Judul : Why Good Arguments Often Fail
Penulis : James W. Sire
Penerbit : IVP Books/Inter-Varsity Press
Tebal : 205 halaman
Cetakan : Ke-1 (2006)
Jika sebuah argumentasi dikatakan baik, kira-kira karena apa ya? Seharusnya adalah karena ia berhasil, bukan? Tapi, good arguments that fail? Apa itu? Bagaimana mungkin? Selain itu, memang aneh menemukan bahwa pengarangnya adalah James Sire, penulis “The Universe Next Door.” Pergumulan seperti apa yang membuat cendekiawan seperti dia menulis buku ini? Sire mendedikasikan buku ini “To my friends at Starbucks where my arguments fail much too often.” Hebat, saya pikir, argumentasi-argumentasinya dalam buku “The Universe Next Door” yang luar biasa itu ternyata ditemukannya masih belum cukup mutakhir.
Sire membagi buku ini ke dalam tiga bagian. Bagian pertama, yang diberi judul “Common Logical Fallacies,” dibuka dengan “Love is Fallacy,” sebuah cerpen yang sangat meng-entertain pikiran, yang ditulis oleh Max Shulman. Cerita lucu ini berfungsi sebagai pemanasan sebelum masuk ke pembahasan yang lebih serius. Tiga bab selanjutnya membahas tentang delapan kekeliruan logika yang sering dibuat dalam berargumentasi: Dicto Simpliciter, Hasty Generalization, Post Hoc, Contradictory Premises, Ad Misericordiam, False Analogy, Hypothesis Contrary to Fact, dan Poisoning the Well. Fallacies seperti ini sering kita temui di dalam argumentasi yang dibuat oleh penentang kekristenan (kadang-kadang bahkan oleh sarjana sekelas Richard Dawkins) maupun oleh orang Kristen sendiri. Argumentasi seperti ini bukan lagi good arguments that fail, tapi ugly arguments that deserve to fail.
Baru pada bagian kedua kita dibawa masuk ke dalam pembahasan sebagaimana dijanjikan oleh judul buku “Good Arguments that Often Fail.” Lima bab dijatahkan untuk bagian ini. Intinya, Sire mengklasifikasikan penyebab gagalnya good arguments kita menjadi tiga kelompok.
Penyebab pertama adalah si apologet itu sendiri. Sikap angkuh dan ingin terlihat pintar biasanya menjadikan argumentasi kita counter-productive, meskipun argumentasi kita mungkin saja brilian waktu itu. Di sini, Sire menceritakan pengalamannya sendiri ketika jatuh dalam sikap seperti ini. Argumentasi hebatnya tidak berbuah karena menyakiti perasaan pendengarnya. Sang apologet juga seringkali salah menilai pendengarnya, terutama tingkat kepintaran mereka.
Kedua, worldview yang sudah mendarah daging (teori evolusi dan relatifisme moral) juga dapat menjadi perisai yang menahan tembakan meriam argumentasi kita. Sire sudah menjelaskan dalam buku “Naming the Elephant” bahwa worldview seseorang adalah komitmen hatinya. Karena itu adalah komitmen pendengar kita, jangan terlalu optimis kita dapat membujuk dia untuk menyeleweng dari kepercayaannya hanya dengan sekali argumentasi brilian.
Penyebab ketiga gagalnya argumentasi hebat kita adalah si pendengar itu sendiri. Ia takut menerima konsekuensi moral jika menerima argumentasi kita. Bila ia mengaku bahwa apa yang kita katakan adalah benar, ia pun harus mengubah hidupnya. Inilah yang sulit dilakukan, karena manusia sudah nyaman hidup dalam dosa. (Jadi di sini, kesalahan bukan pada yang buka toko.)
Bagian ketiga, dengan judul “Good Arguments that Work,” merupakan puncak perjalanan buku ini. Bab pertama dalam bagian ini membedah apologetika rasul Paulus di Athena (Kis. 17:16-34). Apa yang diajarkan rasul Paulus pada kita? Bab selanjutnya adalah metode presentasi Injil Sire sendiri di depan publik (kebanyakan di kampus-kampus) yang sudah digunakan puluhan tahun dan dianggap efektif. Menurut Sire, ada lima alasan mengapa orang harus percaya Kekristenan adalah benar: pertama, karakter Yesus Kristus sebagaimana digambarkan dalam Injil; kedua, kitab Injil yang layak dipercaya kesejarahannya; ketiga, konsistensi dan koherensi worldview Kristen; keempat, kesaksian hidup orang Kristen; dan kelima, kesaksian Gereja sepanjang sejarah.
Buku ini memuat banyak nasihat yang sangat bernilai dalam apologetika dan penginjilan. Sire mengaku dia mempelajari cara apologetika presuposisional dari Francis Schaeffer, yang sebelumnya belajar dari Van Til. Dibandingkan dengan Van Til, Schaeffer jauh lebih sering disebut (dan dengan nada penuh hormat). Jadi, presuposisionalis-kah Sire? Pernyataannya yang penuh tekanan bahwa “everyone’s knowledge rests on belief” (hlm. 149), berbicara banyak. Implikasi dari pernyataan itu adalah tidak ada yang netral.
Meskipun Frame sama sekali tidak disebut (bukunya “Apologetics to the Glory of God” juga tidak termasuk dalam daftar buku apologetika yang disarankan Sire di bagian akhir bukunya ini), Sire mempunyai tujuan yang sama dengan Frame. Sire menyatakan tujuan dari apologetika kita adalah “glory to God through your presenting good arguments.” Meskipun hasil akhir apologetika dan penginjilan bukan di tangan kita, kita harus merangkai argumentasi terbaik sebelum disampaikan, karena hal itu memuliakan Tuhan. Dan, “… the Christian faith is best promoted when the Christian character of Christianity is demonstrated in the very rhetorical style of its presentations” (hlm. 78). Dengan kata lain, Sire ingin mengatakan bahwa Injil paling baik disampaikan dengan karakter Kristen, bukan dengan karakter orang kurang kasih yang suka berdebat.
Bagi yang sudah membaca buku Frame, buku Sire ini mungkin akan terlihat kurang mendalam dan komprehensif. Namun buku ini baik untuk mengetahui mengapa kadang-kadang argumentasi masterpiece kita tidak berhasil meyakinkan orang karena berbagai kesalahan. Namun kadang-kadang, ketika kita tidak membuat secuil kesalahan pun, argumentasi kita tetap tidak memenangkan jiwa. Kita tidak perlu frustrasi, karena rasul Paulus pun ketika selesai berkhotbah pada orang Athena mendapat tiga respon: ada orang yang mengejek, ada orang yang membuka diri untuk mendengar lebih banyak, dan ada orang yang percaya (Kis. 17:32-34).
Tidak ada satu argumen pun yang pasti memenangkan setiap jiwa. Itu di luar kontrol kita. Menariknya, Sire mengutip C. Stephen Evans, “few (if any) come to faith primarily because of evidence or arguments.” Sire menyodorkan fakta bahwa dari dua puluh filsuf Kristen, hanya ada lima orang yang berkata bahwa rasio adalah faktor utama yang membuat mereka percaya kepada Yesus Kristus (hlm. 191). Data ini bukan untuk mendorong kita supaya tidak berapologetika lagi. Di setiap saat, kita harus menguduskan Kristus di dalam hati kita sebagai Tuhan, dan siap sedia dalam segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kita tentang pengharapan yang ada pada kita dengan lemah lembut dan hormat (I Pet 3:15). Tulisan rasul Petrus ini seolah-olah terdengar pasif. Jika orang tidak datang pada kita dan meminta pertanggungan jawab, kita diam saja. Maksud rasul Petrus pasti bukan begitu. Ketika kita aktif berbicara kepada orang lain tentang Juruselamat kita, orang lain akan meminta pertanggungan jawab dari kita. Dan pada saat itu, kita harus siap sedia dengan good arguments kita, tanpa lupa untuk bersikap lemah lembut dan hormat.
Erwan
Redaksi Umum Pillar