Judul: Dasar Pendidikan Kristen
Pengarang: Louis Berkhof dan Cornelius Van Til
Penerbit: Momentum
Tahun terbit: 2004
Tebal: 203 hal.
Antitesis… mungkin itulah kata yang cocok untuk merangkum isi buku ini dalam satu kata. Secara umum, buku ini terus-menerus mengontraskan sistem pemikiran Kristen dengan sistem pemikiran non-Kristen di dalam aspek pendidikan. Antitesis yang muncul antara sistem pendidikan Kristen dan non-Kristen dimulai dari hal yang sangat mendasar, bukan hanya di tingkat permukaan maupun aplikasi saja. Perbedaan di antara keduanya bersifat theologis. Perbedaan ultimat yang mengutubkan dua sistem pendidikan ini adalah bahwa sistem Kristen akan selalu mempresuposisikan Tuhan sejati sebagai fondasi pendidikannya, sedangkan sistem non-Kristen akan mempresuposisikan ilah lain. Buku ini tidak banyak membahas tentang studi kasus, sebaliknya lebih keras berbicara tentang kebobrokan sistem pendidikan sekuler (atheistik) yang sudah sangat menjamur di Amerika dan yang sudah diakui oleh seluruh dunia sebagai sistem pendidikan yang paling berkualitas.
Antitesis ini dapat kita temui dalam setiap segi kehidupan, termasuk pendidikan. Mulai dari fondasi yang paling bawah, sistem Kristen akan selalu mempresuposisikan Allah sejati sebagai landasan pengetahuan. Impact-nya adalah bahwa kita akan selalu menarik pengetahuan kita sebagai sistem yang analogi atau derivasi dari pengetahuan Allah yang mengindikasikan ketidakterbatasan pengetahuan. Dengan demikian, kita menerima adanya misteri dan paradoks dalam semua hal. Selain antitesis dalam content pendidikan yakni pengetahuan, sistem pendidikan Kristen akan selalu melihat objek pendidikan (anak) sebagai gambar dan rupa Allah yang sudah jatuh dalam dosa. Melalui pendidikan, anak akan dibawa ke dalam kehidupan yang sesuai dengan pekerjaan baik yang telah Allah persiapkan sebelumnya.
Sebaliknya, sistem pendidikan sekular akan mempresuposisikan manusia sebagai ukuran dari segala sesuatu, yang mengindikasikan bahwa manusia mempunyai kapabilitas untuk memahami semua hal. Hal yang tidak dapat dipahami akan direduksi menjadi hal yang belum dipahami. Sistem ini melihat anak sebagai objek hidup yang bisa dibentuk pemikirannya melalui cara-cara psikologi yang naturalistik dalam suasana impersonalitas tanpa mempedulikan keunikan masing-masing anak dan anak diarahkan untuk menjadi produk demi kebutuhan dan gerak zaman. Dengan kata lain, manusia dijadikan produk untuk merespons kebutuhan zaman sesuai semangat zaman itu.
Banyak orang, termasuk orang Kristen, tidak terlalu peduli pada sistem pendidikan yang digunakan, walaupun banyak yang peduli terhadap pendidikan anak-anaknya. Kepedulian orang banyak biasanya hanya sampai pada tahap kualitas kurikulum, guru, dan fasilitas, tanpa pernah mengkhawatirkan presuposisi yang dipakai oleh sistem pendidikan tersebut. Sementara orang lain mungkin akan lebih peduli terhadap kualitas life-skill dan moralitas suatu sekolah, padahal hal-hal tersebut baru dapat dibangun jika kita sudah mempunyai fondasi presuposisi yang benar. Di dalam dunia yang sudah tidak mempresuposisikan Tuhan, ketidakpedulian semacam ini sangat wajar ditemukan. Padahal pendidikan adalah hal yang sangat krusial dalam membentuk sistem pemikiran dan kehidupan seorang manusia. Sistem pendidikan Kristen membuat manusia untuk mengaitkan segala sesuatu dengan Allah, sebaliknya sistem pendidikan sekular menghalangi manusia untuk melihat Tuhan dalam segala sesuatu (fakta yang sama). Di sinilah bahayanya. Manusia dididik bukan lagi untuk melihat kemuliaan Allah melalui keseluruhan ciptaan, termasuk hidup manusia itu sendiri, tetapi dididik untuk melihat seluruh ciptaan tanpa Allah. Sistem pendidikan demikian lebih tepat disebut anti-theistik dibanding atheistik.
Dari luar presuposisi ini tidak tampak, tetapi dari dalam ber-impact sangat kuat. Hal ini tidak disadari oleh banyak orang yang mengaku dirinya Kristen. Tanpa disadari, kehidupan kita sering tidak mempresuposisikan Allah dalam setiap aspek pemikirannya. Pendidikan anti-theistik secara tidak sadar akan membentuk hal ini. Sekalipun wahyu umum diberikan sama oleh Allah, tetapi cara kita menginterpretasi akan membedakan semuanya sehingga tidak ada kenetralan dalam hal ini. Maka dalam pendidikan Kristen, kebiasaan melakukan sesuatu (termasuk hal rohani seperti berdoa) tidak tertuju pada aktivitas yang impersonal tetapi merupakan suatu kebiasaan taat kepada Tuhan dan cinta terhadap Tuhannya. Pendidikan Kristen memperlakukan setiap anak didik sebagai peta dan teladan Allah yang berpotensi untuk taat dan mengasihi Allahnya. Di sinilah dualisme antara potensi (peta dan teladan Allah) dan realitas (taat dan mengasihi) tidak lagi terjadi.
Dalam buku ini juga dibahas dua hal yang cukup penting dalam pendidikan, yaitu pentingnya prinsip kovenan dan otoritas yang benar. Sistem pendidikan Kristen yang baik harus mampu mengaitkan setiap anak didiknya dengan kovenan. Pendidikan Kristen harus mampu menyadarkan mereka agar terikat pada janji dan relasi kovenan anugerah dengan Tuhan. Dalam hal ini peran orang tua sangatlah penting. Sedangkan dalam sistem sekular, otoritas diletakkan di bawah kebebasan anak dalam mengonstruksi pendidikan. Maka, guru-guru Kristen harus menyadari posisinya sebagai yang diberi otoritas oleh Tuhan untuk mendidik siswa-siswanya agar tunduk kepada-Nya dengan penuh kasih.
Ketika sistem pendidikan sudah benar, permasalahan masih tetap muncul ketika anak berinteraksi langsung dengan dunia, ketika mereka dipaksa untuk mempertahankan iman mereka. Minat terhadap integrasi hal-hal yang spiritual dan natural sudah mulai digeser oleh dunia. Dunia akan memaksa setiap orang untuk menggunakan program manusia, tetapi kita harus tetap bertahan untuk menggunakan program Kerajaan Allah. Di tengah ketidakjelasan cara pikir dunia ini, guru-guru Kristen berdiri di barisan terdepan yang paling berbahaya untuk mengembalikan setiap anak kepada Tuhan di dalam segala aspek. Sudahkah kita menjadi pendidik, baik sebagai guru ataupun orang tua Kristen?
Hendrik Santoso Sugiarto
Pemuda GRII Singapura