Sampul Buku "Apologetika bagi Kemuliaan Allah: Sebuah Pengantar"

Hidup Bersaksi, Hidup Berapologetika

Judul               : Apologetika bagi Kemuliaan Allah: Sebuah Pengantar

Judul asli         : Apologetics to The Glory of God: An Introduction

Penulis             : John M. Frame

Penerjemah      : R. BG. Steve Hendra

Penerbit           : Momentum

Tahun terbit     : 2000

Tebal               : 318 hal.

Apakah iman perlu dibela? Bukankah iman itu anugerah Allah? Apakah Allah perlu dibela? Sejauh mana kita perlu membela iman kita? Dan apa yang mendasari pembelaan iman yang sejati? Buku “Apologetika bagi Kemuliaan Allah” yang ditulis oleh John Frame ini membahas dengan cukup mendasar apa itu apologetika, yang umumnya dimengerti sebagai pembelaan iman (dalam bahasa Yunani, apologia berarti pembelaan). Dalam buku ini, Frame mengaitkan apologetika dengan pembahasan tanggung jawab manusia dan kedaulatan Allah. Yang sangat menarik dan penting, Frame sangat berfokus pada kemuliaan Allah, yang seringkali dalam beberapa pendekatan praktis apologetika awam agak tersamar dan kadang menjadi hal yang terlupakan. Kita cenderung terjebak pada suatu kesempitan dalam apologetika itu sendiri sehingga hanya menggiring masuk pada diskusi sorga dan neraka atau diselamatkan dan dihukum, yang lebih bertitik berat pada antroposentris dan menggeser theosentis.

Menurut profesor Teologi Sistematika dan Filsafat di Reformed Theological Seminary ini, apologetika adalah ilmu yang mengajar orang Kristen bagaimana memberi pertanggungjawaban tentang pengharapannya (1 Pet. 3:15-16) sehingga juga berfokus pada pribadi apologis yang bersangkutan (erat kaitannya dengan pembahasan epistemologi yang menjelajahi kerangka berpikir yang berbeda-beda). Frame membedakan apologetika dalam tiga aspek, walaupun ketiganya berkaitan erat:

  1. Pembuktian: menyampaikan sebuah dasar rasional bagi iman kepercayaan yang sebenarnya menghadapi ketidakpercayaan baik dalam diri orang percaya sendiri maupun orang tidak percaya.
  2. Pembelaan: menjawab keberatan dari ketidakpercayaan.
  3. Penyerangan: menyerang kebodohan dari ketidakpercayaan. Tuhan tidak hanya memanggil umat-Nya untuk menjawab keberatan tapi juga ofensif terhadap kebodohan keberdosaan manusia.

Sebelum berperang dalam dunia apologetika, para apologis hendaknya menilik ke dalam kehidupan relasional pribadinya dengan Allah. Karena dalam dasar Alkitab di atas, kalimat pertama adalah “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan!” Sehingga dalam diri seorang apologis dituntut percaya dan komitmen penuh pada ketuhanan Kristus karena ini akan mempengaruhi presaposisi yang akan digunakan sebagai pijakan selanjutnya. Akibat dari presaposisi ini, standar penilaian yang digunakan adalah standar yang digunakan dalam Alkitab karena Alkitab adalah Firman Allah yang melampaui otoritas semua bidang kehidupan dan Allah adalah kebenaran mutlak yang ada pada diri-Nya sendiri—Ketuhanan Kristus adalah ultimat. Ada sebagian pandangan yang mengatakan bahwa dalam berapologetika dengan orang yang tidak percaya tidak bisa menggunakan standar Alkitab karena jelas-jelas akan berseberangan dengan standar orang tidak percaya sehingga tidak pernah akan ada titik temu, maka adalah mungkin menggunakan dasar argumentasi netral yang tidak terlalu berat sebelah. Pandangan ini tampaknya agak masuk akal tetapi sebenarnya sangat berbahaya, karena dalam pembahasan lebih jauh, sejatinya tidak ada area netral di mana hal itu ternyata bersandar pada otonomi pikiran manusia yang jatuh dalam dosa. Kesaksian kita adalah suatu bijaksana Allah atau kebodohan dunia—tidak mungkin di tengahnya. Lalu orang tidak percaya tidak bisa menerima presaposisi kita—bukankah itu akhir dari pembicaraan? Tidak! Karena Allah sudah mewahyukan diri kepada setiap orang (wahyu umum dan benih iman dasar yang ditanam Allah dalam setiap hati manusia) dan kesaksian orang percaya bukanlah dorongan manusia tetapi yang sangat penting adalah merupakan pekerjaan Roh Kudus. Kita tidak boleh dan tidak bisa meragukan Roh Kudus. Apologetika yang benar adalah pekerjaan Allah dan kita hanyalah alatnya. Jadi standar dan strategi yang digunakan adalah standar dan strategi Allah, bukan dugaan kita.

Relasi kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia adalah salah satu misteri terbesar dalam iman Kristen. Walaupun Allah berdaulat, ketaatan manusia adalah kepentingan yang sangat. Allah akan mengumpulkan Gereja-Nya, tetapi hanya melalui pemberitaan oleh manusia yang beriman (Mat. 28:18-20, Kis. 1:8, Rom. 10:13-15). Keselamatan adalah hanya karena anugerah Allah, tidak ada sedikitpun jasa manusia, tetapi kita juga harus menerima bahwa Allah juga yang menentukan bagaimana caranya anugerah itu sampai pada Gereja-Nya melalui apologetika (penginjilan) yang harus kita terima sebagai standar dan strategi-Nya, kemudian mengerjakannya dengan takut dan gentar (Flp. 2:12). Kedaulatan Allahlah yang menentukan tugas manusia yang penting dalam rencana kekal-Nya dalam dunia ini. Lalu bagaimana kita menjalankan tugas ini? Seperti kata Tuhan Yesus sebelum Ia naik ke sorga, “Kamu adalah saksi-Ku,” sehingga dalam berapologetika, kita dipimpin dan digerakkan Roh Kudus menjadi saksi-Nya yang menyatakan seutuhnya dan seluruhnya kebenaran, keindahan, kebaikan, dan kemuliaan, melalui dasar pemikiran yang logis dan supralogis dalam membawa setiap manusia kepada keyakinan iman sejati dan mengarahkan perubahan ilahi dalam kehidupan manusia secara utuh.

Bab I dalam buku ini hendaklah benar-benar dipegang sebagai dasar melangkah pada bab-bab selanjutnya. Bab II meninjau Kekristenan dari segi filsafat, metafisika, epistemologi, dan etika. Yang terutama, Kekristenan adalah Kabar Baik. Kekristenan bukan alternatif dari filsafat dan standar moral etika. Seperti yang telah dikemukakan di atas, manusia tidak bisa meremehkan faktor keberdosaan manusia yang menjadi sumber eksistensi kejahatan dalam segala bidang. Solusinya bukan sekedar dorongan bekerja keras untuk memenuhi standar Allah, tetapi kita harus menerima pengampunan Allah melalui Kristus sebagai anugerah (Ef. 2:8-10). Inilah satu-satunya cara yang dipilih Allah, yaitu Kristus yang telah mati untuk menggantikan hukuman dosa kita dan dibangkitkan untuk membenarkan kita.

Dalam Bab III dan selanjutnya dibahas lebih dalam ketiga aspek apologetika yang telah dikemukakan di atas: Pembuktian, Pembelaan, dan Penyerangan. Seorang apologis, seorang yang beriman, hendaknya melihat iman bukan sebagai percaya walaupun tidak ada bukti, tetapi iman adalah menghormati Firman Allah sebagai bukti yang cukup, karena para saksi akan mati, ingatan akan hilang, tetapi Firman Allah tetap selama-lamanya. Dalam pembahasan tentang Pembuktian, penulis menjelajah pada ide awal tentang keberadaan Allah dan menjunjung otoritas Alkitab dalam menghadapi berbagai macam arus kritik terhadap Alkitab itu sendiri. Pada bagian pembahasan Pembelaan, dipaparkan kemungkinan-kemungkinan jawaban pemikiran manusia akan relasi asal keberdosaan dan Allah lalu dibandingkan dengan apa yang dikatakan dalam Alkitab. Di sini kita bisa melihat lubang-lubang pemikiran yang bersandar pada otoritas rasio manusia berdosa. Dan pada bagian terakhir dalam pembahasan tentang Penyerangan, pembaca diajak menelusuri sistem-sistem berpikir ketidakpercayaan seperti atheis (praktis dan teoritis, atau gabungan keduanya), pemujaan terhadap berhala (pengalihan kesetiaan tertinggi pada keberadaaan lain, bukan pada Allah Alkitab) kemudian memukul balik pikiran-pikiran itu dengan pertanyaan-pertanyaan apologetika Kristen.

Yang menarik, Frame, yang juga menulis buku “The Doctrine of The Knowledge of God” (yang banyak berhubungan dengan buku ini), menutup dengan kesimpulan berupa format percakapan antara apologis Kristen dan orang tidak percaya yang menggabungkan semua ketidakpercayaannya dalam proses dialog. Kita sebagai pembaca dapat melihat alur pembicaraan yang nyata dalam berapologetika sehari-hari.

Frame mengingatkan bahwa seorang apologis juga orang berdosa yang mungkin jatuh dalam dua hal:

  1. Demi semata-mata menyampaikan kebenaran kadang berkompromi dengan pemikiran zaman (tidak meletakkan otoritas tertinggi pada Alkitab yang adalah Firman Allah dan kesombongan intelektual)
  2. Kadang menyampaikan tanpa kasih atau kasih yang salah arah (meremehkan dosa manusia, seolah-olah yang dibutuhkan orang berdosa hanya argumentasi yang meyakinkan)

Seorang apologis harus selalu siap memberitakan Injil dan tidak terlalu terlibat dalam argumentasi, pembuktian, pembelaan, dan kritik sehingga lupa untuk memberi orang tidak percaya apa yang mereka butuhkan—Kabar Baik.

Dalam berapologetika bagi Kemuliaan Allah, Frame mengatakan supaya kita jangan menjadi apologis kecuali kesetiaan kita yang tertinggi hanya pada Allah—bukan pada kebenaran intelektual, bukan pada kebenaran yang abstrak, bukan pada orang tidak percaya, bukan pula pada beberapa tradisi dan filsafat. Sola Scriptura, Sola Fide, Sola Gratia, Solus Christus, Soli Deo Gloria!

Dewi Ariani

Pemudi GRII Pusat