Sampul buku "Tidak Seperti Maksud Semula"

Alergi Manusia terhadap Dosa

Judul : Tidak Seperti Maksud Semula
Subjudul : Suatu Ikhtisar Populer tentang Dosa
Pengarang : Cornelius Plantinga, Jr.
Penerjemah: Ellen Hanafi
Penerbit : Momentum
Tahun : 2004 (cetakan pertama)
Tebal : xviii + 214 halaman

“Mengapa versi-versi baru yang telah direvisi mengenai Allah masih terus bermunculan? Mengapa Allah muncul sebagai rasis, seksis, chauvinist, politically correct, legalis, sosialis, kapitalis?” (hlm. 116). Manusia zaman sekarang, termasuk gereja-gereja yang memiliki kecenderungan mendemokrasikan Allah, agaknya alergi dengan dosa, bukan dalam artian membenci dosa, tetapi menyangkali keberadaan dosa. Hal tersebutlah yang mendorong Cornelius Plantinga, Jr. menulis buku “Tidak Seperti Maksud Semula”. Dengan jeli, mantan Profesor Theologi Sistematika di Calvin Theological Seminary ini menyadari hilangnya kemampuan manusia melihat realitas dosa yang menyebabkan pengaburan pengenalan akan diri dan kebenaran Allah. Plantinga menulis buku ini menggunakan bumbu ironi dan kaya akan gaya bahasa yang segar.

Menurut Plantinga, yang juga melayani di Christian Reformed Church Michigan, definisi dosa adalah vandalisme shalom yang sepatutnya dihukum. Kerusakan rohani dimulai ketika penciptaan yang penuh dengan “unity in diversity” dikuntit dan dirongrong oleh momok yang memutuskan unity dan mengaburkan diversity. Proses berkembangnya kerusakan manusia dari penyimpangan, pencemaran, dan disintegrasi mendapatkan sorotan tersendiri. Entitas yang sehat mulai melemah, rusak, dan akhirnya menghilang. Puncaknya yang disebut Amor Mortis (Passion of Death) merusak manusia sampai pusat pengendali jiwa, membawa manusia pada pembalikan nilai yang kejam, dan memperbudak manusia untuk “hidup dan menikmati” dinamika dosa.

Bab IV “Ikhtisar Populer tentang Dosa” ini membahas impartasi dan ‘penyerbukan silang’ dosa dalam reproduksinya. Aspek psikologis dan sosiologis yang dipertemukan dengan konteks sejarah dan budaya membentuk matriks kehidupan yang rumit sekali. Konteks, motif, dan penyebab manusia melakukan dosa menjadi tidak terdeteksi akibat kompleksnya matriks kehidupan tersebut.

Natur dosa yang adalah parasit dan penyamar ulung menjadi inti dan terletak di bagian tengah buku ini. Natur yang sulit terdeteksi dalam realita ini disingkapkan dengan elegan oleh Plantinga. Parasit menunggangi sifat/kualitas terbaik manusia seperti kecerdasan, kreativitas, imajinasi, dan keberanian. Fakta ini tidak mengherankan karena parasit disebut parasit karena ia menyedot dan mendapat kekuatan dan dinamika hidup inangnya. Dosa yang menghinggapi raksasa-raksasa seperti Luther dan Douglas MacArthur juga tidak lepas dari pengamatan Plantinga. Berikut adalah kutipan mengenai keadaan yang menyedihkan dari seorang besar, “Winston Churchill sangat mengagumi kemampuannya berbicara sehingga ia terbiasa berbaring sambil mengingat apa yang ia katakan …. Churchill juga pernah membawa kembali puding ke dapur sambil mengeluh bahwa puding itu kekurangan topik.” (hlm. 91 & 109).

Topik penyamaran ditandai dengan pembuangan moralisasi dalam pendidikan secara khusus, semangat zaman tanpa adanya pengakuan dosa, politikus yang politically correct, serta penipuan terhadap diri sendiri. Dalam perikop tersendiri, Plantinga menyinarkan rontgen-nya menerobos dan menyorot natur kemunafikan hati manusia berdosa, “Kita mengelabui diri sendiri. Kita mengingkari, menahan, atau memperkecil apa yang kita ketahui sebagai sesuatu yang benar. Kita menegaskan, memperindah, dan menjunjung apa yang kita ketahui sebagai sesuatu yang salah. Kita memperbagus realitas yang buruk dan menjual versi yang telah dipercantik itu kepada diri sendiri.” (hlm. 112).

Telah nyata bahwa kebebalan pasti tidak terlepas dari dosa. Pembahasan poin dosa dan kebebalan ini dimulai dengan hikmat yang berlawanan dengan kebodohan dan kebebalan. Orang yang berhikmat menghormati realita dan mengenal dunia ciptaan dengan baik. Ia mengetahui, menegaskan, mencermati, dan menyesuaikan diri dengan realita. Plantinga juga mengutarakan bahwa dosa adalah kebodohan yang paling mengesankan di dunia. Dosa itu salah, bodoh, sia-sia, tidak berguna, tidak realistis, tetapi toh memiliki gayanya sendiri.

Plantinga yang sekarang ini menjabat sebagai Presiden Calvin Theological Seminary juga mengupas tragedi kecanduan, termasuk di dalamnya relasi wilayah dosa dan kecanduan. Kecanduan disebut tragedi karena mencakup tidak hanya perilaku tetapi juga kejatuhan pelaku yang dramatis yang disebabkan oleh: kecanduan itu sangat kuat, liat, menyusahkan, dan sabar.

Poin terakhir yang disinggung adalah kepengecutan dosa, yaitu serang dan lari. Sifat ini telah ada sejak kejatuhan Adam yaitu setelah manusia melakukan dosa, maka ia akan lari, mengelak, dan meninggalkan shalom.

Tidak lupa dalam epilognya Plantinga mengingatkan bahwa topik dosa tidak boleh lepas dari realitas ciptaan dan anugerah. Dan dosa hanyalah parasit, penghancur, dan perusak. Segigih, sekuat, seliat, dan sesabarnya dosa, rancangan dan anugerah Allah melampauinya dalam “koyakan dan geliat kesakitan dari sesosok tubuh di kayu salib, manuver metafisik aneh dari pemakaian kematian untuk mengalahkan kematian” (hal. 5).

Di tengah-tengah sifat alergi manusia terhadap istilah dosa, sementara wabah/epidemis dosa terus bereproduksi, buku “Not the Way It’s Supposed to Be”  terbitan Eerdmans (terj. Momentum) ini menjadi mercusuar yang menerangi konsep seluruh umat manusia yang telah jatuh dalam dosa. Karena buku ini dikemas dengan jenius, yang meskipun ditulis dalam bahasa sehari-hari tetapi tetap disertai prinsip mendalam bahkan cara penulisan yang indah, maka pembaca Kristen non-theolog secara khusus dan tidak menutup kemungkinan kaum sekularis pasti akan mendapat berkat dan sangat menikmatinya.

Lukas Yuan

Pemuda GRII Singapura