Judul: Khotbah di Bukit
Subjudul: Cermin Kehidupan Surgawi di tengah Dunia Berdosa
Pengarang: Sinclair B. Ferguson
Penerjemah: Shirley Liz M.T.M.
Penerbit: Momentum
Tahun: Mei 2002 (Cetakan kedua)
Tebal: ix + 193 halaman
Sebagian besar orang Kristen tentunya sudah sering mendengar khotbah pertama Tuhan Yesus, yang lebih dikenal dengan nama “Sermon on the Mount” (Khotbah di Bukit) yang diambil dari Injil Matius pasal 5-7. Kita sering mendengarnya baik pada waktu Sekolah Minggu, khotbah di gereja, maupun pada waktu membaca buku-buku renungan. Akan tetapi, lebih sedikit orang Kristen yang merenungkan khotbah ini secara mendalam. Bahkan, tidak sedikit dari antara mereka yang salah dalam menafsirkan beberapa ayat yang sulit, seperti Matius 5:29 (“Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu…”), Matius 5:39 (“… siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.”).
Karena alasan-alasan tersebut, buku ini bermaksud untuk mengulas secara tuntas arti Khotbah di Bukit dan implikasinya bagi kehidupan kita sehari-hari. Secara garis besar, buku ini membagi Khotbah di Bukit menjadi dua bagian. Bagian pertama mendiskusikan tentang tujuh ucapan bahagia, di mana Tuhan Yesus memberkati orang-orang tertentu yang dianggap rendah oleh dunia tetapi disebutnya berbahagia. Bagian kedua memaparkan tentang bagaimana kita harus menjalani hidup sebagai orang Kristen, antara lain bagaimana menjadi garam dan terang dunia, bagaimana kita harus menghidupi Taurat, bagaimana kita harus beribadah (berdoa, bersedekah, dan berpuasa), dan bagaimana kita menjalani hidup sehari-hari (tentang kekhawatiran dan menghakimi).
Pada awal bagian pertama, penulis menjelaskan bahwa tujuh ucapan bahagia merupakan suatu rangkaian yang berhubungan satu dengan lainnya. Dengan kata lain, kita tidak dapat menganggap bahwa setiap ucapan bahagia merupakan suatu pernyataan yang ditujukan kepada tujuh kelompok yang sama sekali berbeda. Melainkan, tujuh kelompok orang di dalam ucapan bahagia ini mengambarkan satu kelompok yang sama yaitu orang percaya. Lebih jelasnya, urutan ucapan bahagia ini menggambarkan keadaan orang percaya mulai dari saat dia bertobat sampai saat kematiannya.
Misalnya pada ucapan bahagia pertama, Tuhan Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah.” Orang yang miskin di hadapan Allah di sini artinya adalah orang yang membutuhkan belas kasihan Allah, yang mengandalkan Allah sebagai satu-satunya tempat perlindungan dan keselamatan mereka. Orang-orang ini sadar akan keberdosaan diri mereka di hadapan Allah, sehingga timbul perasaan dukacita akan dosa-dosa mereka. Maka, Tuhan Yesus akan memberi penghiburan melalui pengampunan atas dosa-dosa mereka. Setelah menerima pengampunan, sewajarnya kita menjadi lemah lembut dan ramah terhadap orang lain. Kita mulai menanggalkan segala sesuatu yang dulu kita anggap sebagai hak kita. Kita akan mulai rindu untuk mempelajari firman Tuhan, rindu untuk suatu hubungan baik dengan Allah, dan rindu untuk mengetahui bagaimana dapat hidup dengan benar di hadapan-Nya. Keadaan ini digambarkan Tuhan Yesus sebagai “lapar dan haus akan kebenaran”. Selanjutnya, setelah mengetahui tentang kebenaran, kita seharusnya tidak berhenti di situ saja, tetapi kita harus melakukan kebenaran tersebut. Salah satunya adalah dengan menjadi murah hati. Menunjukkan kemurahan hati kepada orang yang lemah dan miskin merupakan batu ujian sekaligus bukti sah dari suatu perubahan yang nyata menuju Kristus.
Setelah mengetahui tentang proses bertahap tersebut, kita perlu bertanya pada diri kita sendiri:, “Sudah sampai pada tahap manakah kita? Apakah kita merasa berduka cita atas dosa-dosa kita? Ataukah kita masih berkompromi terhadap dosa-dosa ‘favorit’ kita?”
Dalam bagian lain khotbahnya setelah tujuh ucapan bahagia, Tuhan Yesus memberikan langkah konkrit bagaimana kita seharusnya menjalani hidup sebagai orang percaya. Pertama, Dia menekankan fungsi orang percaya sebagai garam dan terang dunia. Pada jaman dahulu, garam mempunyai berbagai fungsi. Pertama, garam berfungsi sebagai pengawet dan menjaga kesehatan. Sama seperti garam, orang Kristen hendaknya menjaga masyarakat supaya masyarakat di tempat di mana dia tinggal tidak menjadi rusak oleh pengaruh-pengaruh buruk yang berasal dari kedagingan dan setan. Garam juga berfungsi sebagai bumbu yang memberikan rasa. Seperti garam, orang Kristen harus menyesuaikan diri untuk melayani dan memberikan pengaruh positif di tempat dia berada.
Tuhan Yesus juga mengumpamakan orang percaya sebagai terang dunia. Sebagai terang dunia, Dia ingin agar kita memberikan arah dan tujuan di dalam dunia yang gelap. Hidup dalam kegelapan membuat orang sulit membedakan baik dan jahat. Kita harus menyatakan kekudusan supaya melalui kesaksian kita, orang lain akan mengetahui kebaikan dan mempermuliakan Allah. Bagaimana dengan hidup Saudara? Apakah Saudara sudah bertindak untuk memberi pengaruh positif di mana saja Saudara berada? Dimulai dari hal-hal kecil, misalnya apakah Saudara memberi tempat duduk di MRT pada kaum lansia?
Selanjutnya, Tuhan Yesus mengajar dan memperbaiki beberapa bagian dalam hukum Taurat, yang telah disalahartikan oleh orang-orang Yahudi. Misalnya, mengenai hukum cerai, sumpah, dan hukum pembalasan. Dalam bagian-bagian tersebut, Alkitab menggunakan kata yang berbeda dengan kata yang biasa digunakan Tuhan Yesus untuk merujuk pada Kitab Suci. Setiap kali Tuhan Yesus merujuk Kitab Suci, Ia menggunakan kata, “Ada tertulis…”, akan tetapi di sini Alkitab menggunakan kata, “Telah difirmankan…”. Ini menunjuk bahwa yang dimaksud Tuhan Yesus bukan perintah Taurat dari Perjanjian Lama, melainkan adat-istiadat orang Yahudi. Melalui perkataan Tuhan Yesus ini, kita dapat belajar bahwa adat-istiadat dan tradisi tidak boleh ditempatkan melampaui firman Tuhan.
Pada akhirnya, Tuhan Yesus juga memberikan nasihat tentang kehidupan sehari-hari orang percaya, misalnya dalam hal kekhawatiran. Tuhan Yesus mengundang orang percaya agar mencari terlebih dahulu Kerajaan Allah. Ketika kita mengutamakan Kerajaan Allah, semua kebutuhan kita akan dipenuhi oleh-Nya.
Manakah yang lebih Saudara khawatirkan? Apakah Saudara lebih sering mengkhawatirkan tentang studi, karir, harta, dan pasangan Saudara dibandingkan kekhawatiran Saudara akan tetangga atau flatmate Saudara yang belum diselamatkan? Jika Saudara lebih khawatir pada yang pertama, hendaklah Saudara berserah kepada Allah dan lebih mendahulukan kerajaan-Nya. Sesungguhnya Allah tidak pernah membiarkan umat-Nya menderita kelaparan karena memberitakan Kerajaan-Nya.
Marilah kita terus menggali kekayaan firman Tuhan yang begitu limpah dengan merenungkannya siang dan malam. Pada saat yang bersamaan, hendaknya kita juga melakukannya dalam hidup kita, karena “Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya.” (Luk. 11:28).
Edwin Lesmana Tjiong
Pemuda GRII Singapura