The Boy in the Striped Pyjamas

The Boy in the Striped Pyjamas merupakan judul sebuah film yang mengisahkan Bruno, seorang anak laki-laki dari seorang komandan tentara Nazi yang berteman dengan seorang anak laki-laki keturunan Yahudi yang sedang berada dalam Kamp Konsentrasi (di Auschwitz). Shmuel, nama anak Yahudi itu, berada di sana bersama dengan orang-orang dewasa Yahudi lainnya, termasuk ayahnya yang setiap saat dapat dieksekusi mati entah dengan dibakar, dimasukkan ke dalam ruang gas (Gaskammer), dibiarkan kepanasan dalam gerbong kereta api yang diisi padat manusia, dan lain-lain.

Setiap hari ketika Bruno bermain ayunan di halaman rumahnya, dia menyaksikan adanya kepulan asap membumbung tinggi keluar dari satu cerobong asap. Kepulan asap itu adalah hasil dari pembakaran orang-orang Yahudi di Kamp Konsentrasi itu. Suatu saat, Bruno mengikuti arah kepulan asap dan dia sampai di pagar berkawat dari kamp di halaman belakang. Di sana Bruno melihat seorang anak laki-laki seumurnya, Shmuel, sedang duduk di balik pagar berkawat dengan gerobak kecilnya (gerobak yang biasa digunakan untuk mengangkat pasir). Sejak itu terjadilah persahabatan antara kedua anak yang berbeda ras, tingkat ekonomi, sosial, dan politik; seperti bumi dan langit. Bruno kemudian rajin mengunjungi sahabatnya ini, Shmuel, dengan membawa bekal yang diambilnya dari rumahnya secara sembunyi-sembunyi. Tidak ada yang mengetahui tentang persahabatan “terlarang” itu. Singkat cerita, suatu hari ibu Bruno menyadari bahwa anaknya hilang. Rupanya Bruno pergi ke Kamp Konsentrasi itu, menerobos masuk dengan merayap melalui bawah pagar listrik yang sudah digali. Ia menukar baju dengan baju tahanan yang diberikan Shmuel kepadanya. Mereka ingin mencari ayah Shmuel namun mereka kemudian terperangkap di antara orang-orang dewasa yang sedang digiring tentara Nazi untuk dimasukkan ke dalam ruang gas kematian. Ibu Bruno meraung-raung ketika menyadari anaknya meninggal di dalam ruang gas itu. Cerita berakhir….

Bayangkan Anda sedang menonton film ini. Ikut sedihkah Anda? Ikut kasihankah Anda? Sedih kepada siapa? Sedih terhadap apa? Kasihan terhadap siapa? Kasihan terhadap apa? Anda ikut terharu ketika menyaksikan ibunya meraung-raung kehilangan anaknya? Atau segerombolan orang yang masuk ke dalam tabung gas kematian? Atau Shmuel dengan pakaian piyama bergarisnya? Kita mungkin menyetujui secara tidak sadar bahwa yang patut diterharukan dan dikasihani adalah si ibu dari Bruno yang meraung-raung dalam basahnya hujan pada akhir film. Kasihan anaknya ikut mati dalam ruang gas.

Mengapa ibu Bruno? Mengapa bukan yang lain? Mungkinkah karena ibu Bruno sebenarnya adalah potret kehidupan kita sehari-hari sehingga dengan cepat dan tidak sadar kita mengidentifikasikan diri kita dengannya. Kita adalah orang semacam itu yang cenderung tidak peduli akan keadaan di sekeliling kita sampai suatu hari peristiwa yang sama itu terjadi dalam kehidupan kita barulah kita peduli. Setiap hari kita berhadapan dengan peristiwa demi peristiwa, dari yang menyenangkan sampai yang mengenaskan. Peristiwa mengenaskan yang terjadi di sekeliling kita itu bisa saja membuat mulut kita mengeluarkan kata “kasihan”, tetapi sesungguhnya kita menganggap peristiwa itu wajar dialami, pantas dialami, apalagi kalau peristiwa menyedihkan itu terjadi pada orang yang tidak kita sukai.

Dalam film ini, sehari-hari keluarga Komandan Nazi ini mengetahui bahwa setiap hari ada orang Yahudi dalam Kamp Konsentrasi yang mati dibunuh karena asap yang keluar dari cerobong yang satu itu. Demikian juga istri Komandan yang setiap hari keluar rumah menyaksikan bumbungan asap itu telah menganggap itu hal yang biasa. Tetapi begitu tahu anaknya menjadi korban, menjadi bagian dari asap itu, ia meraung-raung sejadi-jadinya. Sedihkah dia akan kematian anak Yahudi itu? Tidak…. Sedihkah dia akan kematian sekelompok tawanan-tawanan Yahudi itu? Tidak…. Dia hanya sedih akan kematian anaknya. Kenapa? Karena itu adalah anaknya, sedangkan yang lain itu anak orang lain dan orang lain yang tidak ada hubungan dengan dia. Shmuel, teman Bruno, baginya hanyalah a boy ataupun the boy, bukan my boy.

Bukankah dalam kehidupan sehari-hari kita pun demikian? Ketika peristiwa itu terkait dengan kita dan keluarga kita, kita anggap itu sangat penting, itu luar biasa, itu harus diperhatikan, itu harus segera dikerjakan, itu harus diprioritaskan, itu yang terutama, yang lain boleh disingkirkan, yang lain itu biasa, yang lain itu memang harus seperti itu, yang lain itu tidak seberat persoalan ini, dan sebagainya. Semuanya begitu gampangnya terfokus pada saya dan keluarga saya. Sesungguhnya siapakah saya dan keluarga saya itu? Ketika Ibu Yesus dan saudara-saudara-Nya hendak menemui Dia, maka seorang berkata kepada-Nya: “Lihatlah, ibu-Mu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan berusaha menemui Engkau.” Tetapi jawab Yesus kepada orang yang menyampaikan berita itu kepada-Nya: “Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?”  Lalu kata-Nya, sambil menunjuk ke arah murid-murid-Nya: “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku!  Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” (Matius 12:46–50). Yesus mempunyai seorang ibu yang melahirkan-Nya. Ia juga mempunyai saudara-saudara yang adalah anak-anak ibu-Nya juga. Apakah Yesus kurang ajar terhadap ibu-Nya? Apakah Ia menyangkal bahwa mereka itu adalah ibu-Nya dan saudara-saudara-Nya? Tidak. Ayat ini hendak menunjukkan bahwa keluarga bukanlah semata terkait dengan darah dan daging yang fana ini. Tetapi keluarga yang sejati adalah mereka yang melakukan kehendak Bapa di sorga. Keluarga yang ada bersama kita sekarang, adalah titipan Tuhan yang tidak difokuskan untuk diri maupun keluarga tetapi semuanya terpanggil untuk memfokuskan diri kepada Allah, menjalankan panggilan Allah, dan menggenapkan kehendak Allah. Mereka yang tidak berbagian dalam darah dan daging kita secara fana ini juga adalah keluarga kita ketika mereka berbagian dalam melakukan kehendak Bapa di sorga. Kalau kita menyadari ini, maka seharusnya hidup kita bukan terfokus pada keluarga di dunia ini tetapi pada keluarga Kerajaan Allah. Bersama dengan seluruh orang kudus kita adalah keluarga Kerajaan Allah yang mengerjakan kehendak Bapa di sorga. Seluruh keberadaan diri kita masing-masing terarah kepada panggilan yang seharusnya dikerjakan sesuai kehendak Bapa di sorga. Dengan demikian diri bukan lagi yang utama, keluarga dunia bukan lagi yang utama, tetapi pekerjaan Allah harus dinyatakan dalam diri masing-masing keluarga Kerajaan Allah sehingga nama Allah dipermuliakan.

Bagaimanakah seharusnya kita hidup sebagai keluarga Kerajaan Allah? Kepedulian, perhatian, rasa belas kasihan jelas bukan semata untuk keluarga (dunia) sendiri tetapi terhadap seluruh keluarga Kerajaan Allah. Tetapi juga seluruh perhatian kita di antara keluarga Kerajaan Allah tidaklah hanya demi perhatian itu sendiri atau demi orang itu atau demi diri sendiri semata tetapi bagaimana melalui perhatian kita, anggota keluarga Kerajaan Allah itu diarahkan kembali kepada Tuhan sehingga seluruh keluarga dapat merespons Tuhan dengan benar melalui permasalahan yang sedang dihadapi.

Pdt. Samuel Ling1 dalam kuliahnya di Institut Reformed mengatakan, True counselling is painful. Love is painful. Kita membimbing orang, melayani orang, mempedulikan orang, memberikan perhatian kepada orang, bukan untuk membuat orang itu menjadi merasa nyaman, merasa terhibur, merasa lega, merasa diperhatikan, merasa dikasihi, dan sebagainya, tetapi bagaimana membuat orang itu berdiri di hadapan Tuhan menyadari dirinya orang berdosa dan sepenuhnya ia bergantung kepada Allah. Dari kesadaran diri dia di hadapan Tuhan itu yang membuat dia dapat merespons dengan benar hidup ini termasuk permasalahan yang sedang dia hadapi. Jenis konseling ini tidak disukai dan tidak populer karena manusia berdosa cenderung self-pity dan menjadikan diri sebagai fokus, menuntut diri untuk diperhatikan, dan sebagainya. Psikologi menjawab dari sisi ini, melalui semangat humanismenya memberikan perhatian, pengisian akan kebutuhan menjadi allah, kepuasan menjadi pusat. Tetapi justru konseling (Biblical Counselling) tidak boleh terjebak kepada sisi keberdosaan ini melainkan harus membereskannya dengan membereskan akar permasalahan yaitu dosa. Inilah konseling yang alkitabiah dan yang benar. Beliau mengatakan, konseling Kekristenan kini telah dimasuki humanisme modern sehingga sering kali yang diutamakan bukanlah orang itu kembali kepada Tuhan, tetapi bagaimana supaya orang itu merasa nyaman karena ada yang mengerti dia, memberi perhatian kepadanya dengan memberikannya ayat-ayat Alkitab dan mendoakan dia. Firman Tuhan dan doa dijadikan alat untuk mencapai tujuan diri menjadi fokus, diri menjadi pusat, diri menjadi yang utama. Akhirnya yang dikerjakan bukanlah konseling melainkan psikologi yang dibungkus dengan istilah Alkitab dan praktek rohani. Sekali lagi kita terjebak untuk hanya melihat kepada my boy. Diri saya yang paling penting, semua yang berhubungan dengan diri saya yang paling penting, bukan Kerajaan Allah, bukan keluarga Allah.

Kiranya renungan singkat ini menyadarkan kita akan kehidupan Kekristenan kita. Mari kita merenungkannya sekali lagi, sudahkah kita berespons secara benar di dalam kehidupan keseharian kita? Siapakah diri kita dalam kehidupan keseharian kita? Siapakah keluarga kita dalam kehidupan keseharian kita? “Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” Selamat menjalani kehidupan keluarga Kerajaan Allah!

 

Diana Samara

Pembina FIRES

 

 

 

Endnote:

1 Pdt. Prof. Samuel Ling, Ph.D. adalah Presiden dari China Horizon yang mempersembahkan dirinya untuk mengajar doktrin Alkitab di dunia Chinese. Beliau mengajar mata kuliah Theologi Sistematika, Theologi Biblika, Sejarah Gereja, Apologetika, Ibadah, dan Konseling Alkitabiah. Beliau ditahbiskan di Presbyterian Church in America (PCA). Beliau menjalankan pertumbuhan gereja di New York. Pada tahun 1990-an, beliau adalah pendeta senior dari Chinese Christian Union Church of Chicago, dan Direktur dari The Institute for Chinese Studies, Billy Graham Center, Wheaton College. Beliau adalah lulusan dari University of Pennsylvania (sejarah intelektual), meraih gelar Master of Divinity (M.Div.) dan Master of Theology (Th.M.) dalam bidang misi dari Westminster Theological Seminary; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam bidang sejarah dari Temple University. Keluarganya tinggal di Southern California. Beliau telah menulis ratusan artikel secara berkala seperti Chinese Around the World, Chinese Churches Today, Ambassadors, Challenger, and Momentum. Beliau telah mengajar di Covenant Seminary, Westminster Seminary California, Reformed Institute, Singapore Bible College, Wheaton College, Regent College, dan sekolah lainnya. Saat ini, beliau melayani sebagai profesor theologi historika dan sistematika di International Theological Seminary, El Monte, California.