Si Biasa Membaca

Perjalanan kali ini, saya ingin membawa setiap kita memasuki perspektif penebusan yang berasal dari kalimat:
“Redeeming the time!”
atau
“Tebuslah waktumu!”

Tentu kalimat ini bukan sebuah kalimat yang asing lagi di telinga kita sebagai orang-orang yang menganggap dirinya orang Reformed (kalaupun itu layak). Kalimat ini kita kenal bukan berasal dari hasil pemikiran manusia semata melainkan berasal dari hikmat Allah yang Ia nyatakan dalam karya penebusan-Nya. Kita bisa membacanya di kitab Kolose 4:5. Ada begitu banyak ulasan mengenai tema ini yang dapat diperoleh, baik dari buku-buku rohani maupun dari sesi-sesi khotbah yang ada.

Seiring dengan kata-kata di atas, Saudara mungkin menebak bahwa pembahasan artikel ini akan fokus pada “Waktu”. Sayang sekali tebakan Saudara kurang tepat. Hal ini terjadi karena kita terlalu sering berpikir biasanya atau terlalu sering membaca hasil pemikiran orang sampai-sampai kita tidak bisa lagi berpikir sesuatu hal yang berbeda dan lebih mendalam dari pemikiran yang sudah dinyatakan. Bukan berarti saya tidak setuju kalau kita membiasakan diri untuk datang kebaktian mendengarkan khotbah atau membiasakan diri membaca banyak buku. Hal itu tentu saja baik untuk mendisiplinkan diri kita. Tetapi penekanan yang saya maksudkan di sini adalah apakah kita tidak bisa berpikir dengan tidak terpaku dari pemikiran biasanya. Demikian juga halnya dengan aktivitas lain seperti bertindak, mengambil sebuah keputusan, dan berbicara.

Saya tidak akan membahas mengenai definisi dan keberadaan dari waktu itu sendiri. Tetapi melihat aspek lain yang harus digali di dalam waktu yang Tuhan sediakan sebagai wadah, di mana kita boleh mengalami karya penebusan-Nya. Bukan hanya berbicara mengenai penggunaan waktu tetapi di dalam waktu tersebut sebenarnya apa yang harus kita mengerti. Saya ingin membahas penebusan waktu dari kacamata kitab Kolose 4:5-6.
Walk in wisdom toward those who are outside, redeeming the time. Let your speech always be with grace, seasoned with salt, that you may know how you ought to answer each one.” (NHEB)[1]

Di sini ada tiga kata yang begitu menarik hati saya, yaitu: walk, wisdom, dan speech (LAI[2]: hidup, hikmat, dan kata-kata). Kedua ayat ini memperlihatkan hubungan bahwa saat kita berbicara mengenai penebusan waktu maka kita tidak bisa mengabaikan pembahasan mengenai perjalanan hidup (walk). Berbicara mengenai perjalanan hidup kita tidak bisa terlepas dari pembahasan mengenai hikmat (wisdom). Dan berbicara mengenai penebusan waktu kita pun tidak bisa mengabaikan pembahasan mengenai perkataan (speech). Karena di dalam wadah waktu kita diberikan sebuah perjalanan hidup yang di dalamnya memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan sesama kita salah satunya dengan perkataan. Melihat adanya kaitan antara satu dengan yang lain, saya terusik untuk membahas masing-masing dari ketiga kata tersebut lebih lanjut satu per satu.

WALK (Perjalanan Hidup)
Di dalam waktu, manusia diberikan kesempatan untuk menjalani sebuah kehidupan. Saudara dan saya dilahirkan dalam sebuah kurun waktu. Di dalam waktu tersebut, kita diberikan kesempatan untuk menjelajahi dan menikmati karya ciptaan dari Sang Khalik, Pencipta langit dan bumi. Betapa indahnya bisa menikmati keindahan dan kebesaran karya-Nya dalam dunia ini. Namun akibat kejatuhan manusia dalam dosa maka makna menjelajahi dan menikmati di sini telah terfokus pada ciptaan itu sendiri, baik kepada ciptaan lain maupun kepada diri sendiri. Tidak lagi melihat kepada Allah yang mencipta sehingga penjelajahan hidup ini, akhirnya kita rancang secara pribadi sesuai dengan keinginan kita: apa yang ingin saya lakukan, ke mana saya ingin pergi, apa yang ingin saya nikmati, dan bagaimana cara yang saya inginkan untuk menjelajahi dan menikmati semua itu. Mungkin Saudara dan saya pernah berpikir, “Ah, itu kan sebelum kenal Tuhan Yesus. Sekarang saya sudah kenal Tuhan Yesus maka saya tidak seperti itu lagi. Buktinya saya ikut pelayanan dan memakai waktu saya untuk pekerjaan Tuhan.” Benarkah demikian?

Saya tidak meragukan karya penebusan Tuhan Yesus Kristus di kayu salib. Saya tidak pernah percaya bahwa karya penebusan-Nya gagal untuk menebus kita. Tetapi saya justru mengkhawatirkan jangan-jangan Saudara dan saya adalah orang-orang yang belum mengalami penebusan-Nya, jika pada saat ini kita dengan mudahnya menerima dan membaca segala sesuatu dengan pola biasanya. Jangan-jangan pelayanan yang selama ini kita kerjakan pun kita terima karena pola biasanya. “Kan sudah jadi orang Kristen makanya harus ambil pelayanan. Masa iya ga ambil pelayanan, apa kata dunia?! Bisa kehilangan muka, saya.”

Akhirnya kita mengambil sebuah pelayanan dan mengerjakan pelayanan itu hanya karena pola biasa tersebut atau karena kita membaca dari pola orang lain, teladan orang lain. Bukan berarti saya mengatakan bahwa menjadi orang Kristen berarti tidak perlu melayani. Itu namanya tidak tahu diri! Bukan berarti pula saya menentang keberadaan dari kata ‘teladan’ karena kedatangan Tuhan Yesus telah menjadi Teladan Tertinggi bagi kita. Tetapi sekali lagi yang ditekankan di sini adalah jangan-jangan kita mengambil sebuah pelayanan dan mengerjakannya bukan lagi dengan sikap kesadaran, kerendahan, dan kesungguhan hati di hadapan Tuhan Allah, melainkan hanya karena sebuah keahlian biasa membaca pola yang kemudian kita mengikuti pola tersebut.
WISDOM (Hikmat dan Bijaksana)
Di dalam perjalanan hidup yang sudah jatuh dalam dosa, saya membayangkan ada begitu banyak persimpangan jalan yang memiliki banyak cabang arah atau pola yang membawa kita pada suatu tujuan atau tempat perhentian. Saya tidak akan membahas bagian ini terpisah dari bagian sebelumnya yaitu perjalanan hidup karena keduanya merupakan bagian yang terkait. Melihat kecelakaan pola biasa tersebut, tidak ada hal lain yang dapat menolong kita untuk berjalan di dalam kehidupan ini selain sebuah pertolongan dari hikmat, yang berasal dari penyertaan Tuhan. Amsal 9:10 mengatakan, “Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian.”

Dalam persimpangan jalan hidup yang kita hadapi, tidak jarang kita diperhadapkan dengan berbagai tawaran atau seteguk kenikmatan hikmat duniawi yang terasa begitu manis di awal yang kemudian sepat di akhir tenggorokan kita. Itulah hikmat yang ditawarkan dunia ini, sesaat terlihat seperti benar dan manis namun memiliki ujung yang tidak menghasilkan kepuasan sejati. Sayangnya, kita pun demikian terbiasa dibius oleh berbagai hikmat palsu tersebut. Mungkin Saudara dan saya bertanya, “Masa sih?” Inilah faktanya bahwa kita terbiasa membaca dan mencari hikmat atau pemikiran-pemikiran yang berasal dari dunia ini. Buktinya kita lebih suka membaca dan menganggap megah pemikiran para filsuf atau bahkan komik dibandingkan dengan membaca Alkitab yang kata-katanya terlihat begitu sederhana namun memiliki hikmat tertinggi yang kemudian kita responi dengan sikap yang biasa saja bahkan tidak ada kekaguman di dalam pembacaan firman-Nya. Inilah yang terjadi, sekali lagi karena terbiasa. Bukannya saya tidak menyetujui bahwa kita perlu membaca pemikiran-pemikiran filsuf yang ada, tetapi apa gunanya jikalau kita membaca semua itu namun tidak memiliki ujung atau fokus yang bersandarkan pada hikmat Kristus? Manakah yang lebih berharga sesungguhnya?

SPEECH (Perkataan)
Di dalam waktu dan perjalanan hidup, manusia tidak mungkin tidak saling berkata-kata dengan sesamanya mengingat bahwa Tuhan Allah Tritunggal pun saling berkomunikasi[3]. Saya tidak membatasi kata-kata hanya berasal dari mulut sebab bagaimana dengan seorang gagu yang tidak bisa berbicara dengan mulutnya? Sesungguhnya dia pun bisa berkata-kata melalui bahasa gerakan tangan atau tubuhnya. Justru perspektif kita mengenai perkataan inilah yang harus ditebus dan dikembalikan sesuai dengan firman Tuhan.

Perkataan bukanlah sekadar bunyi suara yang keluar dari mulut yang membentuk huruf-huruf konsonan dan vokal yang menjadi sebuah kata kemudian menjadi kalimat. Kitab Kolose menekankan perkataan dengan kata “always be with grace”, LAI menerjemahkannya “senantiasa penuh kasih”. Maka dari sini kita bisa melihat bahwa perkataan berkaitan erat dengan hati yang seharusnya penuh dengan cinta kasih.

Dalam hidup bergereja, kita melihat banyak sekali macam orang. Ada orang yang bisa berkata-kata dengan leluasa, ada juga orang yang memang suka berkata-kata, tetapi ada juga orang yang sulit berkata-kata. Tetapi dari ketiga jenis orang ini kita tidak bisa memastikan bahwa karena seseorang bisa berkata-kata dengan leluasa maka dia penuh dengan kasih, begitu pula dengan kedua jenis orang lainnya dan demikian juga hal sebaliknya.

Saya ingat sebuah percakapan antara saya dengan seorang teman saya yang akhirnya hanya berujung pada argumentasi siapa yang menang dan argumentasi siapa yang kalah. Yang menang akan merasa puas, yang lain akan merasa pahit dan setelah itu mungkin saja ia menjadi muak dengan berbagai argumentasi yang benar karena ternyata ujungnya hanya sampai pada kepuasan diri. Berargumentasi kebenaran yang tidak beralaskan cinta kasih dan yang tidak berujung kepada Kristus. Jangan-jangan kita terjebak dalam pola biasa ini lagi. Lagi-lagi kita menganggap bahwa hal itu lumrah sambil memakai argumentasi Alkitabiah bahwa kebenaran itu tajam seperti pedang bermata dua. Ketahuilah bahwa Saudara dan saya pun tidak akan ada yang tahan berhadapan dengan kebenaran yang dinyatakan Kristus. Hanya oleh anugerah kasih-Nyalah kita dimampukan untuk diperhadapkan dengan berbagai kebenaran. Itu semua bukan upaya kita sekalipun kita bisa bertahan dalam kebenaran.

Selain itu, kitab Kolose bukan hanya menekankan pada kepahitan dari perkataan yang kita ucapkan melainkan pada kehambaran dari perkataan kita. Betapa besarnya tuntutan firman Tuhan itu! Kehambaran pun kita tidak boleh lakukan dalam perkataan kita. Hanya sekadar mengeluarkan suara pun jangan jika tidak memiliki tujuan. Berkata-katalah dengan maksud yang membangun dan bukan menghancurkan. Pernahkah kita berkata-kata terhadap sesama kita seperti berikut, “Sudahkah engkau menemukan keindahan dan kelimpahan Pribadi Yesus Kristus yang kau kenal? Maukah engkau berbagi hal itu denganku?” Mari selidiki kembali hati dan motivasi kita dalam melakukan segala sesuatu.

Dengan melihat aspek-aspek ini, marilah kita sekali lagi sungguh-sungguh mengerti dan mengejar arti dari kata penebusan waktu yang tidak berdiri sendiri melainkan juga pada aspek-aspek lain yang berada di dalamnya yang perlu diperhatikan, bukan hanya mengenai penggunaan waktu semata, bukan hanya keahlian biasa membaca pola dan mengikutinya.

Akhir kata, saya akan mengutip dua buah ayat dari kitab Kolose untuk menguatkan setiap kita mengerti arti penebusan dalam seluruh aspek hidup melalui kelimpahan firman Tuhan:

“Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.” (Kol. 3:17)

“Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kol. 3:23)

Martha Lastri Manurung
Pemudi FIRES

Endnotes:
[1] New Heart English Bible (NHEB)
[2] Lembaga Alkitab Indonesia (LAI)
[3] Poythress, Vern S. God-Centered Biblical Interpretation: Language as Imaging God. Hlm.52.