-Nya akan segala sesuatu.[1] Isaac Newton pun berkata, “Adalah mustahil untuk mengatakan bahwa gravitasi itu melekat dan inheren di dalam materi.”[2] Di sini, gravitasi dan hukum-hukum alam justru dianggap sebagai manifestasi dari kehadiran Allah di dalam dunia. Materi tidak bersifat independen dari kuasa Allah, tapi justru selalu bergantung kepada kuasa Allah yang memerintah dunia.

Pengertian akan Panggilan (Vocation)
Di Abad Pertengahan, pekerjaan yang kudus dan berkenan di hadapan Allah adalah yang bersifat spiritual. Maka jika seseorang masuk ke biara, dia adalah orang Kristen yang taat, atau lebih “kudus” dibandingkan dengan orang yang bekerja di “dunia” seperti petani, pedagang, dan termasuk ilmuwan. Mempelajari alam merupakan sesuatu yang “duniawi”.

Para reformator membawa pandangan yang sama sekali berbeda. Luther menyatakan bahwa panggilan bagi orang Kristen bukan hanya untuk masuk biara; pekerjaan-pekerjaan “duniawi” seperti petani pun adalah panggilan hidup manusia. Panggilan dilihat sebagai bagian dari pemeliharaan Allah. Misalnya, dengan bertani, seseorang menyediakan makanan bagi sesamanya. Maka bertani pun dapat menjadi pekerjaan yang dipersembahkan kepada Allah, sama kudusnya dengan biarawan.

Pandangan ini tentunya sangat berpengaruh dalam hal sains. Berkaitan dengan poin c) di atas, seorang ilmuwan kini menjadi orang yang mempelajari bagaimana Allah memelihara ciptaan-Nya melalui hukum-hukum alam. Ketika ilmuwan bekerja, dia sedang melihat kebijaksanaan Allah terpancar di dalam ciptaan. Tidaklah heran ketika kita mengingat kembali, orang Protestan menjadi mayoritas di dalam institusi-institusi ilmiah pada zaman setelah Reformasi.

Keempat hal yang telah disebut di atas, menjadi kontribusi para reformator dalam menjatuhkan pengaruh Aristoteles di dalam ajaran kekristenan, dan kemudian juga berpengaruh dalam perkembangan sains. Sains kini tidak lagi terikat oleh tradisi dan institusi gereja; spekulasi-spekulasi rasio digantikan oleh observasi alam; hukum alam dipandang sebagai manifestasi dari kehadiran Allah; dan pekerjaan sebagai ilmuwan merupakan panggilan bagi seorang Kristen yang taat. Poin-poin ini hendaknya menjadi kekuatan bagi kita yang mempelajari sains: hukum-hukum alam yang kita pelajari, bukanlah hukum yang mati dan tanpa arti, tapi justru merupakan bukti kehadiran Allah yang senantiasa memelihara kita dengan setia. Pekerjaan sebagai seorang hamba Tuhan di dalam dunia ilmu memiliki nilai yang sama kudusnya dengan hamba Tuhan di gereja, dan kita boleh memuliakan nama Tuhan melalui penelitian kita.

Teguh Santoso Lembono
Pemuda GRII Singapura

Endnotes:
[1] Aristotle’s view of nature denied the ability of the sovereign Lord and Governor of the world to administer his dominion over all things.
[2] That gravity should be innate, inherent and essential to matter… is to me so great an absurdity, that I believe no man who has in philosophical matters a competent faculty of thinking, can ever fall into it.

Referensi:
1. G. B. Deason, The Protestant Reformation and the Rise of Modern Science. Scottish Journal of Theology, Volume 38, Issue 2, p. 221-240.
2. E. L. Hebden Taylor, The Reformation and the Development of Modern Science. Churchman 82 (2) (1968), p. 87-103.
3. https://en.wikipedia.org/wiki/Scientific_revolution.
4. http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Form_and_Matter.
5. https://en.wikipedia.org/wiki/European_science_in_the_Middle_Ages.
6. https://en.wikipedia.org/wiki/Great_chain_of_being.