Judul: Segala Kebenaran adalah Kebenaran Allah
Judul asli: All Truth is God’s Truth
Pengarang : Arthur F. Holmes
Penerbit : Momentum
Cetakan : Kelima, 2009
Tebal : 243 halaman
Benar gak sih apa yang aku lakukan? A bilang benar, tapi B bilang salah. Hmm… aku jadi bingung. A benar, B juga ada benarnya, … jadi??? A dan B benar, atau… A dan B salah? Puyeng deh! Apa sih sebenarnya yang benar? Siapa yang menentukan benar dan salah? Kenapa kok sulit untuk membedakan yang benar dan yang salah? By the way, sebenernya perlu gak sih mikirin apa yang benar dan salah?
I feel good, …, so good …. Salah satu lirik dalam lagu James Brown. Pada waktu kita merasa ‘good’ melakukan sesuatu, apakah yang kita lakukan benar-benar benar? Atau kita menganggapnya benar padahal tidak benar-benar benar? Di zaman sekarang ini, perlukah kita mencari apa yang benar-benar benar itu?
Jika kita mau memiliki hidup yang sesungguhnya, maka jawaban atas pertanyaan di atas pastilah YA, kecuali kita sudah cukup puas dengan apa yang kita miliki sekarang: kesehatan, materi, keluarga, pekerjaan, studi, teman-teman, moral, dan lainnya. Kita sudah puas dengan kebahagiaan semu yang kita nikmati sekarang ini dan tidak mau pusing-pusing untuk pusing memikirkan “bagaimana seharusnya kita hidup”. Kita berada dalam zaman yang tidak mau peduli dengan kebenaran apalagi ketika kebenaran itu ternyata bertentangan dengan pendapat para ahli terkemuka, seperti pertentangan antara kebenaran Alkitab dengan kebenaran science. Masalahnya adalah bukan tidak percaya bahwa kekristenan adalah benar, tetapi konsep kebenaran itu sendiri sudah tidak diakui. Arthur F. Holmes mengatakan bahwa masalah ini bersifat rangkap tiga, yaitu hilangnya fokus pada kebenaran, hilangnya universalitas kebenaran, dan hilangnya kesatuan kebenaran. Orang-orang zaman sekarang lebih bersifat hedonistis (memikirkan kenikmatan) atau ekonomis (uang adalah yang terpenting); menganggap kebenaran itu relatif, berbeda tergantung orang, waktu dan tempat; serta melihat kebenaran-kebenaran antar bidang studi secara fragmental yang tidak berkaitan satu dengan yang lain.
Pemikiran tentang kebenaran telah dimulai oleh filsafat Yunani dan terus berkembang sampai saat ini. Baik disadari ataupun tidak, mau ataupun tidak, kita akan terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran zaman tersebut dan membentuk gaya hidup kita.
Kaum Stoik dan Platonis secara dogmatis menegaskan bahwa kebenaran itu tidak berubah dan universal, sama bagi semua orang, dan berakar dalam struktur rasional abadi yang pada dasarnya adalah sesuatu yang riil, dan walaupun ia melampaui pendapat manusia yang berubah-ubah, namun ia dapat ditangkap oleh akal budi manusia yang terdisiplin baik. Di pihak lain, Kaum Skeptik mengatakan bahwa semua pendapat manusia itu relatif sifatnya, semua argumentasi tidak memiliki kepastian, dan semua pengetahuan hanyalah pandangan manusia, dan kebenaran – seandainya ada suatu kebenaran yang tidak berubah dan universal – akan tetap tidak dapat dikenal (hal. 57).
Filsafat Yunani tidak menunjuk kebenaran sebagai suatu pribadi, tetapi menganggapnya sebagai “yang Satu” (Plato), “Penggerak-yang-tidak-digerakkan” (Aristoteles), dan bersifat impersonal. Filsafat manusia tidak dapat mencapai kebenaran yang sesungguhnya karena kebenaran yang sesungguhnya hanya dapat dikenal berdasarkan wahyu dari kebenaran itu sendiri. Tuhan Yesus mengatakan, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yoh. 14:6) Tidak pernah ada seorang pun yang berani berkata demikian, semua pendiri agama hanya menunjuk kepada yang lain atau mengatakan inilah jalannya, tidak ada yang berani mengatakan, “Akulah kebenaran.” Hanya kekristenan yang mendapat wahyu kebenaran dari Sang Kebenaran itu sendiri. Apakah respons kita terhadap anugerah besar ini? Apakah kita lebih suka dengan kebenaran dunia dan seturut dunia menghina kebenaran Alkitab?
Kebenaran seperti apakah yang diwahyukan Allah? Agustinus mengatakan bahwa segala kebenaran mengenai segala sesuatu yang diketahui dan yang dapat diketahui dengan demikian telah diketahui Allah sejak dalam kekekalan dan bergantung kepada hikmat dan ketetapan-Nya yang kekal (hal. 57). Logos adalah perwujudan pribadi dari hikmat kekal itu. Allah memberikan wahyu khusus (Kristus dan Alkitab) khusus bagi umat pilihan-Nya. Umat pilihan-Nya dicelikkan mata hatinya untuk melihat dan mengenal kebenaran, yang mana orang luar (bukan umat pilihan) hanya melihat, menganalisis tetapi tidak dapat mengerti keutuhan kebenaran-Nya.
Segala kebenaran diwahyukan oleh Allah karena Allah adalah Sumber dan Pemilik segala kebenaran. Dialah Sang Kebenaran. Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan hanya Dia yang mampu mewahyukan kebenaran yang sesungguhnya kepada manusia untuk diketahui, dikenal, dan disaksikan. Apa yang dikatakan manusia berdosa sebagai kebenaran belum tentu adalah kebenaran yang sesungguhnya. Hanya ketika kebenaran itu berasal dari Allah – akibatnya adalah bersesuaian dengan wahyu Allah – maka itulah kebenaran yang sesungguhnya, yang dikaruniakan Allah (anugerah umum) kepada semua manusia (orang pilihan dan non-pilihan) sebagai wahyu umum. Melalui wahyu umum inilah, sesungguhnya manusia dapat mengenal Allah sehingga tidak seorang pun dapat berdalih tidak mengenal Allah (Rm. 1:19-20). Akan tetapi manusia tidak mau mengakui Allah karena manusia ingin menjadi allah itu sendiri, tidak mau menjadi image of God, maunya menjadi god! Itulah akar dosa kita. Tidak mau menerima kebenaran dari Allah, maunya menetapkan sendiri apa itu kebenaran, dan menjadi kebenaran itu sendiri: “what I say is the truth”.
Dalam bukunya, Holmes mengupas bahwa segala kebenaran adalah kebenaran Allah. Ketika kita mengaku bahwa segala kebenaran adalah kebenaran Allah maka sesungguhnya tidak ada lagi bidang yang disebut sakral dan sekuler. Apakah dengan demikian, pemikiran orang Kristen menjadi sempurna? Pemikiran-pemikiran tokoh Kristen secara jujur tidak dikatakan sempurna karena di dalam setiap pemikiran manusia berdosa selalu ada ruang untuk kekeliruan. Namun ini tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak berpikir, tidak menggunakan rasio untuk mencari kebenaran, karena Allah pun mengizinkan adanya kekeliruan tersebut. Kita tidak dapat hanya mengandalkan rasio untuk mengenal kebenaran karena Allah bukan hanya Allah yang memiliki rasio saja, tetapi juga yang memiliki emosi, dan kehendak. Dengan demikian, keseluruhan keberadaan seorang manusia diperlukan untuk mengenal Allah, seluruh kehidupan iman, pengertian akan wahyu, serta pengalaman rohani diperlukan untuk mengenal kebenaran. Holmes juga menjelaskan bagaimana menggunakan metode deduksi dan metode induksi untuk memperoleh pengetahuan yang memiliki pembenaran, serta bagaimana iman kepercayaan Kristen dibenarkan melalui rasio, nilai, tindakan, dan kesaksian Roh Kudus. Terakhir, Holmes menggambarkan bagaimana kebenaran harus ditekankan khususnya dalam bidang pendidikan, seni, dan masyarakat.
Feel good… I feel good. Walaupun dalam menjalankan kebenaran I feel not good karena harus menanggalkan ‘ke-allah-anku’ tetapi I feel good karena aku tahu bahwa apa yang kulakukan telah sesuai dengan apa yang Tuhan mau. Seberapa banyak dalam hidup kita yang telah kita isi dengan melakukan apa yang sesuai dengan hati Tuhan daripada yang sesuai dengan isi hati kita? Sudahkah kita menjalankan semua yang diminta Tuhan untuk kita jalankan dalam hidup yang sudah ditebus oleh darah Anak-Nya? Feel good seperti apakah yang kita inginkan?
Yana Valentina
Redaksi Bahasa PILLAR