Q&A Juli 2008

Pak Sutjipto Subeno,

Saya sangat tertarik dengan penjelasan Anda mengenai doktrin predestinasi, singkat dan jelas. Saya juga melihat tanggapan Anda terhadap komersialisasi profesi guru, pendeta, dan dokter. Saya ada pertanyaan yang sedikit berhubungan dengan itu, mengenai gereja-gereja besar di Indonesia. Sudah merupakan hal yang lumrah jikalau seorang pendeta yang pintar berkhotbah ataupun gereja yang mewah dan megah akan dengan sendirinya didatangi jemaat seperti gula dan semut. Saya melihat hal ini menimbulkan suatu trend kesenjangan antara gereja kecil dan gereja besar. Seumpama toko kelontong vs. supermarket. Lambat laun toko kelontong itu akan ditinggalkan pembeli dan tutup. Tetapi dalam kasus gereja kecil yang ada di dekat gereja besar, mereka akan susah sekali berkembang atau tetap kecil.

Saya pribadi lebih suka dengan gereja kecil karena masih ada rasa kekeluargaan antar semua jemaat, pengelolaan keuangan secara transparan, dan lain-lain. Bagaimana menurut Pak Sutjipto sendiri? Seperti niat manusia membangun menara <place w_st=”on”><city w_st=”on”>Babel</city></place> yang akhirnya runtuh juga, apakah sebaiknya gereja besar membantu mempromosikan dan mendistribusikan sebagian kecil jemaat ke gereja kecil setempat agar berkembang juga? Apakah kendalanya menurut Bapak? Terima kasih atas waktunya.

Santoso

Jawab:

Pertanyaan Anda sungguh bisa menjadi suatu kajian yang baik. Ada beberapa asumsi-asumsi pikiran Anda yang perlu kita pikirkan ulang. Pertama, Anda sepertinya curiga bahwa gereja besar itu pasti mewah. Kalau gereja besar, itu karena memang harus menampung jemaat yang banyak, saya rasa tidak mewah. Mewah itu dihitung dari apa? Ini suatu kajian yang penting tentang nilai. Apakah Anda lebih suka gereja harus butut, dibangun dengan bahan-bahan bangunan yang buruk, dibuat dengan plesteran yang tidak rata, pakai cat yang mengelupas di sana-sini? Itukah yang Alkitab ajarkan dalam kita membangun rumah Tuhan? Tentu tidak demikian, bukan? Saya percaya, Anda dan saya sepakat bahwa kita harus memberikan yang terbaik buat Tuhan, bahkan seharusnya lebih baik dari kita membangun rumah kita sendiri.

Hal kedua, adalah bahwa Anda sudah melihat bahwa kalau seorang pendeta yang berkhotbah dengan baik akan menarik banyak orang hadir. Di sini kita harus membedakan pengkhotbah yang memberitakan kebenaran Tuhan dengan baik, sampai orang mendapat berkat dan sungguh-sungguh mengerti firman Tuhan dengan baik (yang saya yakin Anda dan saya akan sangat senang dan mendukung hamba Tuhan demikian), atau pengkhotbah yang pandai berbicara, bak seorang marketer yang sedang menipu konsumen agar membeli produknya dan menguntungkan dirinya sendiri (yang saya yakin Anda dan saya sama-sama tidak suka dan menentang pendeta seperti ini). Kalau pendeta itu berkhotbah dengan begitu baik, lalu Anda menjadi jemaat di gereja itu, apakah Anda tidak suka jika ada orang lain juga datang untuk mendengar khotbahnya? Saya yakin, Anda dan saya seharusnya sama, yaitu kita sangat ingin lebih banyak orang datang dan mendengar khotbahnya.

Hal ketiga, satu asumsi bahwa Anda datang ke sebuah gereja kecil karena Anda senang persekutuannya, maka kehadiran Anda di gereja itu demi kenikmatan Anda, dan Anda akan sangat menentang jika gereja ini kemudian menjadi besar? Tentu tidak demikian bukan? Tetapi dari apa yang Anda nyatakan, orang akan berpandangan demikian. Anda tidak suka kalau gereja Anda yang tadinya mempunyai 200 jemaat, lalu pendeta Anda yang berkhotbah begitu baik, yang berdampak gereja itu berkembang dan akhirnya jemaat menjadi 2.000 orang. Anda ingin gereja jangan berkembang supaya tetap kecil, jangan memberitakan Injil, karena membuat gereja bertambah jemaat dan menjadi jemaat yang besar. Atau, apakah Anda kemudian lebih memilih mencari pengkhotbah di gereja lain yang buruk, yang tidak beres, sehingga jemaatnya tetap tidak bertumbuh, sehingga Anda senang bisa menikmati persekutuan yang akrab? Bukankah seharusnya kita ingin mengikuti firman Tuhan dan ingin agar pengkhotbah yang baik betul-betul memang dihargai dan kita mau mendengarkan apa yang dikhotbahkannya? Bukankah kita ingin gereja menjadi semakin hari semakin besar karena jemaatnya terus bertambah? Bukankah Tuhan juga memperkenankan ibadah awal kekristenan dihadiri lebih dari 3.000 orang?

Hal keempat, Anda membandingkan gereja kecil dan gereja besar seperti toko kelontong dan swalayan. Di sini Anda kembali melihat bahwa sepertinya gereja adalah sebuah market yang sedang menjalankan marketing management (kritik David Wells). Betapa celaka kalau gereja berorientasi pada marketing. Tentu Anda sangat tidak suka gereja seperti itu. Gereja adalah manifestasi Kerajaan Allah. Yang diutamakan seharusnya adalah firman Tuhan. Inti Gereja adalah pemberitaan Kebenaran Allah, bukan berapa banyak jemaatnya. Sekalipun seperti yang diuraikan di atas, kalau pengkhotbah itu betul-betul bermutu baik, khotbahnya baik sekali, orang mendapatkan berkat Firman yang begitu mendalam dan akurat, pastilah orang banyak akan datang ke situ. Jadi tujuannya bukan memperbanyak jemaat. Jadi, kalau gereja berorientasi pada kualitas, di situlah Allah mau menyatakan Diri-Nya. Kenapa ada gereja kecil dan gereja besar? Kembali kepada bagaimana kualitas gereja dan pemberitaan dari hamba Tuhan yang ada di situ. Gereja besar gedungnya, tetapi keropos isinya, akan sangat parah nantinya. Begitu banyak gereja besar dijual dan dijadikan gedung bioskop atau bahkan masjid, karena gedungnya besar, maintenance mahal, tetapi isinya keropos, dan orang meninggalkan gereja itu. Jadi, kembali kepada esensi utama. Biarlah seorang pengkhotbah yang baik dan benar, sungguh-sungguh memberitakan kebenaran dengan baik, orang banyak datang dan mendengarkan khotbahnya. Jangan batasi karena Anda tidak suka banyak orang, sepertinya pengkhotbah itu hanya milik Anda sendiri, dan Anda yang berhak mengatur berapa orang yang boleh mendengar khotbahnya.

Hal kelima, Anda mungkin memikirkan kenapa pendeta yang baik tidak khotbah 10 kali kebaktian yang masing-masing 200 orang agar gereja tidak besar? Itu saya rasa tidak pantas kita pikirkan, bukan? Sungguh kejam dan egois orang yang berpikir seperti ini. Itu menunjukkan bahwa ia belum pernah tahu apa itu menjadi pengkhotbah yang betul-betul baik dan betul-betul setia memberitakan Firman. Mungkin orang yang berpikir seperti ini diminta berkhotbah satu kali saja, lalu semua orang yang mendengar memberikan kritik, apakah masih mau datang dan berapa banyak yang bisa ia kumpulkan dan rela mendengar khotbahnya lagi. Setiap kali mengkhotbahkan khotbah yang baik, itu adalah pengurasan tenaga, pikiran, konsentrasi, dan beban hati yang sangat berat. Jadi, kalau seorang pengkhotbah bisa berkhotbah satu kali kepada 2.000 orang, lalu disuruh eceran sepuluh kali, bukankah itu penganiayaan yang sangat berdosa? Maka, kita perlu sadar, bahwa waktu dan aset seorang hamba Tuhan yang betul-betul setia pada kebenaran, adalah anugerah besar yang Allah berikan kepada sejarah dan manusia.

Kiranya perenungan dan kajian pertanyaan Anda, bisa menjadi berkat bagi kita semua. Soli Deo Gloria.

Pdt. Sutjipto Subeno