Judul : Then Sings My Soul
Sub judul : 150 of the World’s Greatest Hymn Stories
Penerbit : Thomas Nelson, 2003
Penulis : Robert J. Morgan
Tebal : 320 halaman
Meskipun menderita dalam hidupnya, Ayub mengumandangkan bahwa Allah mampu memberikan kita “nyanyian pujian di waktu malam” (Ayub 35:10). Ketika pemazmur, Asaf, merasa tertekan, dia menghibur dirinya dengan pujian kepada Allah “di kala malam” (Mazmur 77). Allah sanggup memberikan lagu di dalam hati kita, walau waktu “malam terbenam”.
Luther Bridges, pemuda asal North Carolina, mulai berkhotbah pada usia 17 tahun, ketika dia bersekolah di Asbury College, di negara bagian Kentucky, Amerika Serikat. Dalam beberapa saat lamanya, dia mendapatkan reputasi sebagai seorang pendeta, penginjil, dan perintis gereja (church planter) yang efektif. Tuhan mengaruniakan kepadanya seorang istri yang baik dan tiga orang anak laki-laki.
Pada tahun 1910, ketika Luther Bridges berusia 26 tahun dan masa depan terlihat cerah, dia membawa istri dan anak-anaknya ke rumah keluarga sang istri di Harrodsburg, Kentucky, bagian Barat Daya Lexington. Mereka akan tinggal bersama mertua Luther sementara dia sedang melakukan perjalanan khotbah (preaching trip).
Suatu malam yang sudah larut, seorang tetangga yang susah tidur bangun dalam kegelapan malam dan menengok keluar dari jendelanya. Dia sangat terkejut melihat api yang menyala-nyala di rumah mertua Luther. Dengan berlari sangat kencang, dia mencoba memberi peringatan, namun terlambat; api sudah telanjur menelan rumah itu. Kedua mertua Luther sempat menyelamatkan diri, tetapi istri dan anak-anak Luther meninggal dalam kejadian tersebut.
Menurut beberapa sumber, selama proses pemulihan dari kepedihan yang sangat lama, Luther menderita depresi sangat dalam yang hampir membuatnya bunuh diri. Namun, Luther teringat akan janji Firman Tuhan tentang “nyanyian pujian di waktu malam”, dan beberapa bulan kemudian, dia menulis kata-kata dan melodi dari sebuah pujian yang menceritakan tentang karunia Tuhan yang memampukannya untuk tetap bernyanyi “ada lagu dalam hati”-nya[1].
Dia menyinggung tentang tragedi hidupnya terutama dalam ayat ke-4 pujian ini:
Though sometimes He leads through waters deep,
Trials fall across the way,
Though sometimes the path seems rough and steep,
See His footprints all the way.
Jesus, Jesus, Jesus, Sweetest name I know,
Fills my every longing, Keeps me singing as I go.
Terjemahan Indonesia:
Walau terkadang ku dipimpin melalui air yang dalam
Pencobaan-pencobaan muncul dalam perjalanan
Walau terkadang jalan penuh kerikil dan terjal
Ku terus lihat jejak kaki-Nya.
Yesus, Yesus, Yesus, nama termanis yang kukenal,
Memuaskan tiap kerinduanku,
Membuatku bernyanyi dalam perjalanan.
Pada tahun 1914, Luther menikah lagi dan menjadi seorang penginjil untuk Gereja Methodist Episkopal Selatan (Methodist Episcopal Church South)–sebuah pelayanan yang dikerjakannya sampai 18 tahun ke depan (dengan interupsi sejenak sesudah Perang Dunia I, di mana dia bepergian ke Belgia, Czechoslovakia, dan Rusia, untuk melakukan tugas-tugas penginjilan).
Sesudah tahun 1932, dia melayani sebagai pendeta gereja-gereja di Georgia dan North Carolina, dan kemudian pensiun di Gainesville, Georgia, pada 1945. Dia meninggal dunia tiga tahun kemudian di Atlanta pada tahun 1948.
Inilah salah satu cerita yang dibagikan oleh Robert J. Morgan, dalam bukunya Then Sings My Soul.
Robert adalah seorang gembala dari sebuah gereja di Nashville, Tennessee. Ketertarikannya akan lagu-lagu hymne membawa dia untuk menemukan kekayaan dari cerita-cerita di belakang banyak dari hymne-hymne tersebut.
Buku Then Sings My Soul adalah cetusan dari kerinduan Robert untuk membagikan berkat-berkat yang dia dapatkan melalui hymne-hymne yang dia pujikan, dan tidak jarang, berkat itu semakin melimpah seiring dengan pengetahuannya akan latar belakang dari terciptanya hymne-hymne ini. Salah satu tujuan Robert menulis cerita-cerita dalam buku ini adalah untuk membantu para pembaca mengenali ulang lagu-lagu hymne yang begitu kaya dan membukakan mata mereka akan pentingnya mempertahankan lagu-lagu ini sebagai bagian yang vital dari gereja Tuhan pada saat ini.
Ketika lemah dan capai, Robert dikuatkan oleh pujian-pujian iman ini. Banyak hymne membakar jiwanya dengan kebenaran yang adalah Firman Tuhan sendiri. Dan seperti yang dia tuliskan: “Hymne-hymne menolong kita memuji Allah. Bagaikan cercahan sinar mentari melalui awan-awan, mereka menyediakan hubungan yang seakan-akan mistis (an almost mystical connection) dengan puji-pujian yang tidak berkesudahan yang dinaikkan pada saat ini juga di hadapan Takhta Sorgawi. Mereka menyatukan gereja Allah di atas bumi dalam harmoni sorgawi.”
Dalam edisi ini (sampai saat ini dua edisi sudah diterbitkan: Then Sings My Soul dan Then Sings My Soul 2), 150 lagu hymne dipilih. Dua halaman diberikan untuk setiap hymne—halaman kiri adalah partitur dari hymne tersebut, dalam notasi balok dan lengkap dengan (hampir) semua ayatnya; halaman kanan didekasikan untuk cerita latar belakang hymne tersebut. Latar belakang disampaikan dengan padat, menangkap esensi dari message yang Robert ingin bagikan kepada pembaca. Cara penyampaian cerita-cerita dalam buku ini reflektif dan oleh karena itu juga sangat cocok untuk digunakan para pembaca sebagai bagian dari meditasi pribadi mereka.
Bukan hanya latar belakang dari 150 hymne yang ditulis Robert dalam buku ini; tidak jarang dia membagikan juga cerita-cerita tentang impact dari sebuah hymne kepada anak-anak Tuhan yang hidup dalam masa dan tempat yang berbeda. Suatu anugerah bagi kita para pembaca kalau kita dapat menyaksikan bagaimana Tuhan bekerja dan memuliakan diri-Nya melalui pujian-pujian iman ini, tak terbataskan tempat, masa, ataupun budaya.
Kiranya cerita-cerita ini, mengutip dari buku, “… tidak hanya berbicara kepada jiwamu, namun juga menambahkan kedalaman dan arti ketika engkau beribadah dan menyembah Allah melalui lagu.” Kemuliaan bagi Tuhan di tempat yang tertinggi.
Shirleen Goenawan
Pemudi GRII Singapura
[1] Lagu Luther ini dapat ditemukan di buku Kidung Persekutuan Reformed no. 65, yang berjudul “Ada Lagu Dalam Hatiku.”