Doa dan Dupa (I)

Salah satu pertanyaan klasik tentang fungsi berdoa adalah, “Jika Tuhan mahatahu dan Dia sudah mengetahui segala yang saya butuhkan dan semua yang akan saya minta, untuk apa saya berdoa?” Pada kesempatan ini, saya ingin melihat dan menilai pertanyaan ini dari sudut pandang Kitab Wahyu yang melihat doa orang kudus sebagai yang dipersembahkan ke sorga bersama dengan kemenyan yang naik dari pendupaan (Why. 8:4).

Pertama-tama, agaknya sulit dibayangkan bagi seseorang yang suka dan menikmati waktu berdoa untuk menanyakan pertanyaan di atas. Ini sama seperti seorang pecinta kopi tidak akan bertanya, “Sebenarnya untuk apa sih ngopi itu? Memangnya minimal berapa cangkir kopi yang harus saya minum di dalam sehari?” Seorang penikmat kopi tidak akan bertanya tentang batas minimal yang harus dia minum, tetapi batas maksimal yang boleh dia minum supaya kadar kofein yang berlebihan tidak merusak tubuhnya. Sama halnya, seseorang tidak akan bertanya kepada kekasihnya yang sedang berada di tempat yang jauh paling sedikit berapa kali dia harus menelepon atau mengirim pesan kepadanya. Dia akan melakukan sesering mungkin secara alami. Demikian juga, seorang yang menikmati waktu berdoa dan menjalin komunikasi yang intim dengan Tuhan Allah tidak akan bertanya tentang berapa kali minimal seorang Kristen harus berdoa. Dia akan berdoa setiap saat.

Lebih parah lagi, orang yang meminta Tuhan secara otomatis memenuhi kebutuhannya tanpa perlu dia meminta tidak mengenal Allah yang sejati. Jika orang tersebut mengenal Allah, dia akan dapat membedakan Allah dengan mesin komputer yang diharapkan secara otomatis melakukan ini itu bagi pemiliknya dengan penyetelan yang tepat terhadap kecerdasan buatan. Mungkin, suatu hari nanti, HP kita akan dapat melakukan banyak pekerjaan sehari-hari kita secara otomatis dengan kecerdasan buatan yang terkoneksi dengan alat-alat dan perabotan di rumah kita, yang akan mengerjakan segalanya bagi kita tanpa perlu kita meminta lagi. Namun, Allah bukanlah mesin atau pelayan yang melayani kita. Kitalah yang harus melayani Allah.

Akhirnya, orang yang dewasa secara kerohanian akan mengetahui bahwa doa bukanlah gangguan, interupsi wajib yang membuang waktu terhadap rutinitasnya, yang terpaksa dilakukan karena tekanan dari “guru rohani” atau orang-orang yang ingin kita senangkan hatinya. Di dalam visi yang dilihat oleh Yohanes, doa orang kudus naik bersama dengan kemenyan yang dibakar di dalam pendupaan, menjadi wewangian yang dipersembahkan bagi Tuhan. Doa, bagi orang kudus, adalah untuk menyembah, memuliakan Allah, dan menyenangkan hati-Nya, dan sekaligus untuk menikmati-Nya.

Namun, bagaimana hubungan antara doa manusia dengan tindakan Allah? Apakah jika tindakan Allah tidak mendahului doa manusia, jika Allah menunggu doa manusia terlebih dahulu baru bertindak, itu tidak berarti kebebasan dan kedaulatan Allah terikat pada doa manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini akan menjadi tema renungan kita pada artikel berikutnya.