Mengubah Zaman: Panggilan yang Realistis

Judul : Pemuda dan Krisis Zaman
Penulis : Stephen Tong
Penerbit : STEMI dan LRII
Tebal : 91 halaman
Tahun : 1996

Pernahkah Anda bertemu dengan pemuda yang aneh, bicaranya tinggi-tinggi, tidak mendarat, dan seperti sedang bermimpi? Ketika Anda bertemu orang seperti ini, apa kesan Anda? Apakah kata ‘idealis’ langsung muncul di kepala Anda dan Anda langsung melihat perbedaan Anda dengannya karena Anda berlabelkan ‘realis’?

Orang yang idealis menghasilkan pikiran dan keinginan yang idealistis karena mereka mengejar yang ‘ideal’. Mereka ingin mengerjakan sesuatu sampai terjadi sebagaimana yang mereka pikir seharusnya terjadi, meskipun kemungkinan di sekitar mereka tidak mendukung keinginan mereka. Di pihak lain, orang yang realis menghasilkan pikiran dan keinginan yang realistis karena mereka mengejar yang ‘riil’. Mereka hanya ingin mengerjakan apa yang ‘mungkin’ dapat mereka kerjakan di dalam situasi di mana mereka ditempatkan. Biasanya, orang yang idealis hanya segelintir. Mereka menjadi kelompok orang aneh di tengah-tengah orang-orang ‘normal’. Maka di sini, yang ideal selalu dikontraskan dengan yang riil.

Namun demikian, pemisahan yang terlalu ketat antara kedua kubu tersebut dapat membawa kita kepada kekisruhan cara berpikir. Apakah yang ideal itu pasti bukan yang riil? Apakah yang riil itu selalu bukan yang ideal? Dengan kerangka worldview Kristen, yaitu penciptaan-kejatuhan-penebusan, kita dapat melihat bahwa di dalam yang riil itu sebenarnya terdapat yang ideal dan yang tidak ideal, sedangkan yang ideal bagi orang Kristen pasti adalah sesuatu yang riil. Dalam hal ini, meskipun kita tidak setuju dengan konsep dualisme-nya Plato, ada bagian dalam filsafatnya yang mengandung kebenaran: dunia yang ideal (form atau idea) adalah dunia yang riil. (Namun kita tidak setuju dengan kelanjutan Plato untuk proposisi ini, yaitu dunia yang kita lihat sekarang (matter) hanya ekspresi dari yang riil itu).

Masalahnya adalah, pikiran kita sudah jatuh di dalam dosa sehingga apa yang kita anggap ideal bagi kita tidak sinkron lagi dengan apa yang Tuhan anggap ideal bagi kita. Karena itulah kita bisa mengeluarkan pikiran yang muluk-muluk yang dapat dicap tidak realistis.

Tantangan Pdt. Dr. Stephen Tong kepada generasi muda untuk tidak digeser oleh zaman, melainkan melampaui dan mengubah zaman, bukanlah tantangan yang tidak realistis. Idealistis, memang, tetapi juga realistis, dengan mengingat kita mempunyai porsi yang berbeda-beda di dalam mengerjakan hal itu. Tidak semua orang mempunyai cara, kekuatan, dan bagian yang sama di dalam memberikan perubahan, namun kita semua diperintahkan untuk mengambil bagian.

Di dalam buku “Pemuda dan Krisis Zaman” ini, Pak Tong memulai dengan mengajak kita untuk mengenal ‘aku’ di tengah-tengah zaman yang kritis ini. Dengan gaya yang mungkin sedikit eksistensialis, Pak Tong ingin membangunkan pemuda yang sedang tertidur kepada kesadaran mereka yang paling penuh supaya mereka tidak lagi ‘hidup sia-sia’ dan ‘dihanyutkan oleh zaman’ (hlm. 3). Setelah mereka dibangunkan oleh seruan di bab pendahuluan, Pak Tong mengajak mereka untuk mengenal diri mereka sebagai keberadaan kritis yang diciptakan di dalam kurun waktu. Setiap manusia diciptakan di dalam waktu dan hidup dalam waktu.

Sepertinya, yang membedakan pemuda yang mempunyai kesadaran akan waktu dengan mereka yang tidak adalah pemahaman mereka tentang konsep kairos. Konsep inilah yang dibukakan oleh Pak Tong di dalam bab kedua. Berangkat dari pemahaman yang benar dan kepekaan akan waktu di bab sebelumnya, Pak Tong mengantar para pembaca untuk memasuki konsep yang lebih besar, yaitu tentang kairos dan zaman.

Ada tujuh tahap, menurut Pak Tong, yang harus dilewati oleh siapa pun yang ingin mengubah zaman: tahap mewarisi zaman, menganalisis zaman, mengenal keunikan zaman, menerima tantangan zaman, melampaui zaman, mengerti rencana Allah atas zaman, dan akhirnya, tahap mengubah zaman. Semakin jauh tahapnya, semakin sedikit pula orang yang berada di dalamnya. Pergerakan dari tahap mewarisi zaman kepada tahap menganalisis zaman saja mungkin sudah tersaring tujuh puluh persen jumlah seluruh umat manusia yang pernah hidup. Bisakah Anda bayangkan, dari bermilyar-milyar manusia, berapa yang dapat mencapai tahap terakhir, yaitu tahap mengubah zaman itu? Sudah di tahap berapakah Anda?

Sampai di sini, apakah Anda mulai mencium bau-bau idealistis? Apakah semua orang harus menjadi orang-orang besar seperti Plato, Augustinus, Luther, Calvin, Bach, Shakespeare, ataupun Isaac Newton supaya dapat dikatakan sudah masuk ke tahap terakhir itu? Perlu diperjelas lagi bahwa kita tidak dipanggil untuk mempengaruhi zaman ini dengan porsi dan cara yang sama, namun kita semua dipanggil untuk mengambil bagian di dalamnya. Dengan begitu, kita tidak mengalami kesulitan di dalam mengerti bahwa kita tetap dapat sampai pada tahap terakhir itu tanpa menjadi orang terkenal sekalipun. Pertanyaannya adalah, apakah kita berada di dalam gerakan yang berada di tahap itu? Secara pribadi, kita tidak sanggup, tetapi berbeda ceritanya jika kita lakukan secara komunitas. Ini adalah ajakan yang idealistis dan juga realistis. Bagi Tuhan, yang ideal itu riil adanya.

Selain memaparkan tahap-tahap yang dilewati sebelum mengubah zaman, Pak Tong juga memberikan arahan dan strategi kepada kita untuk dapat menang dalam zaman yang kritis ini, yaitu menegakkan identitas diri, menegakkan kepercayaan Kristen, menegakkan keyakinan, menegakkan arah zaman, menegakkan kualitas iman, menegakkan bobot hidup, dan menegakkan niat mempermuliakan Allah. Sekarang, jika Anda membaca penjelasan Pak Tong terhadap setiap poin di atas, akan menjadi semakin jelas bahwa ajakan Pak Tong bukanlah ajakan yang terlalu muluk-muluk bagi kita. Setiap strategi di atas dapat dikerjakan oleh siapa pun, orang biasa sekalipun, asalkan ia mau menyangkal diri, memikul salib, dan melayani Tuhan.

Apa arti hidup yang realistis itu bagi kita? Apakah itu adalah hidup yang di dalamnya kita tidak perlu memikirkan tentang mengubah zaman? Apakah bagi kita hidup yang realistis berarti hidup dengan pola dilahirkan–dibesarkan–bersekolah–bekerja–menikah–beranak–bekerja–pensiun–meninggal (ditambah sedikit pelayanan sana-sini kalau ada waktu)?

Jika demikian, mungkin saja kita sudah salah mengerti realitas. Realitas yang demikian bukanlah realitas yang dilihat oleh Tuhan. Ketika Tuhan memberikan kepada kita realitas hidup yang sesungguhnya, kita malah berdalih bahwa itu terlalu idealistis, tidak realistis. Yang menyedihkan adalah, ketika kita ingin menjauh dari yang idealistis itu, kita malah masuk ke dalam yang ilusif, ke dalam ilusi-ilusi yang ditawarkan oleh iblis.

Inilah realitas yang sebenarnya: kita sedang hidup di dalam zaman yang krisis, dan kita dipanggil untuk mengetahui kehendak Tuhan bagi zaman kita, lalu mengubahnya sesuai dengan kemauan Tuhan. Di mana bagian Anda di dalam realitas ini? Mari kita berjuang bersama-sama sebagai satu komunitas, satu gerakan.

Erwan

Pemuda GRII Pusat