“Skeptisisme” Abraham dan Sinisme Kita

Bagaimana biasanya kita membaca kisah Abraham? Dari masa depan, sebagian pembaca
yang sudah melihat bagaimana Allah menggenapkan janjinya untuk membuat nama Abraham
masyhur, memberikan sebuah tanah perjanjian, dan menjadikannya bangsa yang besar,
membaca kembali kalimat Abraham, “Ya Tuhan ALLAH, apakah yang akan Engkau berikan
kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak …,” (Kej. 15:2) dengan
senyum kecil dikarenakan “kekurangan iman” Abraham. Sebagian orang lagi mungkin lebih
bersimpati terhadap kesulitan Abraham memahami janji Allah di dalam sudut pandangnya
yang terbatas.

Penulis kitab Ibrani mempunyai penilaian yang sangat tinggi terhadap Abraham. Meskipun
Abraham adalah orang asing di negeri yang dijanjikan, Ibrani menuliskan, “Dalam iman
mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan
itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan mengakui,
bahwa mereka adalah orang asing yang datang di bumi ini” (Ibr. 11:13). Jadi, bagi penulis
Ibrani, Abraham bukan kekurangan iman, melainkan merupakan saksi iman yang kisahnya
paling disoroti di dalam Ibrani 11. Lagipula, Abraham tidak berhenti pada kalimatnya yang
saya kutip di atas dan bertahan pada skeptisismenya. Dia percaya kepada janji Allah
meskipun dia belum melihat semuanya tergenapi.

Mari kita beralih dari janji Allah kepada Abraham kepada janji-Nya kepada kita, anak-anak
Abraham, yang saya ambil dari surat Roma dan Efesus.

Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris,
maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama
dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan
bersama-sama dengan Dia. (Rm. 8:17)

Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti
pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang
ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus, dan betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya, sesuai
dengan kekuatan kuasa-Nya, yang dikerjakan-Nya di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari
antara orang mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di sorga, jauh lebih tinggi dari
segala pemerintah dan penguasa dan kekuasaan dan kerajaan dan tiap-tiap nama yang dapat disebut,
bukan hanya di dunia ini saja, melainkan juga di dunia yang akan datang. Dan segala sesuatu
telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai
Kepala dari segala yang ada. Jemaat yang adalah tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang
memenuhi semua dan segala sesuatu. (Ef. 1:18-23)

Bagaimana seharusnya kita memahami janji Allah di atas bagi kita? Mari kita bandingkan
janji untuk Abraham di Perjanjian Lama dengan janji untuk anak-anak Allah di Perjanjian
Baru. Abraham yang istrinya mandul dan ialah orang asing di tanah Kanaan dijanjikan akan
menjadi bangsa yang besar dan menguasai tanah Kanaan. Sebagai perbandingan, anak-anak
Allah, pengikut Kristus di Perjanjian Baru dijanjikan segala sesuatu, seluruh dunia, seluruh
makhluk
. Di dalam surat Efesus dikatakan bahwa Allah Bapa akan meletakkan segala sesuatu
di bawah kaki Kristus dan Kristus yang empunya segala sesuatu itu akan diberikan kepada
kita sebagai Kepala
. Artinya, kita akan bersatu dengan Kristus sebagai tubuh-Nya yang
dikuasai-Nya, dan bersama-sama dengan Kristus kita akan memerintah seluruh ciptaan.

Oh, bukankah skeptisisme mulai mengintip di dalam hati kita. Bukankah seperti Sarah, kita
tertawa sinis dan pertanyaan-pertanyaan mulai muncul. Bukankah pengikut Kristus lemah,
tidak berdaya di tengah-tengah penganiayaan kekuasaan dunia yang membenci Kristus? Masa
sih kita akan jadi penguasa? Realitasnya, kita mau beribadah saja bisa dihalangi dan mau
membangun gedung gereja pun sulit mendapatkan izin. Itukah ciri-ciri orang yang akan
mewarisi seluruh jagat raya?

Surat Ibrani mengingatkan kita bahwa orang beriman adalah pahlawan iman, orang
yang mati tanpa melihat janji Allah digenapi. Kalimat Paulus di surat Roma menghibur kita:
justru jika kita menderita bersama-sama Dia, itu membuktikan bahwa kita termasuk di dalam
orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah. Suatu hari di kekekalan, bagaimana
kita melihat kembali masa-masa kita mendengar janji Allah di atas, dan bagaimana respons
kita terhadap janji Allah itu? Apakah nanti ada senyum kecil di bibir kita melihat kekurangan
iman kita, atau air mata karena kita bersyukur bahwa kita sudah percaya dan setia kepada
janji itu?