,

Bapa Kami yang di Sorga

“Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga…” – Matius 6:9a

Sebuah doa yang diajarkan oleh Yesus Kristus yang dimulai dengan sebuah kalimat
pembuka, “Bapa kami yang di sorga”. Mungkin sudah sering kita mengucapkan doa ini,
bahkan menghafalnya dan dapat mengulangnya dengan lancar dari depan hingga belakang.
Atau dari belakang sampai depan sekalipun! Tetapi, pernahkah kita benar-benar memikirkan
makna dari kalimat pembuka ini?

Paling tidak, kita dapat menyadari kata pertama, yaitu “Bapa”. Bukanlah hal yang asing
ketika kita mendengar seorang Kristen mengatakan bahwa hanya orang Kristen saja yang
dapat memanggil Tuhannya dengan sebuah panggilan yang menunjukkan adanya sebuah
kedekatan, “Bapa”. Tidak salah, dan memang Allah, sang Pencipta, menginginkan kita,
ciptaan-Nya, bisa mendekat kepada-Nya. Sebuah relasi yang sangat dekat, relasi antara ayah
dengan anak!

Relasi itu tentu mengingatkan kita bahwa Allah adalah Tuhan yang memelihara seperti
seorang ayah terhadap anaknya. Lukas 11:13 mengatakan bahwa seorang ayah yang jahat
saja akan memberikan apa yang ia pikir baik untuk anaknya, apalagi Bapa kita yang di sorga!
Jika burung-burung di udara dan bunga bakung di ladang saja Ia pelihara, apalagi kita sebagai
anak-anak-Nya yang diciptakan dalam gambar dan rupa-Nya (Mat. 6:25-32).

Bapak atau ayah merupakan seorang figur yang bertanggung jawab yang akan menyediakan
segala yang dibutuhkan oleh keluarganya. Natur ini dapat kita lihat setiap hari dalam diri
mereka yang telah menjadi seorang ayah. Ia akan bekerja keras setiap hari demi kebutuhan
keluarganya, memastikan kesejahteraan keluarganya, dan memberikan rasa aman bagi
keluarganya. Namun, sebetapa besar pun usaha seorang ayah menyatakan kasihnya, semua
ini hanyalah bayang-bayang dari kasih Bapa Sorgawi atas kita. Ia tidak hanya menyediakan
segala keperluan jasmani kita. Lebih dari itu Ia bahkan memberikan Putra-Nya yang Tunggal
untuk menebus dosa kita dan menyelamatkan kita (Yoh. 3:16). Tidakkah hal itu
menakjubkan? Kita memiliki Bapa yang menjamin dan mencukupi seluruh kebutuhan kita,
bahkan melampui apa yang bisa kita pikirkan dan bayangkan.

Seorang anak yang mengasihi ayahnya yang sudah menyediakan segala keperluannya, akan
menjadi anak yang berterima kasih serta berusaha menyenangkan ayahnya. Bahkan si anak
tersebut akan berusaha untuk setiap harinya memiliki waktu untuk bercakap-cakap (berelasi)
dengan ayahnya. Bagaimana dengan Saudara? Sungguhkah Allah itu Bapa kita? Bagaimana
kita, yang mengakui-Nya sebagai Bapa kita, meresponi kasih dan anugerah-Nya yang sangat
besar itu?