Theology of The Cross

Pengantar

Keselamatan adalah pusat sejarah yang mengubah dunia makrokosmos secara universal dan dunia mikrokosmos secara particular dari progressively dying menjadi progressive sanctification. Titik balik manusia yang dying di hadapan Allah menjadi Allah yang sanctifying manusia adalah Justification dengan imputasi kebenaran Kristus pada manusia berdosa.

“Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.”

[Yesaya 53:4-5]

Justification (Pembenaran) dan Theology of the Cross (Theologi Salib, Latin: Theologia Crucis) tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain. Melalui imputasi kebenaran Kristus pada kita, sekaligus substitusi hukuman kita pada Kristus, terdapat paradoks kebenaran yang seolah-olah bertolak belakang. Justification baru terjadi atas diri kita sesudah penderitaan Kristus, di mana kita turut menderita, mati, dan bangkit bersama Kristus. Ini paradoks kemuliaan dalam penderitaan. Lebih lanjut, Theology of the Cross muncul dari pergumulan orang yang menegakkan justification by faith alone. Ya, pembaca Pillar yang akrab dengan pemikiran Martin Luther pasti secara otomatis sadar hanya dengan melihat judul artikel ini. Martin Luther selain mencetuskan reformasi yang menghapuskan indulgensia karena bertentangan dengan prinsip justification by faith alone, dalam pemikirannya di Heidelberg Disputation juga mencetuskan prinsip Theologi Salib yang akhirnya mengubah seluruh struktur theologi dan cara orang Kristen mengenal Allah. Akhirnya, justification pasti akan menuju kepada progressive sanctification di dalam penggenapan rencana Allah secara utuh baik personal, komunal, maupun kosmikal. Karena itu, sesudah membaca artikel-artikel Pillar bulan lalu dengan tema: Justification, maka sesuai dengan tema bulan ini kita akan membahas: Sanctification, di dalam pertumbuhan iman dan kehidupan Kristen. Sekarang, mari kita melihat sekilas biografi dari orang besar itu, Martin Luther.

Martin Luther adalah seorang anak penambang tembaga yang lahir pada tanggal 10 November 1483 di Eisleben, Jerman. Luther menempuh pendidikannya di sekolah hukum agar ia dapat menjadi seorang yang terkemuka sesuai dengan harapan ayahnya. Luther hampir merealisasikan harapan ayahnya tersebut dengan menjadi ahli hukum, namun jiwa dan kesadaran eksistensi Luther terhadap Tuhan tidak dapat terbendung lagi, sehingga akhirnya Luther memutuskan untuk masuk biara dan meninggalkan jalan menjadi ahli hukum terkemuka. Ini adalah secuplik latar belakang seorang yang biasa, namun karena kesadaran eksistensinya terhadap Tuhan begitu besar sehingga akhirnya ia menjadi orang yang dianugerahi Tuhan untuk mengubah sejarah keKristenan, bahkan sejarah dunia.

Paradoks Theologi Salib

Mark Shaw dalam pemikirannya tentang Martin Luther berpendapat bahwa Theologi Salib merupakan suatu visi bagi kebenaran[1]. Sama seperti Martin Luther, Mark Shaw juga menekankan bahwa segala sesuatu harus dilihat dari kacamata paradoks Theologi Salib.

Paradoks Allah

Atribut Allah seperti Maha Tahu, Maha Hadir, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Kasih dan seterusnya seperti terdiam di hadapan kenajisan salib. Kekotoran dan kekejian salib menyaring keluar semua atribut Allah dan meninggalkan Allah tergantung di atas salib. Kevakuman Allah yang pengertian, kevakuman hadirat Allah, kevakuman kuasa Allah, kevakuman keadilan Allah, dan kevakuman kasih Allah memuncak dalam sejarah alam semesta selama beberapa jam saat Kristus disalib. Allah memalingkan wajah-Nya dari Anak-Nya, Allah menarik hadirat-Nya dari Anak-Nya, Allah menarik kuasa-Nya, Allah memurkai Anak-Nya sendiri, Allah menarik kasih-Nya dari Anak-Nya yang Dia kasihi, dan Ia tidak menolong Anak-Nya. Mengapa Allah sebegitu tega, sebegitu inkonsisten dengan janji-Nya, sebegitu kejam dan bodoh? Itulah cinta kasih Allah kepada manusia. Allah bertindak seperti badut dalam kebodohan; salib menjadi lambang kebodohan, kelemahan, kehinaan, kejijikan, kenajisan, kekejian, kerusakan, kefatalan, dan kematian manusia; tetapi sesungguhnya Allahlah yang tergantung di sana.

Sesungguhnya, dalam paradoks salib inilah semua pernyataan di atas memiliki makna yang sebaliknya, yang tidak mungkin dimengerti oleh rasio manusia yang rusak dan belum dicerahkan; yang tidak mungkin diselami oleh hati manusia yang rusak dan belum disentuh oleh kasih Allah; dan yang tidak mungkin menjadi worldview manusia berdosa, karena mereka mati secara rohani dan worldview mereka berada dalam kuburan yang perlu dibangkitkan.

Justru salib yang hina dan remeh ini memiliki kuasa yang terbesar serta mengalahkan setan dalam drama kosmos. Allah hadir dan kuasa penetapan-Nya menopang terjadinya peristiwa salib. Allah mengetahui sedalam-dalamnya dan salib justru menjadi pusat dari rencana kekal Allah atas cinta kasih-Nya kepada manusia. Segala tuntutan keadilan Allah hanya dapat dipenuhi, dipuaskan, dan ditanggung oleh Kristus di atas kayu salib. Bukankah Allah sangat mengasihi manusia dan kasih yang terbesar adalah menyerahkan Anak-Nya supaya barangsiapa percaya dan melihat kepada-Nya  tidak binasa?

Paradoks Keselamatan

Allah menciptakan dan sangat mengasihi manusia. Allah menciptakan manusia dengan satu tujuan yaitu untuk memuliakan Dia selama-lamanya.

Manusia diciptakan dengan potensi hidup kekal. Dr. Samuel Ling mengatakan bahwa satu-satunya kemungkinan manusia untuk mencapai hidup kekal dengan usahanya sendiri adalah ketika ia belum jatuh dalam dosa dan diperhadapkan dengan pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat[2], walaupun anugerah Allah tetap ada sebagai Pencipta dan Pemberi hidup. Manusia juga diciptakan untuk bekerja dengan mandat budaya dan potensi menikmati hasil pekerjaannya, serupa dengan Allah yang melihat segala ciptaan-Nya baik adanya. Dengan menyelesaikan suatu usaha/pekerjaan, manusia menggenapi panggilan dan tuntutan yang ada pada dirinya. Karena dua konsep inilah, maka manusia secara natur selalu melihat usaha atau perbuatannyalah yang seharusnya memenuhi tuntutan Allah.

Sebagai imago Dei yang dicipta dengan sifat keadilan, manusia seharusnya mengerti bahwa tuntutan keadilan Allah tidak mungkin dipenuhi dengan keadaan manusia yang sekarang. Dengan jatuh ke dalam dosa, maka konsep manusia menjadi terdistorsi dan tidak memiliki jalan keluar. Semua agama buatan manusia selalu berusaha mencari keselamatan dari bawah ke atas yaitu dari usaha manusia untuk mencapai Allah.

Natur usaha manusia ini sangat nyata bahkan mempengaruhi soteriologi abad pertengahan, pre-reformasi, dan juga post-reformasi dengan soteriologi Arminianisme. Jika soteriologi abad pertengahan menekankan sistem panjat tangga agar manusia bisa mencapai union with Christ, maka soteriologi Arminianisme menekankan andil manusia dalam berespon terhadap anugerah keselamatan Allah melalui iman.

Ketidakterselamian Allah dalam karya keselamatan-Nyalah yang menjadikan salib keselamatan bersifat paradoks. Tuntutan keadilan Allah mutlak terpenuhi dan jalan menuju hidup kekal bagi manusia berdosa menjadi terbuka kembali. Allah dalam ketersembunyian dan ketidak-terdugaannya menetapkan jalan salib sebagai tanda pemersatu kesementaraan dan kekekalan. Status manusia dipulihkan menjadi budak kebenaran. Segala usaha manusia kini dilakukan bukan untuk mendapatkan keselamatan tetapi merupakan bentuk ketaatan yang disertai sukacita dan ucapan syukur.

Paradoks Realita

Allah adalah permulaan dari segala realita dan Diri-Nya realita. Sebelum dunia ada, tidak ada realita lain kecuali Allah. Allah adalah realita satu-satunya. Alam semesta ini diciptakan dalam Kristus dan ditopang oleh Kristus, sehingga segala realita alam semesta ini menjadi sinkron dan tidak lepas dari Sang Realita.

Allah, Sang Sumber Realita, yang menciptakan manusia, sangat mengasihi manusia, karenanya Ia rela menyatakan Diri-Nya agar manusia dapat mengenal “Siapakah Realita itu?”. Allah mewahyukan kebenaran kepada manusia sehingga manusia dengan rasionya yang terbatas dan berdosa dapat mengenal kebenaran. Manusia tidak lagi terhilang dalam kosmos, tetapi didamaikan dengan Pemilik dan Penguasa kosmos. Manusia tidak lagi menjadi anak yatim dalam alam semesta ini, tetapi memiliki Bapa yang melindungi, memampukan, memberikan arti, tujuan, dan arah hidup baginya.

Jika demikian, apa yang menjadi paradoks dari realita? Apa rahasia dibalik manusia yang terhilang kemudian kembali kepada Allah? Bahwa manusia yang bersembunyi di balik salib melihat pelangi kasih Allah dimana tuntutan murka Allah telah dihapus. Manusia yang berlindung di bawah naungan salib melihat Sang Realita yang sesungguhnya, yang penuh dengan paradoks dan sulit diselami oleh pikirannya. Manusia yang memiliki tanda salib dalam hidupnya dimeteraikan oleh Roh Kudus dan mengerti isi hati Allah, karena Roh Allah mengerti apa yang terdapat dalam diri Allah. Sebaliknya, manusia berdosa tidak akan pernah dan tidak akan mungkin mengerti Realita yang sejati karena pikirannya yang terbatas dan berdosa. Allah dalam ketersembunyian-Nya menyatakan rahasia bijaksana-Nya yang tertinggi melalui Roh-Nya dalam hati manusia. Hanya mereka yang berelasi dengan Allah saja yang diberi hak dan mampu mengetahuinya, karena Roh Kudus tinggal dalam hati mereka[3].

Realita salib membawa banyak sekali perubahan dan paradoks dalam worldview dan kehidupan orang Kristen. Suatu dimensi yang baru dimana kasih Allah mengalir dari tempat tertinggi ke tempat terendah dan menunggangbalikkan semua tatanan struktur kehidupan manusia. Kristus mengosongkan Diri-Nya[4] (kenosis) bahkan mengidentikkan Diri-Nya dengan orang yang paling hina[5]. Dengan wawasan realita yang baru ini, orang Kristen dalam progressive sanctification memiliki perseverance sebagai saints karena darah Kristus Yesus dalam realita paradoks salib.

Paradoks Penderitaan

Orang Kristen tidak mungkin luput dari penderitaan, karena Kristus pun menderita. Semangat inkarnasi dari Allah Tritunggal harus ditegakkan dan diteladani oleh setiap orang Kristen dalam realita the fall sampai keadilan dan kebenaran Allah ditegakkan secara utuh, sampai penggenapan dan konsumasi dari sejarah umat manusia. Lebih jauh lagi, keKristenan pasti memiliki musuh dan pasti menderita karena keunikannya dan sifatnya yang membawa pedang, dimana terjadi clash of worldview antara Kerajaan Sorga dan dunia ini.

Karena worldview Kristen dengan dunia ini berbeda total dan berlawanan, maka orang Kristen tidak akan luput dari penderitaan. Dunia ini dengan segala kuasanya akan selalu menindas, mengejek, menghina, mempermalukan, menekan, menyiksa, dan bahkan menghabisi orang Kristen. Tetapi, berlanjut dari perseverance of the saints pada poin paradoks realita sebelumnya, maka hidup orang Kristen tidak akan pernah menyerah[6], tidak akan pernah bisa kalah, dan selalu menang bahkan lebih dari pemenang![7] Allah yang menjadi pembela kita, siapakah yang dapat mengalahkan-Nya? Terlebih lagi, segala sesuatu dikerjakan Allah demi kebaikan kita[8]. Tetapi, apakah orang Kristen menjadi bersemangat triumphalistik sebagaimana kalangan Theologi Kemuliaan (theologia gloriae)? Tidak! Justru kemenangan yang dimaksud sekali lagi harus kembali pada konsep paradoks salib, di mana kemenangan diraih melalui “kekalahan”. Allah yang membela kita adalah Allah yang memakai paradoks salib, jalan kematian, untuk menunjukkan kuasa-Nya yang mengalahkan maut. Contoh yang paling lengkap dan indah terletak pada kalimat Paulus: Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami.”[9] Paulus bagaikan bola elastis yang akan memantul semakin tinggi ketika dibanting semakin keras. Orang Kristen dengan iman bersandar kepada Tuhan, dengan tenang dan stabil akan bangkit kembali di tengah-tengah penderitaan. Orang Kristen tidak dapat dihancurkan maupun dikalahkan oleh kuasa apapun, sebaliknya semakin ditindas semakin berkembang.

Orang Kristen yang dipermalukan (shame) karena salib Kristus, justru mendapatkan kemuliaan (glory) tertinggi. Di tengah-tengah kelemahan (weakness) terletak kekuatan (strength) terbesar. Apa yang dianggap dunia ini sebagai kebodohan (folly), Tuhan menjadikannya lebih berhikmat (wisdom) dari dunia. Ia sendiri tidak akan terkulai ataupun pudar sampai hukum di bumi ini ditegakkan, sampai kehendak Allah di dunia ini digenapkan, sampai kerajaan Allah dan pemerintahan-Nya dinyatakan di muka bumi ini. Karena itulah Dia membuktikan bahwa Dia layak disandari, dan Dia satu-satunya yang layak menerima segala hormat, pujian, dan kuasa. Betapa kemuliaan salib bersifat sakramental karena Tuhan mengangkat salib yang hina menjadi mulia. Bertolak dari salib, betapa manusia berdosa dalam kondisi yang papa diangkat kembali menjadi anak-anak Allah yang mulia, warga Kerajaan Sorga, mahkota ciptaan, dan dijanjikan mahkota kehidupan.

Paradoks Kebenaran

Paradoks Allah, Paradoks Realita, dan Paradoks Kebenaran saling berkaitan satu dengan lain. Pertama, Allah adalah Allah. Kedua, Allah adalah satu-satunya Diri-Nya Realita, Sang Realita, Sumber Realita yang menjadi permulaan segala realita yang lain. Dan ketiga, Allah adalah satu-satunya Diri-Nya Kebenaran, Sang Kebenaran, Sumber Kebenaran yang menjadi dasar epistemologis, dasar presuposisi, dan dasar pengetahuan bagi segala kebenaran dan pengetahuan yang lain, termasuk interpretasi akan kebenaran dan pengetahuan itu.

Berbicara secara ontologis, maka Allah adalah Allah, penurunan berikutnya adalah Allah adalah Realita, dan lebih jauh lagi, Allah adalah Kebenaran. Implikasi Theologi Salib Luther secara khusus berkaitan dengan kebenaran doktrinal, di mana pengertian dan struktur doktrinal yang sudah ditegakkan sejak abad pertengahan, harus dilihat dan dirombak ulang melalui kacamata Theologi Salib. Sedemikian dalamnya Theologi Salib mentransformasi pemikiran Luther mengenai Allah, keselamatan, realitas, dan penderitaan sehingga ia menyatakan, “Salib itulah satu-satunya theologi kita”[10].

Luther menganggap salib sebagai aksioma dari semua theologi yang lain, pandangannya mengenai wahyu lebih restriktif karena perspektif Theologi Salib, seperti yang dikatakan Carl Trueman: “… Luther sees God’s revelation of himself as axiomatic to all theology… Luther, however, had a dramatically restrictive view of revelation. God revealed himself as merciful to humanity in the Incarnation, when he manifested himself in human flesh, and the supreme moment of that revelation was on the cross at Calvary.”[11]

Kemuliaan Theologi Salib telah membungkam dan menghentikan semua dalih usaha pencapaian manusia demi kelayakan di hadapan Allah. Kita telah melihat perkembangan theologi dari kacamata zaman ini sebagaimana dikatakan oleh Pdt. Stephen Tong bahwa alam semesta memang adalah wahyu Allah; tetapi rasio manusia itu terbatas dan sudah tercemar dosa; dan budaya itu hanyalah respon eksternal manusia terhadap wahyu umum Allah, bukan wahyu itu sendiri. Tetapi jika mau melihat konteks zaman Luther hidup, maka theologi natural Thomas Aquinas dari Abad Pertengahanlah yang dominan, di mana rasio manusia saat itu dapat mencapai kebenaran adikodrati. Dimensi ultimat dari anugerah dan ucapan syukur dipuncakkan oleh Theologi Salib sebagai penyeimbang dari segala usaha dan pencapaian manusia berdosa yang merupakan tuntutan Allah atas manusia sebagai natur dari penciptaan. Keseimbangan inilah yang menjadi paradoks di mana anugerah dan ucapan syukur harus diisi dan dikerjakan, sebagaimana Paulus mendorong jemaat Filipi untuk mengerjakan keselamatan mereka dengan takut dan gentar, itulah hidup pelayanan orang Kristen sejati[12].

Paradoks Pelayanan

Jika Paradoks Allah, Paradoks Realita, dan Paradoks Kebenaran berkait satu sama lain, maka Paradoks Keselamatan, Penderitaan, dan Pelayanan merupakan turunan implikasi dari tiga serangkai yang pertama dalam perspektif Theologi Salib. Pertama, Allah melakukan karya keselamatan. Kedua, Realita yang ada dalam karya keselamatan Allah adalah realita penderitaan yang secara sakramen mengubah kehidupan manusia berdosa dan kosmos yang terkutuk, karena penebusan universal Kristus. Penderitaan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, penderitaan berperan dalam pertumbuhan ke arah Kristus sesuai dengan rencana Allah yang paralel dengan Yohanes 9:3 dan Roma 8:28. Dan ketiga, Realita Penderitaan dari Allah yang adalah kebenaran, mau tidak mau menjadi substansi yang menembusi, merembesi, atau mengkhamirkan setiap sumsum dan bagian dari kehidupan manusia dalam kosmos ini yang adalah pelayanan kepada Allah. Dimulai dari inisiatif Allah melalui keselamatan dan dikembalikan oleh manusia kepada Allah melalui pelayanan untuk memuliakan Allah. Suatu siklus yang indah seperti pemikiran Jonathan Edwards dimana manusia diikutsertakan dalam radiant emanasi karya Allah.

Pelayanan penderitaan adalah mutlak dalam kehidupan orang Kristen seperti yang telah dibahas sedikit dalam bagian Paradoks Penderitaan di atas. Kristus dalam kenosis adalah contoh teragung dari pelayanan penderitaan Kristus; Ia lahir dengan meminjam kandang binatang, mengungsi ke negeri asing, tidak mempunyai tempat meletakkan kepalanya, meminjam keledai dan ruang atas untuk persiapan Paskah, memungut uang dari mulut ikan untuk membayar kebutuhan-Nya. Tetapi puncaknya adalah salib di mana Ia memikul dosa dunia, Ia diejek, dihina, disiksa, diludahi, difitnah, diperlakukan tidak adil, Ia mengalirkan darah mengganti dosa umat manusia. Paulus dengan begitu indahnya menggambarkan pelayanan penderitaan sebagai harta rohani mulia dalam bejana tanah karena kasih-Nya.

Paradoks Pelayanan mirip dengan konsep “On Loving God” dari Bernard Clairvaux di mana kasih yang tertinggi adalah: ”Loves self for God’s sake”[13]. Manusia menderita demi Tuhan, tetapi justru dalam penderitaannya terpancar keluar air hidup yang limpah akan sukacita. Penderitaan secara ajaib bersekutu dengan kebahagiaan dalam pelayanan. Keindahan ini terpancar dalam kehidupan Kristus dan Paulus dalam pelayanan mereka, seperti untaian kata mutiara mereka berikut: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. … sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita.[14] Sekarang jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini. Bapa, muliakanlah nama-Mu![15]” [Yesus Kristus]

“… ketika dianggap sebagai penipu, namun dipercayai, sebagai orang yang tidak dikenal, namun terkenal; sebagai orang yang nyaris mati, dan sungguh kami hidup; sebagai orang yang dihajar, namun tidak mati; sebagai orang berdukacita, namun senantiasa bersukacita; sebagai orang miskin, namun memperkaya banyak orang; sebagai orang tak bermilik, sekalipun kami memiliki segala sesuatu.[16]” [Paulus]

Sola Gratia. Soli DEO Gloria.

 

Lukas Yuan Utomo

Redaksi Bahasa PILLAR


[1]     Shaw, M. Sepuluh Pemikiran Besar dari Sejarah Gereja. Surabaya: Momentum, 2003.

[2]     Ling, Samuel. Lecture Notes of ‘The Knowledge of God: The Incomprehensibility of God and The Knowability of God’ Seminar in Singapore. [30-08-2008]

[3]     1 Kor. 2:11.

[4]     Flp. 2:7.

[5]     Mat. 25:40.

[6]     Shepherd, V. Luther’s Theologia Crucis.

         Diambil dari: http://www.victorshepherd.on.ca/Course/John%20Calvin/the_theology_of_john_calvin145.htm  [pada tanggal 31-08-2008]

[7]     Rm. 8:37.

[8]     Rm. 8:28.

[9]     2Kor. 4:8-10.

[10]    Shaw, M. Sepuluh Pemikiran Besar dari Sejarah Gereja. Surabaya: Momentum, 2003, hal. 33.

[11]    Trueman, C. R. Luther’s Theology of the Cross. Pennsylvania: New Horizon, 2005.

          Diambil dari: http://www.opc.org/new_horizons/NH05/10b.html [pada tanggal 31-08-2008]

[12]    Flp. 2:12.

[13]    Clairvaux, B. On Loving God.

          Diambil dari: http://people.bu.edu/dklepper/RN413/bernard_loving.html [02-09-2008]

[14]    Yoh. 4:34, 36b.

[15]    Yoh. 12:27-28a.

[16]    2Kor. 6:8b-10.