Judul: Sons for the Master
Penerbit: Path Seekers Ltd.
Penulis: Freda Hatfield Tong
Tebal: 357 hal.
Siapa yang mengenal seorang wanita yang bernama Tan Tjien Nio? Ia bukan seorang konglomerat, bukan juga seorang penginjil besar. Nama ini terdengar asing, karena memang tidak banyak orang mengenalnya. Namun siapa yang menyangka, wanita yang terkesan ‘biasa’ ini ternyata dipakai Tuhan secara ‘luar biasa’ melalui ketaatan dan penyerahan dirinya kepada Tuhan dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya? Beberapa putranya yang kita kenal dengan akrab dalam hati kita, seperti Stephen Tong, Caleb Tong, dan Solomon Tong sudah terbukti dan teruji menjadi berkat bagi banyak orang di berbagai belahan dunia, khususnya di Indonesia. Biografi singkat wanita yang hidup begitu sederhana inilah yang tercatat dalam buku “Sons for the Master”, yang ditulis oleh salah seorang menantu perempuannya yang bernama Freda Hatfield.
Dilahirkan pada tahun 1909 di Yogyakarta, Tjien Nio dinikahkan ketika berusia 17 tahun. Ketika itu ia masih bersekolah dan tak pernah terlintas sedikit pun kalau ia akan menikah di usia muda dengan orang yang tak dikenalnya sama sekali. Keinginannya begitu kuat untuk menolak tapi ia tahu dengan pasti ia tak dapat menentang keputusan ayahnya yang sudah bulat. “… today Tjien Nio was preoccupied. Might father be arranging a marriage for her? If so, he will certainly be angry if I refuse, she thought. Ah, but he knows that I want to finish my studies. Why would he plan such a thing now? She tried in vain to dismiss the thoughts that came crowding into her mind” (hal. 57). Pernikahannya membawanya meninggalkan Indonesia dan bermigrasi ke Amoy (China), tempat kelahiran sang suami.
Tjien Nio diperkenalkan pada Kristus pertama kalinya ketika dua wanita Kristen datang mengunjungi salah seorang anaknya, Chung An Lay, yang sakit keras cukup lama dan tak dapat diobati. Mereka mengajak Tjien Nio, yang sudah putus asa, untuk berdoa agar Tuhan menolong. Hati Tjien Nio tergerak ketika mendengar mereka berdoa. “Her heart strangely stirred, Tjien Nio could merely nod in assent. She sat quietly, listening in amazement as the two old women gently placed their wrinkled hands on her child’s still burning forehead… Never before had she heard anyone pray to the Christian God. How do they even know if He is here? She wondered, as the women prayed” (hal. 156). Peristiwa itu begitu membekas dalam hatinya. Dan ketika Chung An sembuh, benih iman mulai tumbuh dalam hatinya. “Tjien Nio had come to believe in the God to whom they prayed. Surely, He was a God of love for he had even sacrificed Jesus, His only son, they told her, to make salvation possible for his creatures” (hal. 158-159). Sejak saat itu, ia menjadi pengikut Kristus yang taat.
Tak berapa lama, suaminya meninggal dunia dan meninggalkan Tjien Nio sebagai janda di usia 32 tahun beserta ketujuh anaknya dalam kesedihan yang mendalam. Di tengah-tengah ketidakberdayaannya, ia berlutut dengan penuh iman menyerahkan anak-anaknya kepada Bapa yang ia percaya mampu memelihara: “Lord, the children have lost their father. I commit them into the care and keeping of their Heavenly Father. Please, in Your loving mercy, guide us!” (hal. 163)
Tahun 1947, Tjien Nio memutuskan untuk kembali ke Indonesia, dengan membawa anak- anaknya. Di Surabaya, ia bekerja keras membanting tulang menjadi penjahit baju untuk membiayai hidupnya dan anak-anaknya. Penghasilan yang diterimanya dapat dikatakan ‘pas-pasan.’ Pernah suatu ketika, anak yang paling kecil mengadu kepada Tjien Nio kalau guru melarangnya masuk ke kelas hari itu jika ia tidak membayar uang sekolah. Wajah Tjien Nio memerah ketika mendengar hal itu. “She had not forgotten that tuition was due, but she had hoped that it could wait another day or two, until a few customers paid her what they owed. Reaching now into her sewing machine drawer, Tjien Nio pulled out her customer’s deposit, the only money, in fact, that she had” (hal. 239).
Kehidupan yang begitu sulit tidak membuat Tjien Nio menyerah dan berputus asa. Ia berjuang di tengah-tengah kesulitan yang ada dengan gigih dan bersandar penuh kepada Tuhan. Ia adalah wanita yang suka merenungkan firman Tuhan dan selalu berdoa. Bahkan sampai ia berusia lanjut, keluarganya selalu yakin kalau mereka selalu diingat dalam doanya setiap hari. “Rising early, her grandsons might find her sitting comfortably in her room at her Surabaya home, well-worn Bible on her lap … Seeing her rapt expression, one would know immediately that she was, again this morning, discussing with her Lord day-to-day happenings in her own life, as well as the needs of her children, friends and acquaintances. More than once her boys expressed the sense of comfort they felt from her prayers” (hal. 352).
Ketika putra-putranya beranjak dewasa, Tjien Nio semakin peka dan sadar akan kesungguhan mereka dalam mengikuti Tuhan dan dengan bersuka cita ia mendukung mereka dalam pelayanan mereka kepada Tuhan. “Tjien Nio now realized that God had prepared her sons for a great work—the work of harvesting souls. Their own walk of faith was vibrant and real; yet, beyond this, the Lord had chosen them as instruments to lead other out of darkness to the transforming knowledge of God. How she exulted that He had chosen them for such a task! Constantly she tried to encourage them, lifting them up fervently in her prayers” (hal. 336).
Di usia 68 tahun, Tjien Nio meninggal dunia. Ia kembali kepada Tuhan yang dikasihinya dan yang telah dilayaninya dengan setia seumur hidupnya.
Melalui biografi singkat kehidupan Tjien Nio, pembaca dapat melihat dengan jelas topangan anugerah Tuhan secara nyata dalam kehidupannya dan ketaatannya kepada Tuhan yang ia ikuti. Dalam kesederhanaannya, ia tidak mempunyai banyak kekayaan materi untuk dipersembahkan kepada Tuhan, namun ia telah memberikan kepada Tuhan persembahan yang jauh lebih tinggi nilainya daripada materi, yaitu putera-puteranya yang menjadi berkat besar bagi begitu banyak jiwa pada zaman ini.
Yenny Djohan
Pemudi GRII Singapura