Judul: The Lotus and The Cross
Penulis: Ravi Zacharias
Penerbit: Multnomah Publishers, Inc.
Tahun terbit: 2001
Tebal: 94 hal.
Buddhism, yang merupakan agama dengan jumlah pengikut ketiga terbesar[1] di dunia setelah Kristen/Katolik dan Islam, mengajarkan cara pandang terhadap dunia (worldview) yang sangat unik bila dibandingkan dengan agama-agama lain pada umumnya. Agama ini tidak percaya adanya Tuhan (non-theistic). Agama ini juga mengajarkan bahwa tidak ada satu pun hal di dunia ini yang permanen, termasuk self (theory of no-self/anatman). Teori-teori lain yang diajarkan seperti Four Noble Truths, Dependent Arising, Nonduality, The Teaching of Emptiness, The Two Truths, Expedient Means, Karma, Rebirth, Nirvana, dan masih banyak lagi yang lain, menyatakan kepada kita bahwa agama ini adalah agama yang memiliki dasar pengajaran dan basis pemikiran yang kuat. Lebih dari itu, pendiri agama ini, Gautama, mengklaim dirinya sebagai orang pertama yang dicerahkan dan mendapatkan enlightenment menjadi the Buddha.
Benarkah agama ini mengajarkan kebenaran? Apakah benar bahwa Gautama pernah mendapatkan pencerahan yang membawa dia kepada pengetahuan dan pengertian yang sempurna mengenai segala sesuatu? Apakah agama ini agama yang memberikan pengharapan kepada manusia dan dunia yang tidak berpengharapan ini? Apa yang akan terjadi bila Yesus Kristus bertemu Gautama? Apa yang akan mereka percakapkan?
Buku “The Lotus and The Cross” ini adalah sebuah buku singkat yang sangat menarik yang mencoba untuk memaparkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Ravi Zacharias, penulis buku ini, adalah seorang ahli perbandingan agama, filsafat, dan apologetika yang berasal dari India, tempat di mana Buddhism lahir. Di dalam buku ini, Ravi menceritakan pengalaman pribadinya ketika ia mengunjungi sebuah negara di mana Buddhism sangat dominan namun besarnya pendapatan negara dari prostitusi legal melebihi keseluruhan budget nasional. Ia memaparkan sebuah kisah nyata yang ia baca dari artikel surat kabar negara tersebut. Kisah ini menceritakan tentang seorang gadis muda dan cantik yang berumur 17 tahun. Ia ditipu dan diperkosa tanpa belas kasihan oleh temannya sendiri, yang sebelumnya menjanjikan pekerjaan yang penuh kesuksesan di kota besar. Gadis ini bernama Priya. Sejak kejadian mengerikan itu, Priya dipaksa untuk menjadi seorang pelacur sampai akhirnya ia terkena penyakit HIV yang merusak dan menghancurkan tubuhnya sampai membuatnya tidak mungkin lagi untuk menjual tubuhnya. Dalam kondisi yang sangat putus harapan ini, Priya memutuskan untuk membunuh dirinya dengan membakar tempat tinggal dan dirinya sendiri. Akhirnya, dalam kondisi semua tubuhnya terbakar ini, Priya meninggal tanpa seorang pun bersamanya ataupun berani mendekatinya.
Ravi kemudian menggabungkan kisah nyata ini dengan imajinasi pribadinya. Ia membayangkan sebuah percakapan antara Yesus dan Gautama, dan apa yang akan mereka katakan kepada Priya dalam kondisinya yang sama sekali tidak berpengharapan itu. Meskipun pembicaraan ini menggunakan bahasa yang sederhana dan dalam suasana yang informal, percakapan ini bersifat radiks (ditarik sampai ke akar) dengan tanpa takut menyatakan perbedaan-perbedaan dan mempertanyakan substansi dasar ajaran dua agama ini.
Beberapa poin yang sangat menyentuh dan menggugah hati dan pikiran saya akan saya bagikan dalam resensi singkat ini. Pertama, Gautama menceritakan tentang pengalamannya mendapatkan pencerahan di bawah sebuah pohon bernama “Bodhgaya”. Ia menjelaskannya seperti sebuah ingatan (memory) mengenai seluruh kondisi kehidupan waktu yang lalu, sekarang, dan yang akan datang yang jumlahnya tak terhingga datang kepadanya seperti sebuah buku yang terbuka bagi dia. Ia melihat terang dan anti-tesisnya bersatu. Ia berada dalam keseimbangan yang sempurna, mengerti ilusi yang olehnya manusia ditipu. Ia mendapatkan pengetahuan yang sempurna. Tidak ada lagi keinginan. Ia tidak digerakkan baik oleh sukacita maupun dukacita. Ia tidak lagi memerlukan apapun dalam bentuk apapun. Ia adalah the Enlightened One. Di sini Yesus meminta penjelasan lebih lagi mengenai semua pengalaman dan pengertian Gautama tentang kesadarannya mengenai semua kehidupan dan nasib peradaban manusia. Yesus berkata, “There’s so much talk about nirvana and yet so little understanding of it”. Gautama menjawab dengan sebuah kalimat yang membenarkan hal itu dan berkata bahwa bahkan buku mengenai itu pun berbicara tentang “kebingungan”!!!
Percakapan berlanjut dengan cerita Gautama mengenai keyakinannya untuk tidak membagikan pengetahuan dan pengalaman yang telah dia dapatkan itu kepada siapapun karena hal itu tidak akan mungkin dapat dimengerti. Akan tetapi, Gautama kemudian berhasil diyakinkan bahwa dia salah jika menganggap pengikut-pengikutnya tak akan mampu mengerti apa yang dia mengerti. “Light and darkness had commingled. Tranquility was perfect. Knowledge was complete. No more desire. Yet the ‘unenlightened’ were able to correct the ‘enlightened’ and change your conclusion… and you condescended? I’m not sure it makes sense”, respons Yesus kepada Gautama. Di sini Yesus menjelaskan bagaimana hal ini berbeda dengan doa yang adalah karunia bagi murid Kristus untuk menyamakan dan mengerti kehendak Allah yang akan dijalankan-Nya sesuai dengan rencana dan waktu-Nya. Tidak ada pengetahuan baru yang ditambahkan kepada Tuhan. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dialami Gautama.
Kedua, percakapan berlanjut dengan membahas the theory of no-self yang diajarkan Gautama. Ia menjelaskan bagaimana sesungguhnya diri manusia itu tidak bereksistansi baik secara fisik maupun mental. Ia mengambil analogi dengan kapal tempat di mana mereka bercakap-cakap, dan mengatakan “Look at this boat. Is it the wood? Is it the motor? Is it the glue? Is it the paint? No, it’s none of these. …. And all of our troubles begin by having this sense that there’s an individual, united self. It’s only when you realize that the self doesn’t exist and that you’re living with an illusion of self that suffering comes to an end. All of this woman’s desires were for her self. …. If she had seen that she didn’t have a self, she would’ve stopped trying to satisfy that self and would never have entered into this state of devastation.” Pada poin ini Yesus mempertanyakan, “No real self on the one hand-but her self is all she needs, on the other hand, to find the truth? What does all this mean?”
Di sini Yesus memberikan pandangan-Nya, “My assertion is that each one is an individual-created unique and created in the image of God. That’s why your analogy of the boat, Gautama, should be a contrast, not a comparison. … You didn’t turn to the boat for wisdom or understanding. I’ll grant you that there is a plan, a design-and a designer.”
Dalam percakapan berikutnya, kembali Yesus mempertanyakan Gautama akan ajarannya yang menurutnya akan membawa seseorang kepada kedamaian yang sesungguhnya. “First, you told them there is no God. Then you told them there is no self. You also told them there is no one to pray to. You told them there is no evil one to fear. You told them everything is only within themselves, even though those selves do not exist. You instructed them that their good deeds have to outweigh their bad deeds. You carved into their consciousness a huge debt. You gave them scores of rules to live by. You told them all desire is to be cut off. You told them you would cease to be, and when they have paid, they will cease to be. How can all this bring peace, Gautama? Think about it!”, kata Yesus.
Percakapan pun terus berlanjut sampai kepada pembicaraan bahwa Gautama tidak memberikan sebuah aturan tertulis yang menjadi otoritas bagi pengikutnya. Yesus pun bertanya mengapa. Gautama menjawab, “Because…everything is impermanent.” Yesus menjawab, “Even that statement? Is that impermanent too? … There is no permanent truth if everything is impermanent. And even the statement that everything is impermanent is only impermanently true. ….”
Adrian Nugroho
Pemuda GRII Singapura
[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Major_religious_groups