Yunus

Kisah Yunus dianggap sebagai kisah yang cukup sederhana untuk dimengerti oleh anak-anak, tetapi juga sangat kompleks untuk diteliti karena keterampilan literatur yang luar biasa dan makna yang begitu mendalam. Kompleksitas kisah Yunus berasal dari kerumitan karakter sang nabi itu sendiri. Kitab ini menggambarkan karakter Yunus yang begitu kontras pada pasal pertama dan terakhir dibandingkan dengan karakternya pada pasal dua dan tiga. Pada artikel ini kita akan melihat bagaimana kontras antara kedua karakter ini dapat memberikan kita sebuah peringatan sekaligus pengajaran untuk kehidupan umat Allah di sepanjang sejarah.

Karakter Yunus pada Pasal 1 dan 4
Di pasal 1, kisah Yunus dimulai dengan panggilan yang ia terima dari Allah. “Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu, berserulah terhadap mereka, karena kejahatannya telah sampai kepada-Ku” (1:2). Ini merupakan panggilan yang umum untuk seorang nabi. Namun, respons Yunus sangat tidak biasa. Bukannya pergi ke Niniwe, ia justru bersiap untuk melarikan diri ke Tarsis, arah yang berlawanan dengan Niniwe, jauh dari hadapan Tuhan (1:3). Di tengah pelariannya, kapal yang ditumpangi Yunus dihantam badai besar. Ia tahu bahwa badai ini terjadi akibat tindakannya yang melarikan diri dari panggilan Allah (1:10-11). Alih-alih bertobat, Yunus meminta supaya ia dicampakkan ke dalam laut (1:12). Yunus lebih memilih mati daripada menaati panggilan Allah. 

Di pasal 4, pertobatan Niniwe sangat mengesalkan hati Yunus (4:1). Kata “mengesalkan” adalah terjemahan dari bahasa Ibrani ra’ah yang dapat diterjemahkan sebagai “kejahatan” (1:2; 3:8, 10) dan “malapetaka” (3:10). Niniwe berbalik dari kejahatannya sehingga Allah tidak jadi menimpakan malapetaka kepada mereka (3:10). Bangsa Niniwe selaras dengan Allah, tetapi Yunus tidak. Di ayat berikutnya, Yunus marah dan kemarahannya diarahkan kepada karakter Allah sendiri. Kemarahannya didasarkan pada pengetahuannya mengenai karakter Allah yang pengasih, penyayang, panjang sabar, berlimpah kasih setia, dan berbalik dari malapetaka (4:2). Singkatnya, Yunus tidak setuju kalau Allah menjadi Allah. Tidak ada perubahan karakter dalam diri Yunus. Kalaupun ada, perubahan itu adalah ia menjadi makin buruk.

Karakter Yunus pada Pasal 2 dan 3
Di pasal 2, setelah masuk ke dalam perut ikan, Yunus menaikkan doa dan mazmur ucapan syukur. Seorang editor dari Calvin’s Commentary on Jonah menuliskan, “Sungguh luar biasa bahwa beberapa kalimat dalam doa ini, seperti yang telah diamati oleh Marchius dan Henderson, persis sama, tidak hanya dalam arti, tetapi juga dalam banyak hal dan kata-kata, dengan bagian-bagian dalam Kitab Mazmur. Kalimat pertama dari ayat pertama doa ini ditemukan dalam Mazmur 120:1, hanya kata-katanya yang diatur secara berbeda. Kalimat terakhir dari ayat ketiga, baik dalam kata-kata maupun urutan, sama dengan bait dalam Mazmur 42:7. Kalimat pembuka ayat keempat mirip dengan Mazmur 31:22, dan begitu pula ayat kelima dengan Mazmur 69:1. Kalimat pertama dari ayat ketujuh ditemukan dalam kata-kata yang sama dalam Mazmur 142:3; dan baris pertama di ayat kedelapan adalah Mazmur 31:6, dengan pengecualian satu huruf; dan kata-kata terakhir dari ayat kesembilan harus dipenuhi dalam Mazmur 3:8, hanya urutannya terbalik. Yunus itu kenal dengan Mazmur, sangat wajar baginya untuk menggabungkan kalimat yang diambil dari mereka dengan bahasanya sendiri.” Tidak dapat disangkal, doa Yunus adalah doa yang sangat baik di dalam situasi yang tepat.

Di ayat 3, Yunus menggenapi panggilan yang semula disangkalnya. Yunus bersiap, lalu pergi ke Niniwe, sesuai dengan firman Allah (3:2). Yunus masuk ke dalam kota, lalu berseru, “Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan.” Hasilnya, orang Niniwe percaya kepada Allah. Mereka semua berpuasa dan berkabung, termasuk raja dan ternak. Raja dan para pembesar memerintahkan rakyat Niniwe untuk berseru dengan keras kepada Allah serta berbalik dari tingkah laku mereka yang jahat dan dari kekerasan yang mereka lakukan (3:9). Khotbah Yunus adalah Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) tersingkat dengan efek terbesar. Hanya dengan delapan kalimat, satu kota bertobat. Kesimpulannya, Yunus bertobat baik melalui perkataannya (ps. 2) maupun tindakannya (ps. 3).

Kita melihat kontras karakter sang nabi dengan jelas. Kalau memang pasal 2 dan 3 adalah pertobatan yang sejati dari sang nabi, mengapa di pasal 4 ia justru memburuk? Jadi, apakah sebenarnya Yunus tidak benar-benar bertobat? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu kembali kepada tujuan dan natur dari kitab ini. Kitab Yunus merupakan kitab nubuat secara keseluruhan. Karena itu, bukan hanya beberapa kata atau kalimat, melainkan seluruh isi dari kitab ini, termasuk perbedaan karakter dari sang nabi dituliskan untuk menjadi suatu nubuat. Perbedaan karakter sang nabi bertujuan untuk menunjukkan ironi yang akan menjadi peringatan bagi Israel.

Ironi 1: Pengetahuan vs. Ketaatan
Ketika para pelaut menanyakan identitas Yunus, ia menjawab, “Aku seorang Ibrani; aku takut akan TUHAN, Allah yang empunya langit, yang telah menjadikan lautan dan daratan” (1:9). Ini adalah sebuah theologi yang tepat, sesuai dengan Kejadian 1:1. Tetapi, perkataan ini berlawanan dengan tindakannya. Kalau Allah adalah Pemilik dan Pencipta langit dan bumi beserta segala isinya, bagaimana mungkin Yunus dapat lari jauh dari hadapan Tuhan? Sama halnya dengan pengetahuannya akan sifat Allah yang penuh belas kasihan (4:2). Ia tahu, tetapi pengetahuannya itu sama sekali tidak mengubah cara pandangnya dan menuntunnya untuk merefleksikan karakter Allah.

Ironi 2: Isi Doa vs. Hati Pendoa
Doa Yunus adalah sebuah doa yang baik. Doa ini diucapkan dalam konteks yang tepat dan dipenuhi dengan kalimat-kalimat yang secara theologis benar. Tetapi doa yang baik ini datang dari iman dan hati yang buruk. Yunus tidak sungguh-sungguh mengimani doanya. Perkataan yang diucapkannya adalah penipuan terhadap diri sendiri. Tidak heran, segera setelah Yunus mengakhiri doanya, ia dimuntahkan, suatu ekspresi yang buruk di dalam Kitab Suci yang digunakan untuk menggambarkan penghakiman Allah (Im. 18:25, 28; 20:22). Doa Yunus sangat sarat dengan Mazmur yang sering dinyanyikan oleh Israel sehingga ketika mereka menyanyikan Mazmur dan mengingat kisah Yunus, mereka akan sadar bahwa mereka bisa menyanyi dengan tepat sambil hati mereka menjauh dari Allah, seperti yang dilakukan Yunus.

Ironi 3: Banyak Mendengar, Lambat Berespons vs. Sedikit Mendengar, Cepat Berespons
Bangsa Niniwe bukanlah bangsa pilihan, karena itu mereka tidak memiliki Taurat. Akses mereka terhadap firman begitu sedikit. “Siapa tahu, mungkin Allah akan berbalik dan menyesal serta berpaling dari murka-Nya yang bernyala-nyala itu, sehingga kita tidak binasa” (3:9). “Siapa tahu” sama artinya dengan mengira atau menduga. Pemahaman mereka akan Allah sangat minim, tetapi ketika Yunus berkhotbah, hanya dengan delapan kalimat, seluruh bangsa bertobat. Sedangkan Israel, umat yang memiliki Taurat Allah, nabi-nabi dan pengajar-pengajar, begitu limpah dengan firman, sangat lambat untuk bertobat.

Konklusi
Melalui penggambaran karakter Yunus dan ironi antara ketaatan lahiriah dan sifat pemberontakannya, penulis ingin menegur kemunafikan yang telah berakar di bangsa Israel. Mereka menyanyikan mazmur yang baik, bahkan melakukan ketaatan yang ketat terhadap Hukum Taurat, tetapi hati mereka meninggalkan Allah. Mereka berfokus kepada hal-hal yang bersifat lahiriah tetapi kehilangan makna yang ada di dalamnya. Yesaya menuliskan, “Bangsa ini (Israel) datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan” (Yes. 29:13). Bagi kita, kisah Yunus menjadi suatu peringatan bahwa kita dapat memiliki theologi yang ketat, mengakui pengakuan iman yang benar, menyanyikan pujian yang indah, berdoa secara fasih, bahkan melakukan pelayanan yang hasilnya luar biasa, namun hati kita tetap jauh dari Allah.

Sampai di sini, kita menyimpulkan bahwa Yunus tidak sungguh-sungguh bertobat. Penggambaran yang negatif tentang karakter sang nabi bertujuan untuk menegur dan mendorong pembaca kepada pertobatan yang sejati. Apakah Yunus terus-menerus tidak bertobat sampai selama-lamanya? Kita tidak diberi tahu. Kisah Yunus berakhir begitu saja. Di pasal terakhir, Yunus dan Allah berdebat. Allah bertanya kepada Yunus dan Yunus menjawab (4:9). Lalu di ayat 10 dan 11, Allah menanyakan pertanyaan lain dan cerita berakhir. Mengapa kita tidak diberi tahu respons Yunus? Mengapa layar ditutup tiba-tiba? Kita tidak tahu. Tetapi faktanya, ini adalah cara yang tepat untuk mengakhiri cerita.  

Refleksi
Bagian penutup ini meringkas poin utama yang diulang di seluruh cerita, yaitu belas kasihan Allah dan kekerasan hati Yunus. Bagaimanapun juga, tujuan utama kitab ini bukanlah menceritakan pertobatan sang nabi, melainkan pernyataan luasnya belas kasihan Allah kepada Israel dan kepada kita sebagai pembaca, sebagaimana Allah mengejar nabi-Nya yang memberontak dan menyeleweng. Selain itu, bagian ini membuat kita berpikir. Bayangkan bila kita diberikan ayat 12 di dalam pasal 4 yang berbunyi, “Akhirnya, Yunus menerima teguran dari Allah, ia bertobat dan pergi ke Niniwe untuk membangun jemaat di sana.” Atau, “Yunus makin panas hati setelah mendengar perkataan Allah, ia gagal meneladani belas kasihan Allah dan ia pulang ke rumahnya di Israel.” Akhir seperti ini memang lebih dapat dimengerti, tetapi tidak mengajak kita untuk merenung. Kita cenderung akan mengakhiri pembacaan kita akan Kitab Yunus di kalimat terakhir tersebut.

Akhir cerita yang terbuka seperti ini, yang diakhiri dengan suatu pertanyaan yang tidak dijawab, akan membuat kita bertanya, “Apa yang akan ia lakukan? Apakah ia mengerti belas kasihan Allah atau tetap mengeraskan hatinya?” Dan ketika kita mempertanyakan pertanyaan ini, kita melihat diri kita menanyakan hal yang sama kepada diri kita sendiri. Kita dipaksa untuk melihat jauh ke kedalaman hati dan melihat apakah kita lebih mirip Allah atau lebih mirip Yunus. Apa yang akan aku lakukan, sebagai anak Allah, di dalam menyatakan belas kasihan-Nya? Apakah saya tidak memedulikan kebinasaan orang-orang karena mereka tidak mendengarkan Injil yang seharusnya saya beritakan?

Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan. Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus? Seperti ada tertulis: “Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!” (Rm. 10:13-15)

Marthin Rynaldo
Pemuda MRII Bogor

Referensi:
1. Reformed Answers.
2. Calvin, John. Commentary on Jonah, Micah, Nahum. Grand Rapids, MI: Christian Classic Ethereal Library.