Sampul buku "Kasih di Tempat-tempat yang Sulit" karya D. A. Carson

Kasih di Tempat-Tempat Yang Sulit

Judul: Kasih di Tempat-Tempat Yang Sulit
Penulis: D.A. Carson
Penerbit: Momentum
Tebal: 312 Halaman
Cetakan: Pertama

Tema kasih merupakan tema yang sangat penting dalam kekristenan. Kekristenan tanpa kasih bukanlah kekristenan. Namun sayangnya, makna kasih pada zaman ini sering kali dikaburkan oleh budaya populer masa kini. Seperti yang dikatakan di awal buku ini, budaya populer seperti tayangan televisi, film, dan media banyak memberikan kepada kita ide antara pandangan sentimental maupun pandangan erotis tentang kasih. Karena pandangan sentimental ini, maka ketika kita membayangkan orang yang mengasihi, sering kali budaya kita membayangkan sosok orang yang menyenangkan (nice), banyak senyum dan tidak menegur kesalahan, tidak banyak konflik dengan orang, tetapi pengertian kasih seperti ini merupakan pereduksian kasih menurut sudut pandang Alkitab. Buku ini penting karena berusaha memaparkan tema yang begitu sentral dalam Kekristenan yaitu kasih. Seperti apakah kasih itu menurut Alkitab?

Ternyata deskripsi tentang kasih dalam Alkitab itu sangatlah beragam. Banyak sekali bentuk kasih yang disajikan di Alkitab, misalnya kasih Bapa kepada Anak, kasih Allah yang providensial atas seluruh alam semesta, kasih Allah yang merindukan, mengundang, mencari, dan menyelamatkan, kasih Allah yang memilih dan selektif, serta kasih Allah yang bersyarat. Disebutkan bahwa sebaiknya keragaman ini tidak dimengerti sebagai lima jenis kasih, melainkan lima cara yang berbeda yang Alkitab gunakan dalam berbicara mengenai kasih, dan gambaran yang berbeda ini konsisten. Dengan mengerti akan sudut pandang Alkitab tentang kasih secara menyeluruh, kita dapat menghindar dari klise umum seperti “kasih Allah adalah tanpa syarat”. Tentu saja ini benar, tapi kurang lengkap, misalnya ada saatnya kasih Allah itu bersifat memilih ataupun bersyarat. Buku ini berfokus pada aspek kasih Kristen yang tidak mudah, karena dunia sudah jatuh dalam dosa, sehingga kita tidak menarik diri hanya kepada ide-ide tentang kasih yang sentimental yang disajikan dunia, tetapi memiliki ide kasih yang menurut Alkitab.

Pertama-tama mari kita membahas tentang Hukum Kasih yang tentunya banyak dari kita sudah familiar, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” Tapi apakah kita mengerti benar tentang apa yang dimaksud dalam kalimat tersebut? Mungkin beberapa dari kita merasa bahwa kita mengasihi Allah karena kita ‘merasakan’ dalam hati kita ada dorongan emosional, misalnya ketika menyanyikan lagu-lagu Kristen, dan mungkin sebagian dari kita mendisiplinkan diri membaca Alkitab setiap hari untuk mengerti firman Tuhan, baca buku theologi, dan kita menyebutnya sebagai mengasihi Tuhan dengan akal budi. Apakah pengertian yang demikian yang dimaksudkan oleh Hukum Kasih? D.A. Carson dengan teliti mengupas Hukum Kasih sehingga kita mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud dengan Hukum Kasih. Dan menariknya, ia juga mengritik pengertian beberapa orang akan pengertian kasih ‘agape’ yang sering kali digambarkan hanya sebagai komitmen yang disengaja untuk melakukan tindakan mengasihi tanpa mempedulikan emosi. Mungkin banyak dari kita sering mendengar bahwa kasih Kristen adalah ‘verb’, bukan ‘noun’. Tidak sepenuhnya salah, namun ada bagian Alkitab yang juga mengritik jikalau pengertian kasih hanya sebatas ‘verb’.

Bicara tentang kasih tentunya tidak dapat terlepas untuk membahas mengenai perintah mengasihi musuh. Bagaimanakah kita dapat mengasihi musuh? Dan apakah pengertian tentang ‘musuh’ di sini? “Masakan kita harus mengasihi musuh? Mengasihi musuh itu melanggar tuntutan keadilan!” Mungkin sebagian dari kita berpikir seperti itu, dan sebagian dari kita yang lain berpikir bahwa kita tetap harus mengasihi. Namun bagaimanakah kita menarik batas antara pasifisme yang rela ditindas oleh musuh (sama sekali mengabaikan aspek keadilan), dengan menuntut pembalasan yang tidak habis-habis (mengabaikan aspek mengasihi)? Buku ini juga memberi pembedaan mengenai banyak kategori tentang ‘musuh’, karena pengertian musuh kalau hanya dalam sebatas orang yang menindas kita sangatlah sempit. Kita yang hidup di zaman sekarang, mungkin ada juga banyak dari kita yang tidak merasa mempunyai ‘musuh’ sama sekali jika pengertian musuh adalah demikian. Tapi kenyataannya tidak, banyak sekali sebenarnya kita mempunyai ‘musuh-musuh’ di sekitar kita dan kita pun harus mengasihi mereka. Buku ini juga membahas isu rasisme dan eksklusivitas, ketidaksiapan kita untuk merangkul mereka yang ‘beda’ dengan kita.

Aspek lain dari kasih adalah mengampuni. Mengampuni juga berkait dengan rekonsiliasi. Pertanyaan yang timbul, apakah orang Kristen harus selalu mengampuni? Bagaimana dengan rekonsiliasi? Hal tentang mengampuni juga harus mempertimbangkan aspek keadilan seperti halnya mengasihi musuh. Tentunya kita pasti tidak bisa mengampuni orang-orang seperti Hitler ataupun Osama bin Laden bukan? Pasti sangat terkesan kurang sreg dan tidak terdengar terlalu adil mengampuni orang yang demikian. Tapi bukankah kita dituntut untuk mengasihi dan mengampuni yang pasti adalah konsekuensi dari kasih? Lalu, bagaimana dengan situasi perang, bagaimanakah kita memenuhi tuntutan untuk mengasihi sebagai anak-anak Tuhan?

Kadang kita juga dapat mengasihi sehingga kita mengompromikan akan kebenaran. Kita tidak berani menegur saudara kita yang salah, tetapi lebih memilih untuk diam, tidak menegur agar aman, kelihatan sebagai orang yang menyenangkan dan berelasi baik dengan semua orang. Buku ini juga membahas akan teguran, tentang bagaimana seharusnya kita menegur saudara kita di dalam kasih. Selain membahas teguran, juga dibahas mengenai pelaksanaan disiplin gereja, tujuan atau motivasi disiplin, yang juga dibenturkan dengan isu pengampunan.

Ketika kita mulai melepaskan diri dari pengertian kasih yang hanya bersifat sentimental belaka, kita sadar betapa rumitnya isu mengenai kasih ini, apalagi jika harus dibenturkan dengan konsep lain seperti keadilan, serta diaplikasikan dalam dunia sekitar kita yang sangat kompleks dengan kejadian seperti perang, rasisme, perbudakan, dunia kerja yang sibuk, dan lain-lain. Meskipun buku ini bertema mengenai kasih, dan mengandung benang merah seputar topik kasih dan aplikasinya, buku ini disajikan dengan banyak memuat eksposisi yang sangat mendalam akan perikop-perikop Alkitab yang berhubungan dengan kasih, disertai latar belakang yang teliti di balik perikop tersebut, serta banyak juga memuat informasi sejarah yang kaya. Perenungan theologis juga dilakukan dengan membandingkan bagian-bagian lain dari Alkitab sehingga pembaca dapat mengerti prinsip Alkitab yang didukung banyak bagian. Bukan hanya berbicara tentang prinsip, buku ini juga dibubuhi dengan bagian-bagian tertentu yang menyinggung akan kesulitan kita dalam mengasihi dengan alasan-alasan yang realistis, seperti kurangnya waktu, serta pandangan bahwa kasih bisa suatu saat pudar karena terjebak oleh rutinitas. Semoga buku ini dapat menolong kita untuk dapat mengerti secara benar tentang kasih agar kita tidak terjebak akan definisi kasih yang dipengaruhi oleh budaya sekitar kita, serta dalam mengaplikasikan kasih yang Alkitabiah dalam berbagai aspek kehidupan kita.

 

Ardianto Suhendar

Pemuda GRII Singapura