Judul: Terlalu Sibuk? Justru Harus Berdoa
Judul asli: Too Busy Not to Pray
Pengarang: Bill Hybels
Penerbit: Yayasan Komunikasi Bina Kasih / OMF
Tebal: 208 halaman
Cetakan: Ke-1 (1999)
DOA… Sebuah kata yang terdiri hanya dari tiga huruf tetapi yang menjadi salah satu pergumulan terbesar sebagian besar orang Kristen dalam mengerti dan menjalankannya. Apakah artinya berdoa bagi kita? Sesuatu yang sia-sia karena Tuhan sudah terlalu sibuk untuk mendengarkannya? Sesuatu yang munafik karena kata-kata yang kita ucapkan kosong belaka? Atau pengutaraan Christmas wish-list yang pasti Tuhan akan kabulkan apapun yang kita minta? Sudahkah kita menjadikan berdoa sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari? Jika tidak, apakah penghalangnya? Bagaimanakah doa yang memindahkan gunung? Bagaimana sikap kita jika doa yang sudah kita bawakan bertahun-tahun tetap tidak terjawab? Untuk membantu sebagian besar dari kita dalam pergumulan mengenai doa, Bill Hybels mengupas mengenai “hakikat doa, peranan doa, pentingnya berdoa, dan bagaimana mendisiplinkan diri untuk setia teratur khusuk berdoa” (sampul belakang) dalam buku ini.
Di dalam beberapa bab pertama, pendiri Willow Creek Association ini memfokuskan kita kepada dasar dari segala doa, Allah Bapa. Kehadiran dan kuat kuasa-Nya yang dinyatakan-Nya ketika kita berdoa memampukan kita untuk menghadapi pergumulan sehari-hari, menyelesaikan berbagai masalah, memenuhi kebutuhan, dan mengubah keadaan sekitar. Ia rela mendengarkan doa kita karena Dia maha penyayang dan “… senang melimpahkan berkat atas anak-anak-Nya. Itulah sifat dasar-Nya; itulah siapa Dia ada-Nya” (hal. 23). Sebagai Allah yang berkuasa atas alam, keadaan, jawaban, dan hati manusia, Ia sanggup mengabulkan permintaan kita. Oleh karena itu, seharusnyalah kita menerima undangan-Nya untuk berdoa kepada-Nya. “Ia adalah Bapa Anda; Ia ingin mendengar apa saja yang Anda katakan. Bahkan Dia menunggu permohonan Anda” (hal. 44).
Di dalam beberapa bab berikutnya, Hybels memberikan beberapa petunjuk untuk mendukung kehidupan berdoa yang baik. Pertama, pengembangan kebiasaan-kebiasaan baik yang dapat meningkatkan kesehatan rohani. Kebanyakan orang akan jatuh di dalam 2 kebiasaan yang buruk: (1) Membuat daftar, rumus, dan mengikuti aturan hidup rohani yang keras sehingga “disiplin rohani menjadi baju pengekang penuh syarat, yang justru meremas vitalitas, spontanitas, dan petualangan dari iman dan kehidupan. Bagi orang-orang ini, Kristus tidak lagi membawa kemerdekaan. Agama menjadi beban berat” (hal. 50). (2) Kebiasaan yang tidak bertanggung jawab yang ‘mengikuti arus rohani saja… biarkan Tuhan melakukan apa saja yang Ia ingin lakukan dan saya akan melihat saja apa yang terjadi”. Hybels menganjurkan agar kita memelihara kebiasaan berdoa yang baik, yang tidak ditawar-tawar. “Tidak ada disiplin rohani yang otomatis akan menciptakan hubungan baik dengan Tuhan” (hal. 51) tetapi kehidupan berdoa yang kaya dan baik tidak akan dapat kita capai tanpa disiplin. Kedua, kita perlu mencontoh doa Bapa Kami. Beberapa asas yang bisa kita ambil dari doa yang agung ini yaitu berdoa dengan teratur, pribadi, sungguh-sungguh, dan khusus. Ketiga, Hybels menawarkan sebuah pola doa tertulis yang diakuinya bukan satu-satunya ataupun sempurna namun cukup baik untuk dicontohi.
Sembahlah Allah
Penyembahan kepada Allah mutlak perlu dilakukan pada permulaan doa karena menyembah menggamit nada seluruh doa. Menyembah mengingatkan kita akan identitas dan kesucian Allah dan mentahirkan orang yang berdoa. Juga, kita menyembah karena Allah patut disembah. Salah satu cara kita menyembah-Nya adalah “menyebut dan memikirkan sifat-sifat-Nya” (hal. 73) dan mengucapkan mazmur pujian kepada-Nya.
Akuilah Dosa: Mengaku dengan Mulut
Banyak dari kita yang “melemparkan semua dosa kita ke satu tumpukan tanpa melihat padanya dan berkata, ‘Allah, tutupilah seluruh tumpukan kotor itu’” (hal. 74). Penyatuan semua dosa kita seperti ini berbeda dengan memungut satu-persatu dosa, menyebut namanya dan memohon pengampunannya dari Dia. Beberapa manfaat dari pengakuan dosa termasuk penyucian hati nurani kita, kelegaan diri kita karena Allah bersifat mengampuni dan adanya rasa bebas untuk berdoa dan berjanji kepada-Nya untuk meninggalkan dosa tersebut.
Syukuri Kebaikan Tuhan
Hybels membedakan antara pengucapan terima kasih dan syukur melalui kisah Alkitab di dalam Lukas 17:11-19 mengenai sepuluh orang yang disembuhkan dari kusta. Kesepuluh orang berterima kasih kepada Yesus tetapi hanya satu yang kembali, menjatuhkan diri di kaki Yesus dan mengucapkan syukur kepada-Nya. Sekiranya kita perlu mensyukuri kebaikan-Nya dengan segenap hati, akal budi, dan jiwa kita.
Mintalah Pertolongan
Kita dapat menyatakan apa saja permohonan kita kepada-Nya namun jika permohonan tersebut tidak baik, tidak pada saatnya, berbeda dengan rencana dan pikiran Tuhan, kita harus rela menyerahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan, dan mengikuti pimpinan Tuhan.
Bagaimana dengan doa yang memindahkan gunung? Gunung di sini adalah kiasan untuk apa saja yang menghalangi jalan dan melumpuhkan kita. Hybels mengajak kita untuk “jangan berlama-lama menceritakan gunung Anda kepada Tuhan. Ia tahu gunung apa itu. Sebaliknya, pusatkanlah perhatian Anda kepada Pemindah Gunung – kemuliaan-Nya, kuat kuasa-Nya, dan kesetiaan-Nya” (hal. 96). Kita juga perlu ingat bahwa Tuhan menambahkan iman kita ketika kita berjalan bersama-Nya melalui kesulitan-kesulitan yang kita hadapi. “Sementara Anda berjalan dengan Allah, iman Anda bertumbuh, keyakinan Anda bertambah, dan doa Anda akan mempunyai kuasa” (hal. 95).
Lalu, mengapa ada doa kita tidak dikabulkan? Hybels mengajak kita untuk merenungkan empat hal:
(1) Permintaan yang salah
Permintaan salah bisa berupa permintaan kita yang “egois, materialis, cetek, dan tidak dewasa” (hal. 101). Sering kita juga meminta Allah untuk mengubah orang lain tetapi kita sendiri tidak rela berubah. Motivasi kita ketika meminta pun harus ditilik kembali karena tidak jarang yang kita inginkan sebenarnya adalah kemuliaan diri sendiri bukan kemuliaan-Nya.
(2) Waktu yang salah
Ketika Allah menunda, Dia sedang menguji iman kita, memberikan kesempatan kepada kita untuk memperbaiki permintaan kita, dan mengembangkan mutu watak kita seperti ketahanan, percaya, kesabaran, dan kepatuhan.
(3) Diri kita yang salah
Beberapa penggagal doa yang berasal dari diri kita sendiri termasuk ketidakberdoaan kita – Yakobus 4:2, dosa yang tidak diakui – Yesaya 59:2, konflik dengan orang lain yang tidak dipecahkan – Matius 5:23-24, egoisme – Yakobus 4:3, sikap tidak peduli – Amsal 21:13, dan kurangnya iman – Yakobus 1:5-7.
(4) Permintaan, waktu, dan diri kita benar, maka Allah akan berkata, “Ya”.
Di dalam beberapa bab terakhir, Hybels mengidentifikasikan beberapa penyebab pasang surut dalam hidup berdoa, hal-hal yang dapat kita lakukan untuk mengurangi kesibukan dan meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa serta bagaimana kita bisa tidak hanya berbicara kepada Tuhan namun juga mendengarkan bimbingan Tuhan dalam doa.
Dengan penulisan yang mudah dimengerti dan disertai beragam sharing pribadi, para pembaca dapat dengan mudah mengidentifikasikan diri dengan berbagai pergumulan mengenai doa yang ditulis di dalam buku ini. Penulis juga telah dengan cukup tajam mengupas mengenai doa dan memberikan panduan praktis dalam berdisiplin doa. Dalam akhir setiap bab, beberapa pertanyaan renungan dapat menjadi panduan bagi para pembaca untuk merefleksikan dan menerapkan poin-poin yang sudah dijabarkan ke dalam kehidupan pribadi. Kiranya Tuhan memampukan kita semua untuk menikmati persekutuan yang paling akrab dengan-Nya.
Jacqueline Fondia Salim
Redaksi Desain PILLAR