With Me or Against Me

Siapa yang tidak pernah mendengar tentang khotbah di bukit (Sermon on the Mount)? Khotbah di bukit merupakan pengajaran Yesus Kristus yang lebih dalam dan jauh melampaui tradisi dan Hukum Taurat yang saat itu dipercaya, dipegang kuat, dan dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh orang-orang Yahudi. Khotbah di bukit memberikan kontras antara karakteristik orang-orang yang hidup sesuai dengan panggilan Kerajaan Allah dan kerajaan dunia. Khotbah di bukit juga menguraikan karakter Allah Bapa yang penuh kasih dan peduli akan umat-Nya. Kita bisa membayangkan mereka yang mendengarkan Yesus berkhotbah tentang Matius 5 dan 6 pastilah sangat takjub akan pengajaran-Nya, akan hikmat dan kuasa-Nya yang tidak pernah mereka jumpai sebelumnya.[1] Mata mereka selalu memandang kepada-Nya dan telinga mereka selalu terbuka untuk mendengarkan pengajaran-Nya. Dari yang muda hingga yang tua duduk berjam-jam mengelilingi-Nya dan selalu menunggu-nunggu perkataan apa lagi yang akan keluar dari mulut-Nya. Dan sampailah mereka pada pengajaran Yesus di dalam Matius 7, di mana Yesus mau agar setiap pendengar-Nya membuat sebuah pilihan atas segala hal yang baru saja didengarkannya. Pasal 7 bukanlah pasal yang berdiri sendiri, tetapi menjadi konklusi dan penutup dari khotbah di bukit. Pada akhirnya Yesus hanya memberikan dua pilihan kepada para pendengar-Nya, yaitu “You are either with Me or against Me.” Tidak ada netralitas atau jalan tengah. Dan tidak ada orang yang dapat memilih kedua-duanya secara bersamaan. Ini merupakan sebuah finalitas yang harus dipilih. Itulah kekristenan yang diajarkan oleh Tuhan Yesus Kristus sendiri.

Di dalam Matius 7, Yesus memberikan peringatan-peringatan yang begitu keras kepada murid-murid-Nya, orang-orang awam, dan juga para petinggi agama Yahudi yang saat itu berada di sana. Tidak ada peringatan yang lebih keras yang pernah diberikan Tuhan Yesus bagi setiap orang yang mau mengikut-Nya dibandingkan pasal 7 ini. Peringatan-peringatan tersebut dapat kita renungkan dalam beberapa hal sebagai berikut:

Dua Macam Jalan dan Pintu
“Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya.” – Matius 7:13-14

Terjemahan bahasa Inggris memberikan arti yang lebih jelas, “Enter by the narrow gate. For the gate is wide and the way is easy that leads to destruction, and those who enter by it are many. For the gate is narrow and the way is hard that leads to life, and those who find it are few.” (ESV)

Di zaman modern ini, banyak orang merelativisasikan hal yang mutlak dan memutlakkan hal yang relatif. Anggapan bahwa semua agama adalah sama sudah menjadi hal yang umum, terutama ketika kita sedang melakukan penginjilan pribadi. Mereka menganggap bahwa untuk memperoleh keselamatan sebenarnya ada banyak jalan. There are a lot of ways going to the same destination. Sehingga tidaklah heran jikalau banyak orang yang tidak memikirkan secara serius jalan apa yang sedang dilaluinya, karena toh mereka berpikir bahwa pada akhirnya mereka akan sampai di tujuan yang sama. Begitu jugakah kita, orang Kristen? Tentu tidak! Kita pasti dapat secara gamblang menolak hal tersebut. Dengan mengacu kepada ajaran yang murni tentang Alkitab kita dapat menjelaskan dengan pasti bahwa hanya Yesuslah satu-satunya jalan keselamatan. Tidak ada jalan alternatif di luar diri Yesus Kristus. Dan itulah mengapa Alkitab mengatakan bahwa pintu itu begitu sempit, karena Yesuslah pintu itu! Tetapi kekristenan tidaklah hanya membicarakan urusan pintu yang sempit dan satu-satunya jalan keselamatan di dalam Yesus Kristus. Kekristenan tidak hanya berhenti sampai pada seseorang yang tadinya berdosa, kemudian bertobat dan mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Kekristenan lebih daripada itu.

Ingatlah juga bahwa setelah memasuki pintu yang sempit itu, kita juga masih akan menemukan jalan yang begitu sulit (sempitlah jalan diterjemahkan sebagai the way is hard). Kita akan menemukan bahwa jalan itu tidak rata, mungkin berbatu-batu, dan banyak kerikil yang akan membuat kaki kita kesakitan ketika menapakinya. Kita mungkin akan jatuh tersandung dan terluka, bahkan tidak jarang kita ingin berputar arah dan berjalan melalui jalan yang lebar. Tetapi ingatlah bahwa di ujung jalan yang sempit itu ada kehidupan.

Seseorang yang hendak pergi berpetualang ke daerah Antartika akan mengenakan perlengkapan yang mendukung, seperti topi kupluk di kepala, baju dingin berlapis-lapis yang kemudian ditutup dengan jaket berbulu yang tebal, sarung tangan kulit, sepatu boot tahan dingin, tas ransel besar, serta GPS di saku kanan dan smartphone di saku kiri. Dan tibalah orang tersebut di hadapan sebuah lorong yang kecil dan sempit sebelum dia dapat sampai ke tempat tujuan yang ada di baliknya. Apa yang harus dilakukannya? Ia mulai melepaskan tas ranselnya dan mencoba untuk masuk. Tetapi gagal karena ukuran lorong itu masih terlalu sempit! Dan dia pun mulai melepaskan jaket yang tebal, sarung tangan, sepatu boot, dan semua gadgets-nya. Masih tidak bisa! Hanya kurang sedikit lagi. Sehingga akhirnya dia harus melepaskan semua baju dingin tebal yang berlapis-lapis untuk masuk ke dalam lorong itu dengan telanjang sambil menggigil kedinginan. Begitukah kita mengikut Tuhan? Bagaimana dengan hal-hal yang mungkin telah menjadi berhala kita selama ini sehingga kita sulit mengikut Tuhan? Sudahkah kita sungguh-sungguh melepaskan segala hal yang merintangi kita untuk mengikut Tuhan?

Yesus pun mengatakan bahwa untuk mengikut Dia, kita harus menyangkal diri dan memikul salib,[2] melepaskan segala kepunyaan kita,[3] tetapi juga tidak lupa melakukan perhitungan yang matang seperti seseorang yang mau mendirikan bangunan,[4] dan seperti raja yang hendak maju berperang.[5] Pernahkah kita menyadari segala konsekuensi yang mungkin akan kita hadapi sebelum kita mau dengan sungguh-sungguh mengikut Yesus? Yesus begitu fair. Dia tidak sedang menjebak dan menipu para pengikut-Nya. Dia mau orang yang mengikut-Nya membuat suatu pilihan yang sudah dipikirkannya terlebih dahulu.

Dua Macam Orang Kristen
“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” – Matius 7:21-23

Di dalam khotbahnya,[6] Tim Keller mengatakan bahwa saat kita berada di dalam jalan yang sempit itu sekalipun, kita perlu membedakan antara dua macam orang, yaitu orang Kristen sejati dan orang Kristen palsu. Tim Keller mengatakan bahwa paling tidak ada tiga ciri yang sama-sama dimiliki oleh kedua macam orang tersebut (There are three traits shared by authentic and non-authentic Christians):

  1. Orthodoxy of Doctrine
    Di dalam ayat 21, dikatakan bahwa pada hari terakhir banyak orang akan berseru, “Tuhan, Tuhan!” atau “Lord, Lord!”. Kata Lord berasal dari terjemahan bahasa Yunani Kurios. Di dalam Alkitab Perjanjian Lama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani (atau yang biasa dikenal sebagai Septuaginta atau LXX), istilah Yahweh atau Jehovah diterjemahkan sebagai Kurios. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa kedua macam orang tersebut sama-sama mengakui Yesus sebagai Anak Allah dan Tuhan mereka.
  2.   Emotionally Involved
    Di dalam ayat 21, kata “Tuhan” diulang sebanyak dua kali “Tuhan, Tuhan!” Di dalam tatanan bahasa Semitik, pengulangan nama menunjukkan adanya intensitas emosi. Kita melihat beberapa contoh di dalam Alkitab bahwa pengulangan nama seseorang menunjukkan adanya suatu kedekatan relasi antara kedua pihak yang berbicara. Kita pernah membaca di dalam Perjanjian Lama ketika Daud berseru, “Anakku Absalom, anakku, anakku Absalom!” Atau juga di dalam Kitab Injil ketika Tuhan Yesus berkata, “Marta, Marta” dan, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa kedua macam orang tersebut sama-sama mengaku bahwa diri mereka memiliki relasi dengan Tuhan.
  3.   Active in Service
    Di dalam ayat 21 juga dikatakan bahwa orang yang berseru “Tuhan, Tuhan” mengklaim bahwa diri mereka melakukan pelayanan yang begitu penting: bernubuat demi nama Tuhan, mengusir setan demi nama Tuhan, dan mengadakan mujizat demi nama Tuhan. Mereka melakukan pelayanan-pelayanan di dalam nama Tuhan dan mungkin oleh karena mereka, tidak sedikit orang yang dibawa kembali kepada Tuhan. Di dalam pelayanan gerejawi, mungkin mereka adalah orang-orang yang secara aktif berada di garis depan pelayanan baik itu penginjilan, pengajaran, ibadah, dan sebagainya. Mereka adalah orang-orang yang mengaku dengan mulut mereka bahwa mereka adalah pelayan-pelayan Tuhan.

Secara kasat mata kita hampir tidak bisa membedakan mana orang Kristen yang sejati dan mana orang Kristen yang palsu. Tim Keller memberikan sebuah kesimpulan, “The absence of the three traits demonstrates that you are not a Christian but the presence of the three traits does not demonstrate that you are.”

Kita mungkin tidak akan dapat membedakan kedua macam orang tersebut pada masa ini. Dan ini juga selaras dengan perumpamaan tentang lalang di antara gandum yang dibiarkan untuk bertumbuh bersama-sama.[7] Kedua macam orang tersebut akan dinyatakan kelak ketika pada hari terakhir Yesus berseru dengan lantang bahwa “I never knew you!

Ketika Adam bersetubuh dengan Hawa,[8] dikatakan di dalam terjemahan bahasa Inggris sebagai “Adam knew Eve.” Kata knew di sini mengartikan adanya sebuah relasi. Sehingga ketika Yesus berkata, “I never knew you!” itu bukan berarti Dia tidak tahu siapa mereka oleh karena nama mereka tidak ada di dalam daftar ciptaan-Nya. Dia pasti tahu seluruh manusia yang telah dicipta-Nya. Tetapi kalimat “I never knew you!” sama seperti ketika Tuhan berkata, “Aku tidak pernah mempunyai relasi dengan engkau!” Ini dikatakan Yesus karena pada dasarnya mereka “tidak melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” Ini berarti bahwa orang yang mengaku berelasi dengan Yesus adalah orang-orang yang seharusnya melakukan kehendak Bapa di sorga. Oh, betapa kerasnya perkataan Yesus! Perkataan Yesus bukan hanya suatu teguran tetapi juga suatu penghakiman bagi orang-orang yang mengaku diri mengenal Tuhan tetapi tidak pernah melakukan kehendak Bapa di sorga.

Dua Macam Dasar
“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu… Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir…” – Matius 7:24-26

Tuhan Yesus menggambarkan kedua macam orang Kristen ini ibarat dua macam rumah. Kita dapat membayangkan bahwa rumah pada zaman Yesus memiliki bentuk yang tipikal dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Tidak seperti rumah pada zaman sekarang yang dibangun dari beton bertulang dan batu bata, rumah pada zaman dulu pastilah sangat sederhana dan mungkin hanya dibangun dari batu-batuan yang ditumpuk dan disusun dengan begitu padat. Dari luar, rumah yang satu dan yang lain terlihat sama. Arsitektur maupun strukturnya terlihat sama persis. Tetapi tidak seorang pun yang tahu fondasi dari tiap rumah yang dibangun; ada rumah yang dibangun di atas pasir (sand) dan ada rumah yang dibangun di atas batu (diterjemahkan sebagai batu karang/rock bukan batu-batuan/stone).

Ketika Tuhan Yesus berbicara tentang kedua macam rumah ini, kita perlu tahu bahwa rumah tersebut dibangun di daerah yang sama, karena kedua rumah tersebut dilanda hujan, banjir, dan angin yang sama. Dengan demikian, kedua rumah tersebut pastilah dibangun di atas profil geologis yang sama. Jadi, tidak mungkin jikalau rumah yang satu didirikan di atas pasir oleh karena permukaan tanahnya adalah pasir, dan rumah yang satu lagi didirikan di atas batu oleh karena permukaan tanahnya adalah batu. Hampir dipastikan bahwa kita tidak akan dapat menemukan fondasi batu/rock di permukaan tanah. Fondasi yang keras dan kuat tersebut hanya dapat ditemukan jauh di dasar tanah. Dengan demikian, orang-orang yang disebut meletakkan dasar rumahnya di atas batu adalah mereka yang telah menggali tanah dalam-dalam sehingga ditemukannya dasar yang kokoh[9].

Begitu juga dengan orang Kristen yang sejati dan yang palsu dari luar tampak sama. Mereka melakukan pelayanan di tempat yang sama, mereka menerima pengajaran dari khotbah yang sama dan mereka menjalankan praktik religius yang sama. Tetapi mereka memiliki fondasi yang berbeda. Orang Kristen sejati meletakkan dasar imannya pada batu karang yang kokoh yaitu Yesus Kristus sedangkan orang Kristen yang palsu meletakkan dasar imannya di luar Kristus. Orang Kristen sejati tidak hanya berhenti pada mendengarkan perkataan Kristus, tetapi juga merenungkan, melakukan, dan menghidupinya meskipun penuh penderitaan sekalipun.

Dua Macam Ekstrem
Setelah membaca tulisan di atas, kita mungkin mencium bau-bau pengajaran Legalism yang menekankan usaha manusia dan ketaatan terhadap hukum-hukum Allah untuk memperoleh pembenaran (Penulis tidak akan menjelaskan secara rinci mengenai Legalism di dalam artikel ini). Tetapi jikalau kita melihat lebih teliti mengenai Injil Matius, kita akan menemukan bahwa sebenarnya tema yang diangkat oleh Matius adalah tentang “menjalankan kehendak Bapa”. Konteks dari tulisan Matius ini adalah untuk menghadapi kaum Antinomian yang muncul di dalam Matthean Community pada zaman itu.[10] Secara singkat, Antinomian berasal dari kata bahasa Yunani (anti = melawan; nomos = hukum). Jadi, sebutan Antinomian diberikan kepada orang-orang yang tidak menaati hukum atau bahkan menganggap hidup mereka tidak perlu lagi diikat oleh hukum. Kaum Antinomian disebut sebagai lawless people (bandingkan dengan istilah ‘pembuat kejahatan’ di ayat 23 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai ‘workers of lawlessness’).

Setelah Perjanjian Baru, theolog Kristen percaya bahwa ceremonial law (hukum-hukum yang mewajibkan untuk mempersembahkan korban penebusan, pencurahan darah bagi penyucian dosa, dan sebagainya) sudah tidak berlaku lagi, sedangkan moral law (hukum-hukum yang bersifat moral yang melarang pembunuhan, perzinahan, pencurian, dan sebagainya) masih tetap berlaku hingga sekarang. Tentu saja pelaksanaan hukum-hukum moral tersebut bukan supaya orang Kristen memperoleh pembenaran Allah. Kita tetap perlu mengingat bahwa pembenaran yang kita terima di dalam iman kepada Kristus sudah cukup!

Kaum Antinomian akan mengatakan bahwa penebusan dalam Yesus Kristus sudah cukup dan sempurna. Orang Kristen tidak perlu lagi terikat pada hukum-hukum karena bagaimanapun seseorang menjalankan hukum tidak akan mampu membawanya memperoleh keselamatan. Kristus sudah menaati hukum-hukum Allah dengan sempurna bagi kita. Sekilas kalimat tersebut kedengaran benar dan kita menyetujuinya.

Seorang pendeta Amerika bernama A. W. Tozer mengatakan demikian di dalam bukunya ‘Paths to Power’, “The creed of the Antinomian is easily stated: We are saved by faith alone; works have no place in salvation; conduct is works, and is therefore of no importance. What we do cannot matter as long as we believe rightly. The divorce between creed and conduct is absolute and final. The question of sin is settled by the Cross; conduct is outside the circle of faith and cannot come between the believer and God… Antinomianism is the doctrine of grace carried by uncorrected logic to the point of absurdity. It takes the teaching of justification by faith and twists it into deformity.”[11]

Baik Legalism maupun Antinomianism adalah dua macam ekstrem yang sangat berseberangan dan kedua macam ekstrem ini bukanlah kekristenan yang sebenarnya. Secara tidak disadari, semangat dan pengajaran ini pun telah masuk ke dalam gereja-gereja zaman sekarang. Kita perlu berhati-hati terhadap gereja atau pendeta yang tidak suka akan pengajaran tentang memikul salib, menyangkal diri, dan mengikut Kristus dalam penderitaan. Begitu juga kita perlu waspada dengan gereja yang tidak suka jikalau pengajaran anugerah, cinta kasih, dan penerimaan Kristus terlalu ditekankan.

Kita tidak perlu berdiri di salah satu ekstrem tersebut. Kita perlu sadar bahwa di dalam anugerah ada tanggung jawab, di dalam penerimaan ada tuntutan untuk hidup kudus, di dalam Injil ada Taurat, dan di dalam Taurat ada Injil.[12] Ingat juga bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati.[13] Seorang theolog bernama R. C. Sproul menulis, “We remember that justification is by faith alone, but not by a faith that is alone.”[14] Iman yang sejati akan dimanifestasikan dengan perbuatan yang seturut dengan kehendak Allah.

Dua Macam Kehendak
Di akhir dari khotbah di bukit, Tuhan Yesus Kristus mengajak para pendengar-Nya untuk tidak hanya mendengarkan pengajaran yang begitu agung, tetapi juga menjalankannya karena itulah yang menjadi kehendak Bapa di sorga. Banyak orang yang setelah mendengarkan apa yang menjadi kehendak Bapa tetapi tetap menjalankan apa yang menjadi kehendak diri. Selama kita hidup di dalam dunia ini, terus ada tarikan dan peperangan antara menghidupi kehendak Bapa dan kehendak diri.

Kita juga mungkin membayangkan untuk menjalankan kehendak Bapa kita perlu pergi ke daerah terpencil dan memberitakan Injil di sana, kita perlu berhenti dari pekerjaan sekuler dan masuk seminari Alkitab, kita perlu terlibat di dalam kegiatan pelayanan yang besar dan melayani ribuan manusia, dan seterusnya. Kita sering kali bergumul dan minta didoakan untuk “mengetahui kehendak Allah” di dalam pekerjaan dan pelayanan kita. Tetapi kita lupa bahwa kehendak Allah sudah dengan nyata tertulis di dalam Alkitab dan kehendak Allah yang dituntut sering kali tidak kita kerjakan. Inilah paradoks kita sebagai orang Kristen, kita mencari apa yang tidak Tuhan nyatakan dan justru tidak mengejar apa yang sudah Dia nyatakan di dalam Alkitab.

Kiranya kita juga diingatkan oleh kisah Saul yang ditolak Tuhan oleh karena ketidaktaatannya, meskipun telah mendengarkan perintah Tuhan. Tuhan telah berfirman melalui Samuel supaya Saul membasmi raja Amalek, seluruh rakyatnya serta ternaknya. Tetapi Saul dengan sengaja membiarkan raja orang Amalek hidup serta menyelamatkan kambing domba dan lembu dengan alasan persembahan. Ingatlah bahwa mendengarkan suara Tuhan lebih baik daripada korban sembelihan.[15]

Biarlah kita sekali lagi menatap tahun yang baru dengan penuh ketaatan menjalankan kehendak Allah di dalam anugerah-Nya yang limpah. Kehendak Allah kita jalankan bukan dalam semangat legalitas; dan anugerah-Nya yang limpah tidak membuat kita melupakan hukum dan perintah-Nya yang harus kita jalankan dengan penuh ketaatan. Biarlah Kristus tidak hanya menjadi Juruselamat kita tetapi juga Tuan dan Tuhan kita. Bagi Dia kemuliaan sampai selama-lamanya.

“Has the Lord as great delight in burnt offerings and sacrifices, as in obeying the voice of the Lord? Behold, to obey is better than sacrifice, and to listen than the fat of rams…” – 1 Samuel 15:22

Kurniawan Prasetya Pieth
Pemuda GRII Singapura

Endnotes:
[1] Matius 7:28-29.
[2] Lukas 14:26-27.
[3] Lukas 14:33.
[4] Lukas 14:28.
[5] Lukas 14:31.
[6] Khotbah Tim Keller berjudul “Authentic Christianity” dapat didengarkan melalui link berikut: http://sermons2.redeemer.com/sites/sermons2.redeemer.com/files/sermons/Authentic_Christianity.mp3.
[7] Matius 13:24-30.
[8] Kejadian 4:1.
[9] Lukas 6:48.
[10] Konteks historis Injil Matius dijelaskan di dalam kelas pembinaan theologi bagi kaum awam “The Four Gospels” oleh Pdt. Billy Kristanto di GRII Singapura (10 Agustus 2015).
[11] The Antinomians are Coming!.
[12] Di dalam kelas “The Four Gospels” di GRII Singapura (10 Agustus 2015), Pdt. Billy Kristanto memberikan perbandingan antara Lutheran dan Calvinist. Jikalau Lutheran tidak hati-hati bisa menjadi Antinomian dan jikalau Calvinist tidak hati-hati bisa menjadi Legalist.
[13] Yakobus 2:17, 24, 26.
[14] Sproul, R.C. Pleasing God: Discovering the Meaning and Importance of Sanctification. Colorado, CO: David C. Cook. 2012.
[15] 1 Samuel 15:22.