What’s So Good About the Good News?

Sewaktu Anda memberitakan Injil, sebenarnya apakah yang ‘baik’ di dalam ‘kabar baik’ yang Anda komunikasikan itu? Ketika dahulu Anda ‘menerima panggilan keselamatan’ apakah sesungguhnya yang sedang Anda ‘terima’ itu? Ketika kita mengajak kawan-kawan untuk semakin terlibat di dalam kehidupan gerejawi dan pelayanannya, sesungguhnya kita sedang mengajak mereka untuk melibatkan diri pada suatu usaha ‘apa’?

Pertanyaan-pertanyaan ini sangatlah mendasar, maka dapat kita duga, seperti yang biasa terjadi pada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang lain, ada banyak sekali jawaban yang telah dipikirkan orang. Jawaban-jawaban yang jelek telah tersaring dengan sendirinya. Jawaban-jawaban yang bagus juga telah makin terasah dengan baik seiring proses perdebatan yang menajamkan kalimat-kalimat atau istilah-istilah yang kurang tepat dalam jawaban-jawaban tersebut. Maka setelah 2.000 tahun kekristenan, jawaban-jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan mendasar ini telah mengkristal mendekati kesempurnaan di dalam pengakuan-pengakuan iman dan katekismus-katekismus gerejawi. Jika kita cukup sabar dengan detil-detil logis dan cara-cara pengungkapan yang dalam beberapa kasus sudah tidak up to date lagi dengan konteks zaman kita, maka kita akan menyadari bahwa pengakuan-pengakuan iman dan katekismus-katekismus klasik itu adalah gudang harta karun warisan nenek-moyang iman kita yang telah sering kita abaikan.

Jawaban yang bagus, yang telah mengkristal seperti ini, memiliki problem khasnya sendiri. Karena jawaban-jawaban ini telah diterima oleh pihak-pihak yang diakui otoritasnya secara luas, maka bagian terbesar populasi akan mulai mengutip dan mengedarkan jawaban-jawaban bagus tersebut di dalam konteks percakapan mereka masing-masing. Seringkali hal ini dilakukan tanpa pemahaman mendalam mengenai konteks perdebatan semula yang memunculkan jawaban-jawaban tersebut. Penerapan lintas konteks seperti ini tentu tak dapat dihindarkan, tetapi tanpa pemahaman yang cukup tentang konteks munculnya formulasi-formulasi otoritatif tersebut maka jawaban-jawaban tersebut tinggal menjadi sekedar slogan belaka. Dan slogan dapat dimuati dengan aneka ragam makna yang saling bertentangan. Celakanya, sebagian besar populasi cenderung tidak mau meluangkan waktu mereka (yang memang sempit dan berharga) untuk mencermati setiap perdebatan dengan mendetail. Maka hasilnya slogan-slogan otoritatif yang ditempelkan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak cocok menjadi sebuah ironi, pemiskinan kristal-kristal warisan iman kita itu.

Contoh nyata dari pemiskinan warisan iman Kristen yang diperlakukan sebagai slogan yang ditempelkan pada konteks yang tidak cocok adalah soteriologi yang dilepaskan dari konteks historisnya, yaitu: pengharapan eskatologis umat Israel. Soteriologi sesungguhnya tak dapat dilepaskan dari ajaran mengenai penciptaan, doktrin manusia, dan eskatologi yang dipercaya oleh umat Allah di zaman Yesus dan gereja mula-mula. ‘Keselamatan’ dan ‘hidup yang kekal’ seringkali menjadi jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan dalam paragraf pembuka artikel ini. Kabar baik yang kita beritakan adalah: “Keselamatan telah tiba di dalam Yesus dan kini Anda dapat memperolehnya dengan cuma-cuma.” Yang Anda ‘terima’ atau ‘tawarkan’ dalam pemberitaan Injil tersebut adalah ‘keselamatan dan hidup yang kekal’ melalui karya penebusan Sang Kristus di Golgota. Dan kita makin melibatkan diri dan kawan-kawan semakin jauh ke dalam serangkaian usaha untuk menyebarluaskan berita mengenai ‘keselamatan’ ini kepada orang-orang yang belum pernah mendengarnya atau masih belum mau percaya kepada berita itu.

Coba cermati apa yang sesungguhnya Anda maksudkan dengan istilah ‘keselamatan’ atau ‘hidup kekal’ dalam jawaban-jawaban bagus tersebut? Jika yang Anda maksudkan dengan ‘selamat’ adalah ‘aku tidak dihukum di neraka’ maka Anda hanya memahami sepertiga dari ‘jawaban Tuhan di kayu salib atas problem utama manusia’ versi Paul Tillich, seorang profesor Philosophical Theology ternama dari Union Theological Seminary. Sepertiga jawaban ini menjawab ketakutan kita akan kematian. Dua pertiga jawaban yang lain, menurut Tillich, adalah menjawab kegalauan kita yang bersumber dari ‘rasa bersalah’ dan ‘kesia-siaan hidup’. Jika kita meninjau konteks sejarah dan sifat kesejarahan dari berita Injil, maka kita akan menyadari, ketiga jawaban Injil bagi Tillich inipun hanya menyentuh dimensi eksistensial dari Injil. Keselamatan bukan hanya berurusan dengan kerisauan-kerisauan Anda pribadi (yang tentu dibentuk oleh struktur praxis dan worldview dari masyarakat modern). Keselamatan yang dinantikan oleh umat Israel (yang akhirnya digenapi di dalam karya Yesus dari Nazareth) bukan sebatas urusan ketakutan-ketakutan atau kegalauan-kegalauan pribadi para murid, tetapi ini adalah jawaban Tuhan atas ‘apa yang salah’ di dalam alam semesta dan sejarah seluruh generasi umat manusia. Karya penebusan Kristus itu menggenapi rencana penebusan Sang Pencipta bagi seluruh tatanan ciptaan. Kita ini bukan diselamatkan dari ciptaan (seperti diasumsikan oleh orang-orang yang berpandangan asketisme extra-mundane) tetapi sebagai bagian dari ciptaan (seperti diasumsikan oleh mereka yang memiliki spiritualitas intra-mundane). Singkatnya, jangan hanya mengaitkan keselamatan dengan nasib pribadi belaka, tetapi juga di dalam konteks komunitas, sejarah umat manusia, dan alam semesta.

Setiap kali Alkitab menggunakan istilah ‘keselamatan’ ia mengacu kepada semacam ide yang khas, yang tidak tentu sama dengan ide kita di zaman ini ketika memakai istilah yang sama. Ide ‘keselamatan’ di dalam Alkitab berkenaan dengan kemuliaan seluruh tatanan ciptaan ketika Tuhan menciptakannya. Allah Israel itu begitu mulia sehingga diperlukan segenap ciptaan dan seluruh generasi umat manusia dengan seluruh bakat dan pekerjaan yang dilakukan mereka untuk dapat sedikit memancarkan kemuliaan Tuhan itu. Masalahnya, pemberontakan yang dilakukan umat manusia telah merusak kemuliaan semula itu. Pekerjaan penebusan yang direncanakan, telah dan sedang dilakukan oleh Allah di dalam Kristus bertujuan memulihkan kemuliaan itu dalam seluruh kegemilangannya. Bayangkan sebuah dunia tanpa air mata duka. Tidak ada ketidakadilan. Tidak ada kematian dan kesia-siaan. Atau dalam bahasa modern, tidak ada saham yang digoreng untuk menguntungkan sejumput orang dan menyengsarakan mayoritas, tidak ada pengangguran atau buruh yang digaji kurang atau mendapat perlakuan tak manusiawi, tak ada demo buruh yang menyudutkan pelaku usaha yang sudah tersudut oleh kompetisi dan gonjang-ganjing pasar, tak ada perempuan yang dieksploitasi dan dinilai hanya oleh kemampuannya membangkitkan birahi sang penatap, tak ada lelaki yang dinilai hanya berdasarkan gaji dan pengaruhnya belaka. Bayangkan sebuah masyarakat ideal yang bikin utopia Marx dan para Marxist pun terlihat sebagai eksploitasi. Sebuah masyarakat ideal yang bikin mimpi para kapitalis terdengar sebagai nafsu murahan kaum gelandangan yang tak punya selera. Mimpi utopia ultimat macam beginilah yang sedang, sudah, dan akan diwujudkan Tuhan di bumi ini. Inilah keselamatan yang dijanjikan Tuhan kepada umat Israel, kepada keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub. Keselamatan yang sampai ke ujung bumi, sehingga keturunan Abraham menjadi penyalur berkat-berkat Tuhan bagi segala bangsa.

Sebuah metafor mungkin dapat memperjelas hal ini. Kehidupan ciptaan Tuhan ini adalah sebuah doxology, dan umat manusia mungkin dapat dianalogikan sebagai para penyanyi koor dalam sebuah orkestra (orkestranya adalah seluruh ciptaan). Glorifikasi adalah bagian dari rangkaian tindakan penebusan Tuhan baik di dalam diri tiap orang percaya, di dalam gereja sebagai jejaring komunitas iman, maupun di dalam alam semesta secara keseluruhan untuk membawa sejarah kepada titik kegenapannya yang mulia. Secara tradisional, ajaran mengenai glorifikasi ini diambil dari rangkaian tindakan Roh Kudus dalam mengaplikasikan keselamatan pada tiap-tiap individu orang percaya (ordo salutis) sebagaimana dituliskan Paulus dalam Roma 8:28-30,

“Kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.”

Dalam konteks pembicaraannya di surat Roma, rangkaian ‘pekerjaan Allah dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia’ ini adalah bagian dari berita pengharapan yang dinyatakan Paulus bagi mereka yang ‘menderita bersama-sama dengan Kristus’ dalam tatanan dunia yang jatuh ini (Roma 8:17-21). Jika dalam tatanan dunia sekarang ini ‘menderita sebagaimana Kristus juga menderita’ maka kita ini sedang ‘dipermuliakan bersama-sama dengan Dia’ (ay. 17). Proses pemuliaan umat pilihan tidak terlepas dari proses pemuliaan ‘segala mahluk’ (all creation – ktisis) dalam ayat 19. Soteriologi kita harus diarahkan oleh eskatologi dan mencakup seluas ciptaan. Kiranya kesadaran akan shalom yang menjadi konteks janji keselamatan Tuhan ini menjadi arahan dasar pemberitaan Injil kita, pelayanan kita sebagai tubuh Kristus, dan spiritualitas yang kita jalani sebagai umat Tuhan di zaman ini.

Ev. Yadi S. Lima

Pembina Pemuda GRII Pondok Indah