Emosi yang Dikuduskan

Judul : Pengudusan Emosi
Penulis : Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerbit : Momentum
Tebal : viii +397 halaman
Cetakan : 1 – September 2007

Manusia seringkali membuat kekeliruan ataupun masalah karena emosinya tidak terkendali. Seringkali secara logika kita tahu mana yang benar dan yang salah, namun ketika emosi bermain, hasilnya menjadi tidak terkendali dan salah arah sehingga segala pengetahuan kebenaran sepertinya sia-sia di dalam realitas keseharian kita. Buku ini ditranskrip dari seri khotbah Pdt. Stephen Tong dengan tema Pengudusan Emosi untuk menjawab permasalahan di atas. Sebagian besar orang Kristen masih mengalami beberapa salah pengertian dalam penanganan emosi. Biasanya orang berpikir bahwa setelah menjadi Kristen, maka seharusnya segala emosi yang “jelek” akan berbalik 180 derajat, misalnya yang tadinya suka marah-marah dan setelah menjadi Kristen tidak pernah marah lagi, tadinya sangat tegas dan kaku dan setelah menjadi Kristen akan lembut setengah mati. Memang perubahan arah emosi sangatlah penting dan bisa menjadi suatu tanda perubahan orang Kristen. Namun yang sesungguhnya ternyata tidak hanya berhenti di situ. Menjadi Kristen bukanlah berarti kita kehilangan gejolak emosi sama sekali, tetapi justru mengelola dan menyerahkan emosi kita dipimpin oleh Roh Kudus untuk terus dikuduskan-Nya. Tuhan kita di dalam Alkitab juga menyatakan Diri dalam bentuk-bentuk emosi-Nya yang kudus. Pengertian yang tepat akan emosi yang dikuduskan ini memegang peranan penting dalam kehidupan orang Kristen, sehingga kita tidak terjebak dalam kenaifan tertentu dan bisa dengan tepat peka akan pimpinan Roh Kudus.

Buku ini sangat menarik dan penting untuk diperhatikan, karena di sini Pdt. Stephen Tong membongkar pengertian kita tentang emosi yang salah kaprah. Bolehkah orang Kristen marah? Bolehkah orang Kristen cemburu? Bolehkah orang Kristen iri hati? Pertanyaan-pertanyaan demikian sangat kontroversial. Buku ini membahas 13 hal emosi yang dikuduskan: dukacita yang kudus, sukacita yang kudus, kemarahan dalam kesucian, ketakutan yang benar, kekhawatiran orang Kristen, iri hati, keinginan orang Kristen, simpati sejati, kecemburuan Ilahi, kerohanian dan luka hati, frustrasi dan putus asa, kebencian yang kudus, kasih yang sempurna. Pembahasan buku ini hampir meliputi semua aspek emosi yang dialami manusia.

Dari semua 13 emosi manusia di atas, hal yang paling sering dialami adalah dukacita dan sukacita. Hidup kita seolah tidak lain dari gesernya pendulum dari dukacita lalu menjadi sukacita lalu mungkin menjadi dukacita lagi dan seterusnya. Dalam rentang dukacita dan sukacita ini berderetlah jenis emosi-emosi yang lain di dalamnya. Banyak hal dalam dunia ini yang bisa membuat kita berdukacita, dalam buku ini Pdt. Stephen Tong mengupas bagaimana dukacita kita yang dikuduskan. Adakah dukacita kudus? Aneh sekali, bukankah katanya orang Kristen adalah orang yang paling bersukacita? Bukankah di dalam khotbah-khotbah juga dikatakan bahwa di dalam Tuhan air matamu akan dihapuskan? Namun sesungguhnya orang Kristen harus memiliki dukacita yang kudus. Perasaan dukacita membawa kita menapak di bumi. Di dalam orang Kristen ada sukacita itu benar, tapi harus ada imbangannya yaitu dukacita kudus, jika kita tidak mau terjebak dalam egoisme dan utopia semata. Apa itu dukacita yang kudus? Yaitu dukacita karena membenci dosa. Hal ini yang menjadi titik awal orang Kristen berjalan dalam kekudusan (hal. 13). Kemudian, hal-hal apa yang selayaknya membuat kita berdukacita? Kemalangan kitakah? Masalah kitakah? Memang hal-hal demikian bisa menyedihkan hati kita, namun ada hal penting yang mungkin jarang menyedihkan kita namun sebagai orang Kristen seyogyanya kita memiliki dukacita ketika melihat dunia yang amoral dan orang-orang yang belum mengenal Kristus (hal. 28). Pembongkaran semacam ini sangat radikal sehingga menyadarkan kita, dukacita yang bagaimanakah yang diinginkan oleh Tuhan?

Melihat keadaan dunia sekarang ini, tidak ada manusia yang tak takut. Apakah itu ketakutan? Di dalam Kitab Suci, kata-kata “jangan takut” – “kuatkan hatimu” berulang kali muncul, seluruhnya 365 kali. Itu berarti cukup untuk sepanjang tahun, setiap hari kita boleh mendapat satu kali pernyataan “jangan takut” (hal. 114).

Tentang hal kekhawatiran ada satu hal yang menarik. Penulis mengatakan bahwa menghawatirkan sesuatu berarti kita mempunyai hati dalam hal tersebut, dan orang yang khawatir adalah orang yang pintar karena ia bisa menganalisis, lalu melihat kesulitan, dan baru bisa menjadi khawatir. Namun khawatir juga mempunyai aspek negatif yaitu terlalu pesimistis (hal. 145).

Adakah iri hati yang positif? Adakah iri hati yang dikuduskan? Ini menjadi suatu pertanyaan aneh. Manusia manapun rasanya susah untuk tidak membandingkan dirinya dengan orang lain, dan dari situlah muncul iri hati. Banyak orang menjadi iri hati ketika hanya melihat ujung kesuksesan seseorang. Dan keadaan iri hati sangat mengganggu bahkan menjadi suatu kanker yang menggerogoti hati kita. Iri hati sulit nampak di luar, di depan orang kita masih bisa berlaku serendah hati mungkin, sesopan mungkin, tapi tetap sambil menyimpan iri hati. Iri hati bukan anak tunggal, ia adalah nenek moyang yang melahirkan cucu buyut yang tidak habis-habisnya (hal. 169). Peringatan ini harus menjadi pertimbangan yang penting dalam hati kita. Pernyataan yang sangat gamblang, membongkar asal dan kecelakaan besar yang mungkin diturunkan daripada yang namanya iri hati.

Dalam keseharian hidup ketika berulang kali masalah tidak kunjung reda, sampailah kita pada garis keputusasaan. Mengapa frustrasi? Mengapa putus asa? Karena asanya putus, atau karena banyak asa yang asalnya tidak berfondasikan kebenaran Tuhan (hal. 311). Pernyataan ini menunjukkan dengan jelas asal muasal keputusasaan. Putus asa menjadi hasil sebuah proses hidup kita yang ternyata tidak berkait dengan kebenaran Allah. Dan keputusasaan bukan dihasilkan dalam waktu singkat, sehingga ternyata dalam sekian waktu lamanya barulah ditemukan bahwa segala yang dilakukan ternyata tidak berkait dengan Tuhan. Putus asa menjadi suatu kondisi yang sulit dibangunkan kembali karena sudah hilangnya harapan. Bagaimana melepaskan diri dari putus asa? Tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada Tuhan dan kembali rela untuk dihajar supaya kita berhenti dari ambisi yang liar (hal. 329).

Dan sebagai penutup buku ini, penulis memukul gong dari semua kemungkinan emosi manusia yaitu Kasih yang Sempurna. Allah adalah kasih hanya terdapat dalam kekristenan. Dalam agama-agama lain, kasih hanya merupakan sifat allahnya, bukan pribadi Allah itu sendiri. Manusia memiliki kasih karena mendapatkan dari Allah yang adalah Diri-Nya kasih itu sendiri (hal. 370). Cinta itu melampaui dalil waktu. Cinta kasih mempunyai kemampuan untuk menjangkau unknown quantitiy (kuantitas yang tak terhitung), sehingga tidak habis namun berlimpah dan terus bisa dibagikan kepada orang lain (hal. 372). Untuk sanggup mengasihi dengan tulus dan murni, kita harus kembali pada sumber kasih itu sendiri, yaitu Yesus Kristus yang telah mati dan menebus umat-Nya dari dosa dengan menempuh jalan inkarnasi dan salib. Di luar kasih ini, tidak ada kasih yang sejati. Dan Allah sudah mengutus Roh Kudus ke dalam dunia untuk senantiasa mendampingi dan memimpin setiap orang percaya untuk semakin dikuduskan hari demi hari, bagi Allah dan kemuliaan-Nya.

Buku ini sangat dianjurkan bagi setiap orang Kristen dan biarlah setiap pernyataannya membongkar sudut-sudut emosi serta paradigma kita yang salah, karena keseharian kita tidak lain adalah proses pengudusan yang terus menerus, sehingga semakin hari semakin memperkenan hati Tuhan.

 

Dewi Arianti Winarko

Mahasiswi Institut Reformed Jakarta