Arsitek Jiwa 2

Judul: Arsitek Jiwa II
Penulis: Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerbit: Lembaga Reformed Injili Indonesia
Tebal: 137 halaman
Cetakan: Kedua, Agustus 1995

Bagaimanakah menjadi seorang pendidik yang baik? Apa yang menjadi keunikan keKristenan dalam pendidikan? Buku ini merupakan pelengkap buku “Arsitek Jiwa 1” yang lebih difokuskan dalam metode pendidikan anak. Pembaca dapat membaca buku yang pertama dan dilanjutkan dengan buku ini untuk mendapatkan pengajaran yang lebih komprehensif dari kedua serial “Arsitek Jiwa” yang dibahas oleh Pdt. Dr. Stephen Tong.

Menyambung dari buku pertama yang menekankan bahwa pendidikan Kristen adalah menegakkan karakter keKristenan yang bertanggung jawab, maka buku ini lebih menekankan tentang rahasia kesuksesan dalam pendidikan Kristen, yaitu guru itu sendiri. Pada bab pertama, Pak Tong membahas tentang kualitas dan relasi antara guru dan murid, yang diawali dengan perbandingan antara guru agama dan guru lainnya, yaitu dalam tujuan yang bersifat Theocentric dan Anthropocentric. Menjadi guru merupakan panggilan yang sangat mulia, karena di dalam Yakobus 3:1 dikatakan bahwa: “Janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat.” Kalimat ini memiliki makna yang begitu dalam, dan ayat ini diberikan agar kita tidak sembarangan ingin menjadi guru, karena menjadi guru menyangkut hidup orang lain, khususnya hidup orang yang dididik. Sebagai guru Kristen, seseorang juga harus dituntut sudah dilahirkan kembali; dilahirkan kembali oleh Roh Kudus, dilahirkan kembali oleh Allah, dilahirkan kembali dalam Firman, dan dilahirkan kembali dari Injil. Selain itu, prinsip-prinsip penting yang perlu diperhatikan dalam pembentukan karakter seorang murid adalah kasih, keadilan, bijaksana, dan kebajikan. Menjadi guru yang baik juga harus didukung oleh sistem pendidikan yang baik pula, yang memiliki urutan sebagai berikut: Guru yang bermutu, bahan pelajaran yang sangat bermutu, murid-murid yang bisa dididik, dan fasilitas yang memadai. Urutan ini tidak boleh diputarbalikkan. Bab ini juga membahas tentang tuntutan dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru Kristen, dan cara pandang seorang guru kepada murid sebagai suatu pribadi, bukan sebagai suatu objek profit. Karena kalau kita memandang manusia sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan diri, maka kita sebagai manusia tidak menjalankan tugas kita sebagai wadah kebenaran.

Setelah kita mengerti peranan seorang guru, khususnya guru Kristen, di dalam bab 2 Pak Tong membahas tentang metode pendidikan Kristen, yang diawali dengan peranan Roh Kudus dalam pendidikan. Mazmur 78:72 mengatakan bahwa: “Ia menggembalakan mereka dengan hati yang tulus dan menuntun mereka dengan cara yang bijaksana.” Hati yang tulus bersifat di dalam dan bijaksana bersifat di luar. Ini merupakan lukisan bagi seorang guru atau pengajar. Seorang pemimpin yang baik harus memiliki kebenaran, ketulusan, dan kejujuran sebagai dasar motivasi dan kelincahan, kebijaksanaan, keterampilan dalam teknik kepemimpinan. Alkitab juga mengatakan bahwa kita harus senantiasa dipenuhi oleh Roh Kudus. Roh Kudus adalah Roh Kebenaran dan kebenaran Firman adalah Firman yang kudus. Pekerjaan Roh Kudus yang terbesar adalah menurunkan Firman dari surga ke dunia. Firman menjadi tulisan dan Firman menjadi Daging. Mendidik di dalam kebenaran adalah implikasi dari hidup di dalam kepenuhan Roh Kudus. Wadah yang kepenuhan air akan mengalirkan air itu keluar dan menjadi berkat untuk orang lain. Cara mengalirkan air tersebut bisa dimiringkan ataupun dibocorkan, tetapi kita sebagai wadah kebenaran biarlah terisi secara alami oleh kebenaran dan menjadi berkat untuk orang lain dengan tidak dibuat-buat. Dalam bab ini Pak Tong juga membahas tentang klasifikasi proses belajar yang menurut saya adalah salah satu teknik belajar yang sangat baik, karena proses belajar yang dipaparkan sangat komprehensif dan relevan, yaitu proses belajar melalui indra, respon jiwa, imajinasi, penganalisisan rasio, penemuan fakta-fakta yang berlawanan, praktek, dan mencontoh. Ketika kita ingin mengajar, kita harus mengajarkan kebenaran. Kita harus sudah menyadari bahwa kita adalah murid kebenaran. Salah satu bahan peraga adalah diri kita sendiri. Maka tahapan pendidikan yang penting juga dibahas dalam buku ini mencakup informasi, iluminasi, inspirasi, improvisasi, dan inquiry. Tentu saja, kita juga tidak akan pernah lepas dari pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan yang baik adalah pertanyaan yang bersifat mengkonsolidasi pikiran murid dan bersifat konstruktif, guru yang baik akan bertanya kepada muridnya bukan dengan tujuan sengaja untuk merusak pemikiran mereka, melainkan untuk menuntun murid agar dapat berpikir lebih ke depan dan dengan tujuan agar murid tersebut dapat maju.

Setelah kita mengerti tentang kualitas guru, relasi antara guru dan murid, serta metode pendidikan Kristen yang berdasar dari prinsip firman Tuhan, Pak Tong juga membahas tentang otoritas seorang guru. Sebelumnya kita harus mengerti apakah itu ordo otoritas yang dijelaskan di dalam Alkitab. Yang pertama, Pak Tong memberikan penjelasan ordo dalam aspek theologis yang menempatkan Tuhan sebagai otoritas tertinggi, manusia sebagai wakil Allah, dan alam itu sendiri. Ordo ini tidak boleh diputarbalikkan demi kelancaran suatu sistem yang diberikan Allah, manusia pernah mencoba mengubah ini ketika Hawa terpikat oleh godaan ular dan mempengaruhi Adam untuk memakannya pula. Maka timbullah kekacauan/chaos yang menyebabkan manusia “mati” di hadapan Allah, dan ketika Yesus Kristus datang untuk pertama kalinya (Firman menjadi Daging), maka tugas-Nya adalah untuk memperbaiki ordo otoritas agar kembali ke tempatnya dengan baik seperti semula. Pentingnya ordo dalam relasi pendidikan pun harus memiliki dasar pemikiran seperti ordo yang terdapat dalam Alkitab, agar dapat menjadi suatu sistem pembelajaran yang baik dan bertanggung jawab. Setelah dilihat dari aspek theologis, maka yang berikutnya Pak Tong menjelaskan otoritas seseorang dari aspek praksis/praktek sehari-hari. Seorang guru yang agung memiliki sifat selalu mau menjadi murid kebenaran. Menjadi murid kebenaran yaitu menjadi murid yang selalu ingin menjadi wadah kebenaran. Tetapi yang kadang menjadi kesulitan adalah menjadi equilibrium antara keadilan dan cinta kasih. Harmonisasi antara keadilan dan cinta kasih akan menjadikan guru tersebut memiliki sifat bijaksana yang sangat tinggi. Adapun dibahas tentang sikap guru yang terlalu keras kepada muridnya atau terlalu lembut kepada muridnya akan berdampak buruk bagi murid tersebut, karena kita sebagai guru seharusnya memiliki sifat bijaksana. Di sini juga diberikan beberapa kasus praktis, seperti kita juga harus memperhatikan kondisi kelas kita agar terjadi proses belajar dan mengajar yang baik. Jangan salahkan murid ketika mereka ribut karena adanya ventilasi buruk, tempat duduk yang tidak memadai, dan ruangan yang terlalu padat. Hal praktis juga harus diperhatikan. Pada akhir bab 3 ditekankan sekali lagi bahwa tugas kita sebagai guru adalah membawa orang kepada otoritas Allah melalui otoritas kita yang sudah terlebih dahulu ditundukkan di bawah otoritas Allah, baru kemudian melalui kebenaran, cinta kasih, dan keadilan Allah kita menaklukkan orang lain.

Setelah tuntas membahas tentang otoritas seorang guru pada bab 3, juga diberikan FAQ (Frequently Asked Question) pada bab tambahan. Pada bab ini banyak sekali jawaban-jawaban yang sangat memberikan inspirasi dan sangat kental aspek pendidikan. Kiranya buku ini dapat memberikan pengertian yang lebih mendalam dan komprehensif di dalam pendidikan Kristen.

Hans Yulizar Sebastian

Pemuda GRII Pusat