September 2020

Salam Pembaca PILLAR yang setia,

Menjadi manusia itu memang repot, setidaknya lebih repot dibanding menjadi seekor kelinci, katak, atau kanguru. Kelinci misalnya sepertinya tidak pernah termenung mengapa dia seekor kelinci. Kelinci hanya menjalani hidup kekelinciannya. Manusia justru tidak bisa hanya sekadar menjalani hidup begitu saja. Dia merenungkan mengapa dia ada dan bukan tidak ada, lalu apa artinya menjadi seorang manusia, apa tujuan hidup ini, dan mengapa ada penderitaan dalam hidup yang singkat ini. Baik para filsuf maupun theolog berusaha memberikan analisis mereka, penulis PILLAR edisi ini pun juga tidak mau ketinggalan. Sekian banyak tinta, pixel, dan kopi tertumpah demi menyajikan tulisan-tulisan yang menjelaskan siapakah itu manusia. Harapannya tentu bukan sekadar memuaskan hasrat untuk mengetahui lebih banyak, karena berpengetahuan banyak belum tentu bersumbangsih apa-apa. Tetapi untuk bisa bersumbangsih, kita memang perlu mengetahui lebih banyak. Kutipan dari Hoekema dalam artikel Anthropology: The Theological Frontline of the 21st Century: “Apakah relevansi dari antropologi Kristen bagi kehidupan sehari-hari kita? Bagaimanakah pandangan Kristen akan manusia membantu kita untuk menghadapi masalah di dunia ini?” adalah tantangan bagi kita semua yang mengaku diri manusia Kristen, bukan kecebong, kampret, atau kutu loncat, untuk memikirkannya.