An Introduction to Systematic Theology

Judul Buku: An Introduction to Systematic Theology
Penulis: Cornelius Van Til
Tebal: 409 halaman
Penerbit: P & R Publishing

Banyak orang Kristen belajar theologi sistematika tanpa memikirkan fondasi yang mendasari semuanya itu. Hal ini mengakibatkan terdapatnya gap yang cukup besar antara theologi sistematika dan epistemologi di dalam pemikiran orang Kristen tersebut. Kita tidak mempunyai basis yang cukup untuk menjelaskan bagaimana konsep-konsep theologi sistematika dapat kita ketahui. Melalui epistemologi Reformed – di mana konsep pengetahuan analogi sebagai satu-satunya kemungkinan adanya pengetahuan – buku ini mempertahankan theologi sistematika. Selain itu di dalam buku ini, kita bisa melihat adanya kombinasi yang organik antara theologi sistematika dan apologetika, suatu keutuhan antara pengetahuan dan praktika.

Melalui buku ini terlihat bagaimana Van Til berusaha membangun suatu sistem theologi yang berpusat pada Allah dan wahyu-Nya kepada manusia. Allah berada pada posisi sebagai Sang Absolut dari semua pengetahuan dan pengetahuan manusia hanyalah bersifat derivasi dari pencipta-Nya. Inilah metode yang Van Til gunakan dalam setiap bidang theologinya. Untuk membangun hal ini, Van Til mulai dengan menganalisis sistem epistemologi dan theologi yang digunakan oleh manusia dalam sejarah. Setelah itu ia membangun suatu sistem epistemologi dan theologi yang memutlakkan Allah dalam segala sesuatu. Sistem pemikiran Van Til tentunya tidak bisa dilepaskan dari para pendahulunya seperti Bavinck. Akan tetapi dalam buku ini dia menunjukkan orisinalitas pemikirannya dan beberapa kritik terhadap epistemologi Kristen yang sudah dibangun oleh Hodge, Bavinck, dan Valentine Hepp. Charles Hodge menggunakan rasio sebagai penerima[1], penguji[2], dan penilai[3] wahyu, tetapi Van Til melihat bahwa jika tanpa sistem analogis, hal ini hanyalah menjadi sesuatu yang abstrak. Selain itu, hal ini juga membuka kemungkinan bagi sistem monistis non-Kristen. Bavinck berhasil mengkritik rasionalisme dan empirisme, lalu membentuk satu sistem realisme yang dibangun atas prinsip a-priori di luar manusia dan dapat digunakan sebagai pijakan pengetahuan.

Tetapi Van Til melihat Bavinck gagal dalam membedakan a-priori Kristen dan non-Kristen. Valentine Hepp mengisi kekosongan a-priori yang dibuat Bavinck dengan kesaksian internal Roh Kudus dalam menginterpretasi wahyu[4], tetapi Van Til melihat adanya kesalahan serius ketika Hepp mengambil pijakan netral. Hal ini menunjukkan bahwa Hepp belum sepenuhnya ‘bersih’ dari theologi natural.

Segala sistem epistemologi non-Kristen dibangun atas dasar manusia sehingga hal ini akan menghilangkan fondasi utama dari epistemologi yaitu creator-creature distinction. Konsep ini sering dikritik karena menciptakan sistem pengetahuan yang dualistis[5], namun hilangnya konsep penting ini akan menyebabkan gang buntu dalam epistemologi, entah sistem pemikiran yang memakai pendekatan rasional[6], irasional[7], ataupun gabungan keduanya[8] karena ketika manusia menjadi pusat maka seluruh pengetahuan manusia akan menjadi univocal[9] dan bukan analogis[10]. Sistem analogis menjadi satu-satunya solusi karena hal ini berarti pengetahuan manusia dan Tuhan akan bertemu di semua titik, hanya berbeda secara kualitas. Oleh karena itu, kita tidak akan khawatir lagi dengan misteri yang telah menjadi musuh epistemologi, karena memang misteri menunjukkan perbedaan kualitas pengetahuan kita dengan Tuhan. Sebagai ciptaan, apalagi yang sudah jatuh dalam dosa, posisi wahyu menjadi sangat penting. Wahyu-wahyu tersebut akan saling mempresuposisikan[11] dan respons manusia terhadap wahyu ini menunjukkan pengetahuan manusia yang bersifat analogi.

Konsep Van Til ini akan terlihat sangat abstrak dan lebih ke arah filosofis dibanding theologi. Tetapi abstraksi itu sendiri tidak disukai Van Til karena dalam sistem pemikiran Van Til, pengetahuan haruslah bersifat organik dan dapat langsung kita rasakan sebagai derivasi dari Allah. Oleh karena itu, Van Til memberikan banyak sekali contoh tentang wahyu yang saling mempresuposisikan. Konsep ini akan lebih jelas lagi ketika Van Til menggunakan konsep ini dalam membahas theology proper[12]. Dalam theology proper-nya, bisa dilihat dengan jelas bagaimana mempresuposisikan Allah sejak awal mampu melepaskan kita dari kontradiksi untuk kasus-kasus di mana Allah kelihatan impersonal. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh bab dan isi buku ini saling konsisten satu sama lain, terus-menerus mempresuposisikan Allah dan juga bersifat organik (tidak abstrak) sebagai wujud dari pengetahuan manusia yang analogis terhadap pengetahuan Tuhan.

Seperti biasa, konsep antithesis tidak bisa dilepaskan dari pandangan Van Til. Sepanjang buku ini, Van Til terus meneriakkan antithesis antara cara berpikir Kristen yang analogis dan cara berpikir non-Kristen yang univocal. Sistem univocal sendiri mempunyai 2 ekstrem yaitu rasionalitas dan irasionalitas, dan umumnya sistem yang dipakai manusia berada di antara kedua hal ini. Di dalam buku ini, Van Til membahas banyak kasus univocal dalam dunia filsafat misalnya idealisme[13] yang lebih bersifat rasional dan eksistensialisme[14] yang lebih bersifat irasional, maupun theologi misalnya Romanisme[15] yang lebih bersifat rasional dan Neo-ortodoks[16] yang lebih bersifat irasional, selanjutnya ia mengontraskannya dengan sistem pemikiran Kristen yang bersifat analogis. Baik rasional maupun irasional, keduanya bersembunyi di balik fondasi pengetahuan manusia yang univocal di mana hal ini mempresuposisikan otonomi manusia yang ultimat. Sebaliknya pengetahuan yang bersifat analogis selalu mempresuposisikan otonomi Allah yang ultimat dan manusia sebagai derivasinya. Prinsip antithesis ini juga menunjukkan bahwa tidak ada kesamaan di satu titik pun antara sistem Kristen dan sistem non-Kristen, sebab memang kedua sistem ini menggunakan titik pijak yang berbeda. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika tidak ada common ground dalam kedua sistem pengetahuan ini.

Oleh karena itu, sebagai ciptaan yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, marilah kita selalu mempresuposisikan Tuhan dalam segala hal yang sudah Tuhan percayakan untuk kita pelajari maupun kita alami, baik itu filsafat, matematika, sejarah, psikologi, masak-memasak, antre bus, dan lain-lain, sehingga melalui hal ini kita bisa berespons dengan benar kepada-Nya seperti yang Ia kehendaki dan pada akhirnya segala kemuliaan kita kembalikan kepada-Nya.

Hendrik Santoso Sugiarto
Pemuda GRII Singapura

Endnotes:
[1] Memberi kapasitas yang memadai kepada penerimanya.
[2] Menentukan logis tidaknya.
[3] Menilai bukti-bukti dari wahyu.
[4] Menurut Hepp, kesaksian ini bersifat universal dan ada dalam diri orang percaya dan orang tidak percaya, sehingga mereka dapat menginterpretasikan fakta (seperti 1+1=2) dengan benar.
[5] Adanya 2 realm, yaitu realm pencipta dan realm ciptaan. Biasanya Van Til mengkritik balik sistem monistis (satu realm) sebagai pantheistic worldview.
[6] Pandangan bahwa manusia bisa memahami segala sesuatu, sehingga fakta didekati dengan rasio.
[7] Pandangan bahwa tidak ada satu pun yang bisa dipahami manusia, sehingga fakta didekati dengan misteri.
[8] Kebanyakan sistem modern berada di antara kedua pandangan ekstrem ini. Parmenides (mengatakan bahwa realitas adalah sistem logika yang konsisten, perubahan hanyalah persepsi) adalah contoh rasionalitas ekstrem; Heraklitos (mengatakan realitas adalah perubahan, tidak ada sesuatu yang konsisten) adalah contoh irasionalitas ekstrem.
[9] Pengetahuan bisa dipersepsi langsung oleh manusia.
[10] Pengetahuan manusia bersifat derivasi dari pencipta.
[11] Van Til memberikan 3 bidang yaitu wahyu mengenai alam, manusia, dan Allah. Ketiga wahyu ini saling mempresuposisikan satu sama lain.
[12] Theology proper dikenal dengan nama doktrin Allah, memang dalam buku ini hanya dibahas satu doktrin dari banyaknya doktrin lain dalam theologi sistematika. Tetapi hal ini wajar karena sejak awal keinginan Van Til bukanlah membahas theologi sistematika tetapi sistem yang mendasari theologi sistematika. Selain itu, doktrin Allah dipilih karena doktrin inilah yang akan menjadi fondasi doktrin-doktrin lainnya.
[13] Sistem filsafat yang dibangun oleh Hegel. Sistem ini menggunakan prinsip dialektika yang bekerja dalam gerak zaman yang lebih bersifat abstrak dan konseptual.
[14] Sistem filsafat yang dibangun oleh Kierkegaard. Sistem ini menekankan akan kebenaran yang bersifat subjektif dan harus dialami sendiri sehingga kebenaran tersebut menjadi unik dan berbeda untuk tiap pribadi.
[15] Sistem theologi katolik medieval dikenal juga dengan Skolastisisme atau Thomisme karena memang ada banyak andil dari Thomas Aquinas. Sistem ini menekankan theologi natural di mana manusia bisa mencapai kebenaran dengan menggunakan rasio dan alam semesta.
[16] Sistem theologi yang muncul sebagai reaksi dari liberalisme, meskipun spektrumnya cukup luas tapi lebih banyak dikenal dengan Barthianisme karena posisi Karl Barth yang cukup populer di kalangan Neo-ortodoks. Sistem ini menekankan akan ketidakmampuan manusia memahami firman tanpa iluminasi dari Tuhan dan juga hal-hal historis di kekristenan tidaklah penting, yang penting adalah makna rohaninya.