Judul: Reason Within the Bounds of Religion
Penulis: Nicholas Wolterstorff
Penerbit: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.
Tahun: 1976
Tebal: 115 hal.
“I ask what my fundamental identity as a Christian has to do with my practice of scholarship and, more importantly, what it ought to have to do with it” (hal. 7), demikian tulis Nicholas Wolterstorff dalam kata pengantar bukunya yang berjudul “Reason Within the Bounds of Religion.” Dan memang itulah ide utama yang mendasari buku ini, yaitu bagaimana komitmen Kristen kita seharusnya menuntun kita dalam berteori dan menimbang segala macam teori.
Wolterstorff memulai refleksinya dengan mengajak pembaca melancong ke masa lampau. 1616. Tahun itu Gereja menyatakan bahwa teori Copernicus scientifically absurd. Bumi tidak berputar mengelilingi matahari, demikian keputusan bulat Gereja. Tidak sampai satu abad kemudian, Copernicus telah diterima, tetapi sementara itu, bukan Gereja, melainkan para ilmuwan sedang sibuk meributkan kontroversi yang lain, yaitu Cartesian/Newtonian controversy. Yakin akan teori mereka bahwa materi hanya dapat digerakkan oleh materi yang bersentuhan dengannya, para Cartesians menyodorkan counter-evidence bagi teori Newton dan mencari cara untuk menangani counter-evidence bagi teori mereka sendiri. Melompat ke depan lebih dari dua abad, pembaca bertemu dengan logical positivists yang memegang bahwa observasi adalah fondasi yang solid bagi segala pengetahuan, dan berusaha mencari koneksi antara keduanya. Mereka gagal, dan kisah kegagalan mereka sudah sering diceritakan. Tetapi ini tidak membuat mereka meninggalkan ilmu alam. Mereka tetap bersandar penuh kepada ilmu alam. Sekarang, kesamaan apa yang dapat kita lihat dari semuanya ini? Kesamaannya adalah bahwa entah itu agama, filsafat, atau ilmu alam, masing-masing dapat berfungsi sebagai kontrol dalam menentukan teori mana yang mau dianut, ketika konflik terjadi. Pertanyaan yang lantas timbul adalah bagaimana kita menimbang, menolak, atau menyusun suatu teori? Bagaimana komitmen kita sebagai orang Kristen menuntun kita dalam menimbang, menolak, atau menyusun suatu teori? Tidak dapat dipungkiri, kita perlu teori berteori.
Berulang kali profesor filsafat dari Yale University ini menyesali bagaimana selama ini orang Kristen terlalu sering memilih untuk menghindari konflik dengan ilmu pengetahuan dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah tentang fakta empirikal, sedangkan komitmen Kristen adalah tentang sesuatu yang lain. Pada dasarnya, menurut Wolterstorff, ini adalah suatu conformism. “They all take for granted that science is OK as it is” (hal. 78). Tetapi mengapa harus berasumsi demikian? “Why should the Christian … surrender all his critical faculties in the face of it?” (hal. 78) Sebagian dari alasannya yaitu seperti dijelaskan selanjutnya.
Dalam Bab 4 sampai 8 Wolterstorff membahas dengan cukup mendetil tentang foundationalism. “Simply put, the goal of scientific endeavor, according to the foundationalist, is to form a body of theories from which all prejudice, bias, and unjustified conjecture have been eliminated. To attain this, we must begin with a firm foundation of certitude and build the house of theory on it by methods of whose reliability we are equally certain” (hal. 24). Masalahnya adalah bahwa teori ini telah begitu mempengaruhi kita, meskipun sebenarnya foundationalism memiliki kesulitan-kesulitan yang serius, yang telah ditunjukkan oleh perkembangan epistemologi dan filsafat ilmu pengetahuan belakangan ini. Karena itulah kita perlu mengerti kelemahan-kelemahan foundationalism, karena “… unless we see clearly not only that foundationalism is collapsing but why it is collapsing we shall not escape the pattern it imposes upon our thought” (hal. 29). Di sinilah kemudian Wolterstorff berusaha menunjukkan secara sistematis kelemahan-kelemahan foundationalism. Ia memakai banyak ilustrasi yang sangat membantu. Saya pribadi menemukan bagian ini sangat menarik karena di dalamnya Wolterstorff mengajak kita menelusuri asumsi-asumsi foundationalism dan membongkarnya satu demi satu. Wolterstorff antara lain menunjukkan kegagalan deduksi, induksi, dan falsifikasi sebagai metode yang tidak dapat diragukan untuk menyusun suatu teori. Bagaimana kita menyimpulkan, misalnya, bahwa “All swans have wings” (hal. 33)? Jawabannya adalah bukan dengan deduksi, induksi, maupun falsifikasi. Ia juga menunjukkan bahwa sebenarnya kita tidak punya cukup pembenaran bagi proposisi yang mungkin selama ini kita terima sebagai fondasi yang tidak diragukan lagi. Wolterstorff menanyakan, “Can I, for instance, know noninferentially and with certitude that My desk is brown?” (hal. 43) Jawabannya, sekali lagi, adalah Tidak. Bagaimana bisa demikian? Saya kira akan lebih menarik apabila pembaca menemukan alasannya dengan membaca sendiri penjelasan Wolterstorff.
Setelah menunjukkan kesulitan-kesulitan serius dari foundationalism, Wolterstorff mengatakan bahwa nampaknya kita memang harus meninggalkan foundationalism, dan menyusun suatu teori berteori yang baru. Dalam Bab 9 Wolterstorff memformulasikan kontribusinya dalam hal teori berteori. Dalam menimbang suatu teori, menurut Wolterstorff, kita dapat membedakan beliefs kita berdasarkan peranannya: data beliefs, data-background beliefs, dan control beliefs. Dari penjelasan Wolterstorff pembaca dapat melihat bahwa berteori tidak sesederhana apa yang dicetuskan oleh foundationalism. Berteori melibatkan jaringan yang kompleks dari beliefs kita. Di dalamnya ada unsur subyektifitas manusia tidak dapat dihindari.
Mengenai control beliefs, Wolterstorff meyakini bahwa “the religious beliefs of the Christian scholar ought to function as control beliefs within his devising and weighing theories” (hal. 66) Mengingat kembali judul buku ini, di sini menjadi jelas mengapa Wolterstorff memberikan judul bukunya demikian. Dari sini ia kemudian memfokuskan pembahasannya mengenai komitmen Kristen. Ia menggoreskan sketsa mendasar akan pentingnya memiliki worldview Kristen, meskipun ia tidak memakai istilah worldview. “Since [the Christian’s] fundamental commitment to following Christ ought to be decisively ultimate in his life, the rest of his life ought to be brought into harmony with it. As control, the belief-content of his authentic commitment ought to function both negatively and positively. Negatively, the Christian scholar ought to reject certain theories on the ground that they conflict of do not comport well with the belief-content of his authentic commitment. And positively he ought to devise theories which comport as well as possible wiht, or are at least consistent with, the belief-content of his authentic commitment” (hal. 72).
Perlu dicermati bahwa Wolterstorff tidak pernah beranggapan bahwa apa yang dianggap sebagai komitmen Kristen oleh seorang Kristen itu selalu benar. Sebaliknya, ketika seseorang mengalami konflik antara ilmu pengetahuan dengan apa yang ia percayai sebagai komitmen Kristennya, kadang-kadang cara terbaik untuk mengatasinya memang dengan jalan merevisi belief-content dari komitmen Kristennya, karena mungkin saja ia salah menganggap apa yang sebenarnya menjadi belief-content dari komitmen Kristennya.
Esai Wolterstorff tidaklah panjang, tetapi seperti gaya seorang filsuf menulis, kalimat-kalimat Wolterstorff cenderung padat dan disusun dengan pemilihan kata-kata yang matang. Pembaca perlu mencermati pilihan istilah yang dipakai Wolterstorff dan membedakan maksud dari istilah-istilah tersebut. Mengapa Wolterstorff memilih untuk memakai istilah ‘komitmen’ Kristen daripada ‘iman’ Kristen, misalnya. Atau apa perbedaan antara ‘actual commitment’ dan ‘authentic commitment.’ Pembacaan yang teliti akan menghindarkan pembaca mengambil kesimpulan yang terlalu dini terhadap pemikiran Wolterstorff yang mungkin terkesan radikal.
Pada akhirnya, pembaca mungkin tidak akan menemukan makanan siap telan dari buku ini. “My goal is not to present a finished product” (hal. 18), Wolterstorff memperingatkan. Sebaliknya, Wolterstorff mengakhiri buku ini dengan sebuah tantangan. Tantangan itu, saya melihat, ditujukan juga kepada para pemuda Kristen, khususnya kita yang dikaruniai kesempatan untuk belajar sampai tingkat yang tinggi. Kita ditantang untuk mengadakan riset yang lebih orisinil, untuk menggantikan konformitas defensif yang sering ditunjukkan oleh orang Kristen. Ini memerlukan kompetensi, imajinasi, dan keberanian, sekalipun ada kalanya itu berarti kita harus menentang teori yang sedang bercokol. Tetapi memang itulah yang harus kita lakukan, karena “Christian scholarship will be a poor and paltry thing, worth little attention, until the Christian scholar, under the control of his authentic commitment, devises theories that lead to promising, interesting, fruitful, challenging lines of research” (hal. 102). Bagaimana memulainya? Satu cara untuk memulainya, seperti disarankan Wolterstorff, yaitu mempelajari teologi dan filsafat Kristen dengan lebih mendalam. Ini menjadi PR kita bersama.
Adi Kurniawan
Redaksi Bahasa PILLAR