Di Tengah Badai (2)

Minggu lalu kita telah melihat bagaimana murid-murid Tuhan Yesus yang adalah nelayan
kawakan ketakutan dihantam badai yang menakutkan. Lalu apa yang murid-murid lakukan?
Matius dan Lukas mencatat mereka dengan panik membangunkan guru mereka, “Tuhan,
tolonglah, kita binasa.”  Namun Markus memberikan suatu catatan tambahan, yaitu “Guru,
Engkau tidak peduli kalau kita binasa?”

Bagaimana Sang Guru bisa peduli kalau Ia sedang tertidur lelap! Seruan (baca: tuduhan) para
murid sepertinya juga terujar oleh para murid generasi berikutnya, yaitu orang-orang Kristen
di Kekaisaran Romawi yang menjadi penerima awal Injil Markus. Mereka sedang
menghadapi kesulitan, tantangan, dan bahkan penganiayaan dari Kaisar Romawi saat itu.
Mungkin ada rekan-rekan mereka yang dikejar-kejar, sebagian sudah ditangkap, atau yang
paling parah adalah mati martir karena iman mereka. Intinya para murid di danau Galilea dan
orang-orang Kristen di Romawi menghadapi badai yang sangat mengerikan. 

Yesus pun bangun dan menghardik angin dan ombak dengan begitu tenangnya seperti
seorang ayah yang memarahi anjing kecil yang sedang ribut-ribut bermain. Apa yang terjadi
kemudian? Angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. Effortlessly… tanpa susah
payah sedikit pun. Bagi murid-murid badai ini adalah badai paling mengerikan, namun bagi
Dia, badai paling mengerikan hanya seperti anak anjing yang hanya perlu dihardik “ssttt…
diam!” 

Bukankah seruan “Tuhan, Engkau tidak peduli kalau kami binasa?” masih terus berdengung
di mana-mana? Ketika orang tua yang kehilangan anaknya, ketika seorang pelajar yang gagal
ujian, ketika seseorang yang divonis penyakit yang belum ada obat penyembuhnya, ketika
seorang pengusaha yang melihat satu-satunya toko sumber mata pencahariannya terbakar api,
ketika seorang pasangan mengalami badai besar dalam bahtera perkawinan mereka…
ketika… ketika… ketika ratusan atau bahkan ribuan kasus lainnya.

Apa yang menyebabkan seruan tersebut? Bukan karena Allah tidak peduli, tetapi karena kita
yang salah mengerti. Salah mengerti apa? Yaitu menjadi orang Kristen seharusnya bebas dari
badai. Ketika seseorang menjadi orang Kristen seharusnya dia bebas dari semua masalah, dari
semua hambatan. Tuhan harus menjamin hidup orang Kristen sesuai apa yang menjadi
keinginan mereka masing-masing dan jangan pernah sampai lalai, ada hambatan, ada
kecelakaan, ada badai menimpa hidup orang Kristen.

Namun sesungguhnya Allah tidak pernah berjanji bahwa hidup orang Kristen bebas dari
badai. Allah tidak pernah berjanji Sadrakh, Mesakh, Abednego akan dibebaskan dari tungku
api. Tuhan Yesus bahkan ketika memanggil murid-murid menegaskan bahwa mereka harus
siap untuk menyangkal diri dan memikul salib. Memikul salib berarti sedang berjalan menuju
ke lokasi penyaliban, siap untuk mati. 

Pedulikah Allah ketika kita mengalami badai dan Dia seakan-akan tertidur? Apakah jawaban
Allah? Mata kita akan diarahkan kepada salib itu, karena di situlah letak jawabannya. Di salib
itulah Allah begitu peduli akan nasib kita sehingga Anak Allah harus disalibkan demi
menebus kita; demi melepaskan kita dari badai terbesar yang akan menimpa umat manusia,
yaitu kematian kekal akibat dosa.

Ketika badai menerpa, ketika keraguan timbul dan kita mulai bersiap meluncurkan panah-
panah tuduhan kepada Allah, ingatlah badai yang kita alami tidak melebihi kekuatan kita. Ia
tidak akan membiarkan kita diterpa badai yang melampaui kekuatan kita. Janji penghiburan
terbesar adalah Ia akan bersama-sama dengan kita di dalam dan melewati badai. Ketika Ia
mengizinkan kita masuk ke dalam tungku api, ingatlah Ia akan bersama-sama dengan kita di
dalam tungku api tersebut.

Oleh karena itu jikalau kita sedang di dalam badai sekarang, fokuskanlah hati kita kepada
Tuhan dan mintalah kepada-Nya, “Tuhan aku tahu Engkau peduli dan bersama-sama
denganku di dalam badai ini, ajarlah diriku fokus untuk semakin mengenal-Mu lebih dekat
dan lebih mendalam dalam badai ini.”